Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

Reklamasi Singapura dan Penyelundupan Pasir Laut


Dalam hubungan politik internasional Singapura memegang peranan penting dalam politik regional di wilayah Asia Tenggara. Mantan Presiden B.J Habibie pernah mengeluarkan statement bahwa “Singapura hanyalah sebuah titik merah kecil di peta dunia”. Kata ‘titik merah kecil’ harus kita catat disini sebagai kebanggaan bagi Singapura, bagaimana tidak, luas wilayah yang setara dengan kabupaten Karawang ini menjadi Macan Asia dibidang ekonomi bersama Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Meskipun telah menjadi sebuah negara dengan ekonomi yang cukup maju, Singapura masih dihadapi oleh masalah-masalah fundamental seperti meningkatnya jumlah penduduk dan makin mandegnya program pembangunan infrastruktur akibat sempitnya teritorial wilayah negara tersebut.
Sebagai negara yang teritorial wilayahnya tidak luas sedangkan penduduknya kian bertambah, Pemerintah Singapura sering melakukan impor pasir dari luar khususnya Indonesia untuk menambah luas wilayah pantai. Dalam perjanjian batas negara Indonesia-Singapura yang ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973, telah dilakukan pengukuran berdasarkan prinsip equidistance atau sama jarak antara dua pulau yang berhadapan. Prinsip equidistance dipilih oleh kedua negara karena dianggap tepat untuk membagi lebar laut yang berkisar 15 mil laut pada perairan antara Indonesia – Singapura di Selat Singapura.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa dalam perjanjian tersebut tidak termasuk wilayah yang berjarak 18 mil laut diukur dari utara Pulau Karimun Besar dan 28,8 mil laut dari utara Pulau Bintan. Sampai saat ini kedua wilayah tersebut, belum disepakati batas-batas laut oleh pemerintah Indonesia dan Singapura. Dari berita di Kompas, ternyata dari tahun 1978 hingga tahun 2002 ini, luas Singapura bertambah 100 kilometer persegi (rencananya, tahun 2010 bertambah jadi 160 km persegi) dengan cara mengimpor pasir laut dari Indonesia lewat reklamasi pantai mereka. Akibatnya, tentu saja batas teritori bergeser sehingga wilayah Indonesia mengecil.
Bukan itu saja, akibat ekspor pasir laut besar-besaran, menurut WALHI, 70 pulau di Indonesia tenggelam karena diambil habis pasirnya. Ternyata mudah sekali untuk menganeksasi wilayah Indonesia. Tak perlu lewat senjata, cukup lewat duit saja, negara kecil seperti Singapura dengan mudah menganeksasi wilayah kita hingga 100 kilometer persegi lebih. Sebenarnya ekspor pasir laut yang dilakukan sejak tahun 1970 an itu ada yang legal. Tapi dalam kenyataannya, jumlah pasir laut yang dikirm ke Singapura secara ilegal jauh lebih banyak ketimbang yang resmi.
Peluang ekspor sumber daya alam itu mulai terbuka pada tahun 1978. Potensi pasir laut Riau yang semula digali oleh Angkatan Laut dan Otorita Batam dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pendangkaln laut kemudian ditawarkan kepada pemerintah Singapura. Impor pasir Indonesia itu dengan jumlah kurang 300 juta meter kubik pasir oleh Singapura telah dimanfaatkan untuk reklamasi, sehingga membuat wilayah daratn negara kecil ini menjadi semakin besar.
Mekanisme perdagangannya mulai dari pemegang kuasa Penambangan di Riau hingga ke pengguna di Singapura melalui empat pihaktermasuk melalui calo yang berlebel konsorsium. Masing-masing pihak menerapkan standar penjualan pasir yang berbeda-beda. Bila kontraktor menetapkan per meter kubik 1,2-1,5 dollar Singapura, pihak developer sebagai pihak ketiga menetapkan harga berdasarkan meter kedalaman penimbunan, sedangkan Otorita Singapura menjual berdasarkan meter persegi, yang sampai ke pengguna seharga 850 dollar Singapura per meter persegi. Hal ini ditunjukan adanya selisih yang sangat besar antara harga ekspor di Indonesia dan harga impor di Singapura yang besarnya hampir mencapai dua kali lipat. Kerugian pemerintah akibat praktik ini pertahunnya mencapai 1,76 milyar dollar Singapura. Maka, bila dihitung-hitung dalam waktu 24 tahun sejak pasir laut di Riau mulai ditambang, kerugian yang dialami Indonesia telah mencapai 42,38 milyar dollar Singapura atau 237,328 trilyun rupiah.
