Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

PARTISIPASI KALANGAN ARAB DALAM MASA PERGERAKAN MENUJU KEMERDEKAAN


Pendahuluan mengenai kultur masyarakat Arab di Indonesia pada masa colonial

Perlu diketahui lebih dahulu bahwa kedudukan orang-orang Arab di Indonesia pada masa yang dibicarakan ini, tidak dapat disamakan dengan kedudukan dengan kedudukan orang-orang asing yang lain, seperti orang-orang Cina dan orang-orang Eropa, yang pada umumnya memang tetap merupakan orang-orang asing bagi kalangan orang Indonesia. Sejak lama orang Arab telah datang ke Indonesia. Pada abad ke-18 dan 19, misalnya masyarakat nusantara lebih dapat membaca huruf Arab daripada Latin. Maka mata uang di masa Belanda ditulis dengan huruf Arab Melayu dan Arab Jawi. Bahkan, pada masa itu cerita-cerita roman termasuk tulisan pengarang Tionghoa juga ditulis dalam huruf Arab Melayu. Selain itu semua musafir dari arab yang mendatangi nusantara adalah lelaki, tidak satupun dari mereka yang dating membawa istri. Mereka kemudian menikah dengan wanita pribumi, pernikahan inilah yang menghasilkan keturunan Arab-Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, wajarlah bila kalangan Arab merupakan golongan yang unik.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan banyak orang-orang Arab datang dari Hadramaut ke Indonesia untuk mencari nafkah hidup. Kebanyakan masyarakat Arab kala itu menempuh mata pencaharian sebagai pedagang. Orang-orang Arab tersebut banyak mempunyai hubungan dengan penduduk sebagai pedagang. Demikian pula sebagai orang-orang yang seagama mereka sering berpartisipasi dalam kehidupan beragama dengan kebanyakan orang-orang Indonesia. Masyarakat Arab di Indonesia saat itu juga mencerminkan ciri-ciri yang sama dengan masarakat Hadramaut. Bergantung pada darah turunan, mereka terbagi menjadi golongan Sayid dan Non Sayid. Disamping itu merekapun terbagi pula menjadi golongan Manasib dan Non Manasib bergantung kepada apakah mereka termasuk golongan yang berkuasa atau tidak.

Organisasi-organisasi yang berhasil dibentuk oleh kalangan Arab di Indonesia

Jamiat Khair

Jamiat Khair didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal usul meskipun mayoritas anggota-anggotanya adalah orang-orang Arab. Anggota-anggota dan pemimpin-pemimpin organisasi ini umumnya berasal dari kalangan orang-orang yang berada yang memungkinkan penggunaan sebagian waktu mereka kepada perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha pencaharian nafkah. Dua bidang kegiatan diperhatikan sangat oleh organisasi ini. Yang pertama pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar dan yang kedua pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi mereka. Bidang kedua ini segera terhambat oleh masa kemunduran Khilafah Ustmaniyah.
Sekolah dasar Jamiat Khair bukan suatu sekolah yang semata-mata bersifat agama tetapi merupakan suatu sekolah dasar biasa dimana pelajaran seperti berhitung, sejarah (umumnya sejarah Islam) dan ilmu Bumi diberikan. Kurikulum yang diberikan tersusun dengan rapi dan pembagian kelas-kelas diorganisir secara sistematis. Jamiat Khair juga mengundang guru-guru dari daerah lain seperti H. Muhammad Mansur dan juga dari luar negeri yaitu Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Jamiat Khair tetap meupakan sebuah organisasi yang kecil. Dimulai kira-kira dengan 70 orang anggota, organisasi ini berkembang sangat lambat. Pada tahun 1915 tercatat kira-kira hanya 1000 anggota. Pentingnya Jamiat Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam khususnya Arab, dan yang mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern. Ide-ide ini berkumandang di kota-kota lain tetapi organisasi yang lain justru tetap koservatif dengan merasa puas dengan apa yang mereka telah raih sekarang.
Kekakuan pendapat pada kalangan golongan Sayid menyebabakan perpecahan Jamiat Khair. Di samping itu golongan Non-Sayid menyadari tentang kedudukan dan kekuasaan mereka, apalagi di kalangan mereka telah muncul orang-orang yang dihormati oleh orang-orang Arab umumnya ataupun oleh orang-orang bukan Arab, seperti misalnya Syaikh Umar Manggus seorang kapten Arab di Jakarta dan Syaikh Ahmad Soorkatti yang dianggap sebagai gudang ilmu. Demikianlah golongan Non-Sayid mendirikan sebuah organisasi yang bernama Jami’yat al-Islam wal Ersyad al-Arabia atau lebih dikenal dengan Al-Irsyad. Hal ini terjadi pada tahun 1913. Organisasi ini mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah pada tanggal 11 agustus 1915. Pembaharuan dalam lingkungan masyarakat Arab akhirnya dilanjutkan oleh Al-Irsyad.

