Slide K.I.S.A.H
FASE-FASE PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA
Signifikansi pembahasan fase-fase pertumbuhan kebudayaan Jawa adalah untuk melihat sejauh
mana pergumulan budaya Jawa sebelum dan sesudah Islam datang. Hal ini penting dikaji untuk menguak sistem nilai dan karakteristik budaya Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam.
Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha
Data mengenai perkembangan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha sangatlah terbatas. Namun,
ciri yang menonjol dari struktur masyarakat yang ada pada waktu itu adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.
Ciri lain masyarakat Indonesia lama adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang melahirkan penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk
mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam tradisi ritual ini, fungsi ruh nenek-moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’, dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong
atapun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha
Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa kemudian ia mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena golongan cendekiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk
menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar
jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi seorang raja kepada rakyatnya dilakukan
melalui media hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang raja mempunyai kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk
melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Telah menjadi kesepakatan di kalangan ahli sejarah bahwa Islam di Indonesia disebarkan oleh para saudagar dari bangsa Gujarat dan Benggali. Akan tetapi, tidak diragukan pula bahwa orang-orang Arab juga mengambil bagian penting dalam proses pengislaman bumi nusantara ini. Orang-orang Arab telah membuat pemukiman di berbagai daerah pantai di India dan berangsur-angsur menjadi pusat penyebaran Islam. Kemudian para pedagang tersebut merantau ke bumi nusantara ini dengan peran ganda di samping pedagang mereka juga muballigh. Marcopolo sebagai duta besar Venesia untuk menemui raja Kubilaikhan di negeri Cina, sambil menunggu cuaca baik untuk pulang ke Venesia, mengunjungi pantai barat laut Sumatera selama lima bulan pada tahun 1292. Marcopolo menyaksikan bahwa para penghuni bagian Perlak di ujung pulau Sumatera telah diislamkan oleh para saudagar Sarasen. Sebaliknya, orang-orang gunung masih menyembah berhala dan bersifat kanibal.8 Data historis lain menyebutkan bahwa musafir dari Maroko, Ibnu Bathuttah, yang mengunjungi Sumatera dalam perjalanannya menuju Cina pada tahun 1345 melaporkan bahwa ajaran Islam telah mantap di Sumatera Pasai, dan mereka pada umumnya menganut mazhab Syafi’i.
Menurut Babad Tanah Djawi,10 penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai jaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan “jaman kewalen” (jaman wali).11
Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak
berhadapan dengan budaya-budaya lain kecuali budaya Hindu-Budha, sedangkan di Jawa, Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.
Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas. Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak
menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat-laun menjadi kekuatan politik,yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak,maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga,berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai jaman peralihan yakni peralihan dari jaman “kabudhan”(tradisi Hindu-Budha) ke jaman “kawalen” (wali). Peralihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung jaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa “sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam.
Interaksi Islam dengan Budaya Jawa
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia
sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik”, yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Menurut Akbar S. Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis
sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental), dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli. Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan yang non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis. Pendekatan non-kompromis, yaitu dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta tidak
mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam; sedangkan
pendekatan kompromis (akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach)
Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik
mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.
Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya
sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa)sebagai berikut:
Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis
berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang
tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).
Dari kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara
ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua,yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran agama; sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di Jawa Tengah bagian selatan misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.
Secara budaya, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan, priyayi dan santri. Klasifikasi masyarakat Jawa ini merupakan hasil penelitiannya di daerah Mojokuto Jawa Timur. Dalam hal ini dia berkata:
“Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang
menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk.
Kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dalam sinkretisme, pada umumnya berhubungan dengan kaum pedagang dan petani, sedangkan kelompok priyayi adalah sikap yang menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi”.
Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya pada seperempat abad
kelimabelas, pada jaman ini pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel (Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses dakwahnya melalui proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan atau keturunan.
Dari paparan di atas, tampak jelas karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas sebab pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistik.
Budaya Lokal (Jawa) sebagai Instrumentasi Dakwah Islam
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal Jawa dalam
hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodir eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat dalam kaidah fiqh yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah syari’at yang dapat dijadikan hukum). Kaidah ini memberikan justifikasi yuridis bahwa kebiasaan suatu masyarakat bisa dimungkinkan dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bersikap. Hanya saja tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat tauhid. Dengan semangat tauhid ini manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada pengesaan terhadap Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam kaidah fiqh di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam.
Dengan demikian kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga misalnya dalam melakukan islamisasi tanah Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya.
Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktek sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi sekarang disebut selamatan. Sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab, yaitu Islam, salam, dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan atau tahlil, yaitu membaca kalimat thayyibah, La ilaha illa Allah, secara bersama-sama sebagai cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid. Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan, contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pura atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimasada (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas
menjadi inti dari budaya keraton.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
Share This!
Related Post :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Translate Bahasa
Total Tayangan Laman
Note
Setiap tulisan di posting KISAH memiliki daftar pustaka yang lengkap. Jadi bukan bacaan kosong..
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Most Popular
-
Terusan Suez (bahasa Arab, Qana al-Suways) pada dasarnya walaupun pada abad yang sudah mengenal angkutan udara dan ruang angkasa sekalipun,...
-
WILAYAH PERAIRAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. TINJAUAN GEOGRAFIS Wilayah Negara Republik Indonesia Indonesia meru...
-
A. MENURUT LUAS WILAYAH OPERASI PELAYARAN Sebagai Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia memiliki bentuk usaha pelayar...
-
A. MASYARAKAT PRA SEJARAH INDONESIA 1. Lingkungan Alam Antara lingkungan alam dan masyarakat tidak bias dipisahkan dan besa...
-
PENDAHULUAN Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebija...
artikel KISAH bagus-bagus, tapi display webnya agak kurang nikmat dipandang (agak suram)...tidak selamanya sejarah "hitam-putih dan abu-abu"...adik-adik kita di SMA punya weblog yang lebih eyecatching dan menggoda, coba cari ilmu dari mereka...maju terus KISAH
ReplyDeleteterima kasih atas lomentarnya,,akan segera diperbaiki...agar terlihat jelas tulisan kami...
ReplyDeleteterima kasih atas lomentarnya,,akan segera diperbaiki...agar terlihat jelas tulisan kami...
ReplyDelete