Perluasan wilayah itu akan menggeser batas wilayah perairan internasional antarnegara, yaitu lebar jalur pelayaran antara Singapura dan Batam di Selat Malaka. Perluasan daratan Singapura juga akan menggeser batas wilayah masuk ke wilayah perairan Indonesia, karena lebar jalur pelayaran akan dihitung dari titik terluar garis pantai masing-masing negara.

Tabel Perkembangan Wilayah Singapura

Selain untuk reklamasi, sebagian pasir laut itu dipergunakan Singapura untuk membangun negaranya, seperti konstruksi apartemen dan infrastruktur lainnya. Selama kurang lebih 20 tahun, Singapura sebagai konsumen pasir laut Indonesia telah menggunakannya sebagai bahan dasar konstruksi bangunan gedung-gedung pencakar langit, reklamasi pantai, dan perluasan kawasan Bandara Internasional Changi serta kawasan industri sekitarnya.
Penambangan pasir laut dari perairan Kepulauan Riau sebenarnya dapat memberikan banyak manfaat kepada rakyat setempat maupun Pemda. Tak kurang dari rata-rata pertahun sebesar 2 milyar dollar Singapura bisa mengalir ke daerah itu dan memakmurkan warganya. Namun pada kenyataannya, ekspor tersebut hanya menghasilkan 28 hingga 75 juta dollar Singapura bagi Pemda Kepulauan Riau.
Menurut regulasi yang ada, tiap kapal yang mengangkut pasir laut sekali berangkat mengekspor ke Singapura harus memiliki satu dokumen PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang). Dokumen PEB tersebut hanya berlaku untuk satu kali ekspor, namun pada praktiknya telah dimanipulasi hingga dapat digunakan berulang kali sehingga negara sangat dirugikan. Praktik penyelundupan pasir laut dengan tidak membayar pajak ekspor dilakukan dengan dua cara. Pertama, memanipulasi volume kapal keruk, kapal keruk bermuatan 50.000 meter kubik dilaporkan hanya mengangkut 5000 meter kubik. Kedua, memanipulasi pelaporan jumlah pelayaran. Kapal keruk bolak-balik mengirim pasir laut ke Singapura dalam beberapa rit, dilaporkan hanya satu kali berlayar dalam satu hari.
Hal ini diduga melibatkan pejabat setempat sekaligus dengan aparat keamanan (Bea Cukai, Polisi, TNI) yang melakukan pengawalan, ditingkat lapangan, administratif meupun pemegang kebijakan. Jika kapal tertangkap dalam melakukan penyelundupan, maka kapal tersebut diberikan denda sebesar 30 juta rupiah atau kurungan selama-lamanya enam bulan kepada pemilik dan nahkoda kapal. Penanganan kasus penambangan liar ini tidak pernah serius, hanya dengan membayar uang jaminan sebesar 50% dari harga kapal, kapal yang tertangkap itu sudah dapat berlayar lagi. Padahal sudah melanggar pasal berlapis.
Dampak dari penembangan pasir laut ini khususnya bagi Indonesia selain dalam bentuk materi juga ada yang lainnya. Misalnya pada lingkungan pantai, zona penambangan yang tidak diatur secara jelas mempercepat abrasi pantai. Bahkan dapat menenggelamkan sebuah pulau yaitu Pulau Karang dan Pulau Nipah. Selain itu juga merusak ekosistem laut yang mengakibatkan nelayan mengalami penurunan jumlah penangkapan ikan di laut. Ini menyebabkan harga ikan menjadi mahal dan pada akhirnya merugikan konsumen. Ironisnya, akibat pulau-pulau yang hilang, terjadi pergeseran batas wilayah antara Indonesia dan Singapura.