Al-Irsyad

Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, Al- Irsyad sendiri menjuruskan perhatian utama mereka terhadap pendidikan dengan sasaran utama adalah masyarakat Arab, dengan pembimbing utama adalah Syaikh Ahmad Soorkatti dari Sudan yang sebagian besar umurnya dicurahkan bagi penelaan pengetahuan. Lambat laun dengan bekerja sama dengan organisasi Islam yang lain seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam organisasi Al-Irsyad makin meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. Organisasi ini juga turut serta dalam berbagai kongres Islam pada tahun 1920-an dan bergabung pada majelis Islam A’la Indonesia ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937. Pemuda-pemuda Indonesia asli juga mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam bidang pendidikan.
Sebenarnya Al-Irsyad memperlihatkan vitalitas dan energi yang lebih besar daripada Jamiat Khair dalam melaksnakan kegiatan-kegiatannya. Kegairahan besar dikalangan pendukung-pendukung Al-Irsyad tercermin dalam dalam jumlah uang yang disumbangkan dengan cukup besar oleh mereka dalam memajukan organisasi tersebut. Sekolah-sekolah Al-Irsyad di Jakarta lebih banyak jenisnya. Terdapat sekolah-sekolah tingkat dasar dan sekolah guru, disamping itu ada pula bagian yang disebut bagian Takhassus dimana pelajar dapat mengadakan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan dan bahasa. Murid-murid Al-Irsyad pada tahun-tahun pertama ia didrikan terdiri dari anak-anak kalangan Arab dan sebagian juga anak-anak Indonesia asli dari Sumatara dan Kalimantan. Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi lain Al-Irsyad juga mempergunakan tabligh dan pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan fahamnya. Ia juga menerbitkan beberapa buah buku dan pamphlet-pamflet.
Perbedaan-perbedaan pendapat antara Al-Irsyad dengan Jamiat Khair juga diwarnai oleh aroma politik walau bukan sehubungan dengan politik di Indonesia, tetapi sehubungan dengan perkembangan di Hadramaut dan pada umumnya di negeri-negeri Arab. Mengenai perkembangan di Indonesia kedua organisasi itu membatasi diri mereka pada bidang agama dan pendidikan. Tetapi anggota-anggota pada umumnya bersimpati pada pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hanya saja kedua organisasi tersebut terutama Jamiat Khair tidak dapat membatasi diri mereka pada persoalan Indonesia semata, melainkan mereka terlibat juga dalam perkembangan-perkembangan di Hadramaut dan di negeri-negeri Arab, oleh sebab itu anggota-anggota mereka juga ingin mengunjungi negeri asal mereka. Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa orang-orang Arab-Indonesia sering mengirimkan anak-anak mereka ke Hadramaut untuk mendapatkan pendidikan yang lebih bonafide. Sebenarnya orang-orang Islam Indonesia dalam posisi yang demikian tidak terlepas dari perkembangan dunia pada umumnya. Inspirasi sebagian datang dari luar terutama dari Timur Tengah khususnya Mekkah dan Kairo yang memang dengan publikasi dan lembaga pendidikan yang terdapat di sana merupakan pusat pengajaran Islam yang membuat para pemuda Islam Indonesia terpuaskan dahaga pengetahuannya.