Melihat kondisi ini, banyak pihak yang mendesak agar pemerintah segera menghentikan praktik jual pasir ini. Maka pada tanggal 23 Januari 2003, Tim Pengendali dan pengawas Pengusahaan Pasir Laut yang diketuai Menteri Kelautan dan Perikanan Rochmin Dahuri memutuskan penghentian sementara kegiatan pengusahaan pasir laut di wilayah perairan Provinsi Riau sampai batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura selesai ditetapkan, dengan mengeluarkan SK No.116/2/2003 oleh Memperindag. Meskipun secara resmi telah dilarang, tetapi penyelundupan masih saja terjadi.

Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura
Menurut pasal 1 UU nomor 1/1979, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut.
Dari definisi diatas, kita bisa mengetahui bahwa tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk meminta buronon dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura merupakan negara tempat favorit untuk berbelanja dan perawatan kesehatan, juga menjadi pilihan utama tempat para koruptor asal Indonesia untuk bersembunyi. Hal ini disebabkan antara Indonesia dan Singapura tidak ada perjanjian ekstradisi. Padahal, pemerintah Indonesia telah meminta berkali-kali untuk merealisasikan perjanjian tersebut. Hanya saja pemerintahan negeri Singapura sepertinya ogah-ogahan untuk membahas lebih lanjut usaha Indonesia tersebut. Masalahnya, di Singapura, banyak sekali warga Indonesia yang bersembunyi karena melakukan pencucian uang (money laundering).
Dalam acara “Conference On Combating Money Laundering and Terrorist Financing” di Bali pada 18 Desember 2002, pemerintah Indonesia menyampaikan kekesalannya, karena Singapura selalu menolak membuat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Banyak orang Indonesia yang menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang sekarang ada di Singapura. Bahkan, sebagian sudah dituntut ke pengadilan, tapi tidak bisa dihadirkan, karena mereka tinggal di Singapura.
Proses ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura sesungguhnya telah dirintis sejak awal 1970 an. Berkali-kali pemerintahan Soeharto menawarkan direalisasikannya perjanjian tersebut kepada pemerintahan Lee Kuan Yew. Namun Lee kurang berselera dengan usulan ini sehingga bertahun-tahun perjanjian ini hanya menjadi wacana elit saja. Singapura selalu saja mengeluarkan dalih macam-macam. Singapura beralasan menolak perjanjian ekstradisi itu, karena mereka menganut sistem hukum berbeda. Singapura yang menganut sistem hukun British Commonwealth yang menyulitkan perjanjian ekstradisi di Indonesia, sedangkan Indonesia sendiri menganut sistem hukum warisan kolonial Belanda (Europe Continent).
Alasan itu dibantah oleh pemerintah Indonesia. Sebab Indonesia sudah punya perjanjian ekstradisi dengan Australia dan Hongkong yang punya prinsip hukum seperti Singapura. Singapura mampu berbuat sepeti itu karena merasa kuat, merasa lebih hebat dari Singapura. Dibenak Singapura, yang terpenting adalah profit. Jika sesuatu menguntungkan bagi mereka, mereka tidak mau dengan mudah melepasnya. Ini karena Singapura mendapatkan keuntungan besar dari situ. Dengan tidak adanya perjanjian ekstradisi, maling-maling membawa uang dari Indonesia ke Singapura. Devisa Singapura jauh melebihi Indonesia, padahal dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil dari Indonesia. Selain itu juga Singapura diuntungkan juga, dengan dilarikannya uang rakyat Indonesia dari hasil korupsi sebanyak 1300 milyar ke Singapura menambah pendapatan Singapura.