Kiprah perjuangan AR Baswedan dalam masa pergerakan menuju kemerdekaan

Abdurrahman Baswedan atau lebih dikenal dengan AR Baswedan lahir pada tanggal 11 September 1908 di Surabaya dia adalah seorang jurnalis, sastrawan, dan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. AR Baswedan dibesarkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat muslim yang cukup taat. Sejak kecil AR Baswedan di didik dengan ajaran Islam yang sangat kuat. Kakek Baswedan adalah seorang ulama yang berasal dari Syibam di Hadramaut. Linkungan keluarga dan masyarakat tempat AR Baswedan dibesarkan inilah yang ikut mewarnai sikap pribadi dan kehidupan rumah tangganya di kemudian hari. Cita-cita Baswedan bukanlah menjadi pedagang seperti yang dinginkan keluarganya. Ia memilih jalur hidup sendiri yaitu menjadi seorang Jurnalis handal yang biasa terjun ke dalam dunia pergerakan nasional. Keinginan Baswedan ini cukup namapak sewaktu masih remaja. Disela-sela menjaga took ayahnya waktu luangnya dihabiskan untuk membaca buku. Bagi Baswedan membaca adalah kegiatan menyimak, merenung, berpikir dan melahirkan daya kontemplasi.
Pada tahun 1932 Baswdan masuk menjadi anggota redaksi harian Tionghoa Melayu di Surabaya, “Sin Tit Po”, pimpinan Liem Koen Hian seorang peranakan Tionghoa, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Masuknya Baswedan ke Sin Tit Po diawali saat hendak membuka rokok kretek. Ia pergi ke Surabaya untuk pemasarannya dan secara kebetulan berjumpa dengan Liem Koen Hian. Pemimpin redaksi harian Tionghoa Melayu itu menawarkan pada Baswedan kerjasama untuk sering menulis di Sin Tit Po. Sebelum pertemuan itu Liem Kon Hian sudah mengenal Baswedan melalui sebuah tulisan di Sin Tit Po. Bagi Baswedan pertemuannya dengan Liem Koen Hian ia manfaatkan untuk menyampaikan keinginannya menjadi seorang jurnalis. Baswedan adalah seorang pemberontak harian Matahari menjadi saksi bisu karya-karya radikalnya dalam mengkritik ketidak perdulian orang-orang Arab terhadap bangsa Indonesia yang sedang terjajah. Dalam artikel yang ia muat ia mengajak orang-orang keturunan Arab termasuk dirinya sendiri untuk menganut asas kewarganegaraan Ius Solli, “Di mana Saya lahir, disitulah tanah airku !” kata lelaki itu.
Oktober 1934 setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua umumnya. Sejak saat itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya, padahal ia mendapatkan gaji 120 Gulden disana atau setara dengan 24 Kwintal Beras pada waktu itu. Gagasan dan perjuangan Baswedan telah membuat keturunan Arab-Indonesia menyatakan “Turun-Kelas” dan pada tahun 1934 mengumandangkan sumpah pemuda. Pemuda keturunan Arab bersumpah bahwa mereka Putra-Putri Indonesia dan mengaku sebagai tumpah darah Ibu Pertiwi. PAI itu sendiri adalah sebuh partai yang bertujuan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dan bukan partai yang bertujuan untuk memperjuangkan kepetingan Arab.

Hambatan-hambatan yang terjadi dalam perjuangan kalangan Arab di Indonesia

Fajar kehormatan telah berkembang di sekitar orang-orang Arab di Indonesia sebagian dikarenakan sejumlah guru agama adalah orang-orang Arab, sebagian dikarenakan ketaatan beragama harian orang-orang Arab lebih serius dibandingkan populasi umum Indonesia dan mereka “dicemburui”, dan sebagian dikarenakan orang-orang Arab memperkenankan ilusi untuk dikembangkan bahwa ras Nabi Muhammad merupakan aristokrasi di kalangan umat Islam. Ada setimen tertentu bagi prinsip-prinsip Muslim Modernis di kalangan peranakan Arab, sebagaimana dibuktikan oleh keberhasilan Al-Irsyad, tetapi sebagian besar masyarakat Arab di Indonesia lebih menyukai Islam tradisionalis. Wakil utama bagi pandangan konservatif ini adalah kelompok Ba’alawi, sekelompok orang asal Hadramaut yang mengaku diri keturunan Nabi, yang menyediakan sejumlah pejabatnya di Indonesia. Melalui organisasi semisal Jamiat Khair dan masyarakat Thaljbin, kelompok ini menyerang kaum modernis Islam khususnya Al-Irsyad, dan bertindak sebagi juru bicara bagi prinsip status tinggi bagi orang-orang Arab.

Kesimpulan

Apakah Sifat dan bagaimana luasnya pengaruh Islam dari negeri-negeri lain, terutama pemikiran Arab pada kalangan pembaru di Indonesia ? Beberapa pelopor pembaharu, seperti AR Baswedan sendiri tidak menolak apabila pemikiran-pemikiran Arab sangat menginspirasikan dirinya dalam melawan Belanda di era pergerakan. Syaikh Ibrahim Musa dari Minangkabau seorang murid dan kemudian rekan dari pelopor-pelopor pembaharuan mengatakan pembaharuan didaerahnya umumnya bercondong ke pendidikan di Mekkah. Pada umumnya dapat pula dikatakan bahwa para pembaharu di Indonesia dan terutama mereka yang mempergunakan bahasa Arab sebagai bahasa perantara untuk menambah pengetahuan mereka, memperoleh inspirasi dari pemikiran yang tumbuh di Arab khususnya Mesir sebagai metode terbaru untuk melawan Belanda di masa pergerakan.
Dikalangan orang-orang Arab sendiri persatuan dijadikan sebuah modal utama mereka dalam perjuangan melawan Belanda meskipun sebelumnya pada saat itu seluruh keturunan Arab biarpun mereka cerdas dan terkemuka tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka yang awalnya berpendapat bahwa tanah airnya adalah dinegeri Arab bukan di di Indonesia akhirnya mulai menemukan suatu konsep dimana Indonesia juga merupakan tanah tumpah darah mereka dan mulai menggugah rasa Nasionalisme orang-orang Arab sendiri untuk bersama-sama melawan Belanda dengan meninggalkan identitas ke-Arabannya menjadi identitas dari semangat menegakkan panji Merah Putih.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..