Pemerintahan Soeharto gagal membujuk Singapura untuk duduk bersama membicarakan perjanjian ekstradisi ini. Ketika pemerintahan Habibie dan Gus Dur pun perjanjian tersebut belum juga direalisasikan. Gus Dur digantikan oleh Megawati, hubungan Indonesia – Singapura terasa membaik. Tapi soal perjanjian ekstradisi pun megawati gagal. Barulah ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggenggam estafet kepemimpinan bangsa ini, Singapura menunjukan keterkaitannya duduk semeja merundingkan hal yang penting ini. Tampilnya pemerintahan baru di Singapura sejak 12 Agustus 2004 dan Indonesia sejak tanggal 20 Oktober 2004 telah memberikan momentum baru bagi hubungan kedua negara kedepan. PM Lee Hsien Loong menghadiri pelantikan Presiden SBY.
Setelah pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Lee Hsien Loong, maka dibentuklah perundingan perjanjian ekstradisi Indonesia. Pertemuan pertama tim Indonesia dengan tim Singapura terjadi pada tanggal 17-18 April 2005 di Singapura dan pertemuan kedua pada tanggal 12-13 April di Yogyakarta. Pertemuan terakhir pada tanggal 15-16 Agustus 2005 di Singapura. Akhirnya perjanjian ekstradisi tersebut disepakati pada tanggal 27 April 2007 menjadi momen bersejarah bagi dua negara Indonesia – Singapura. Bertempat di Istana Kepresidenan Tampaksiring, Baliperwakilan pemerintah kedua negara akhirnya, setelah melalui proses perundingan selama tiga dasawarsa, menandatangani perjanjian ekstradisi. Secara bersamaan, kedua negara juga menandatangani Perjanjian Pertahanan.

Perjanjian Militer Indonesia – Singapura
Sebenarnya, apa yang membuat publik kontra terhadap perjanjian yang sangat bagus itu ? jawabannya ada pada perjanjian lain yang mengiringinya. Defence Cooperation Agreement (DCA), dinilai telah sangat merugikan pihak Indonesia. Dalam perjanjian itu, tiap negara boleh memanfaatkan fasilitas dan wilayah bersama untuk latihan militer. Keuntungan yang diperoleh Indonesia yaitu bisa meminjam peralatan perang Singapura yang sudah 30 tahun lebih canggih dari Indonesia. Sehingga tentara Indonesia bisa mendapatkan teknologi yang canggih.
Tapi yang merugikan, untuk wilayah pasti yang digunakan adalah kawasan Indonesia. Sebab mana mungkin menggunakan wilayah singapura yang hanya seperseratus dari Indonesia itu ? hal ini berarti tentara Singapura dengan bebas memakai suatu lokasi di Indonesia untuk latihan militer. Bahkan mereka boleh mengajak pihak ketiga walaupun atas seizin Indonesia. Ini berarti kedaulatan Indonesia sudah terganggu karena ada militer negara lain di wilayah Indonesia sendiri. Sistem pertahanan Indonesia bisa diketahui sehingga tidak ada lagi wilayah yang tertutup untuk kekuatan asing.
Sebenarnya, metode latihan bersama yang perlu dibenahi agar saling menguntungkan kedua negara, dan bukan ditingkatkan menjadi perjanjian pertahanan permanen berjangka waktu lama. Lebih bermanfaat dikembangkan latihan bersama yang sifatnya parsial, dan bukan perjanjian yang sifatnya pakta pertahanan permanen.
Kerjasama militer kedua negara sebenarnya telah berlangsung lama, sejak 26 tahun lalu, yakni dalam kerangka Latihan Bersama Indonesia-Singapura (Latma-Indopura).
Indonesia membatalkan secara sepihak kerjasama angkatan udara kedua negara di wilayah Pekanbaru karena Singapura yang jauh lebih diuntungkan, serta dinilai telah melanggar kedaulatan Indonesia dengan menyertakan pihak ketiga. Dari perhitungan biaya, Singapura lebih diuntungkan karena jarak Singapura-Pekanbaru jauh lebih dekat dibandingkan dengan jarak Pekan Baru-Lanud Iswayhudi Madiun, Jatim. Pangkalan Udara TNI AU Iswahyudi adalah basis utama kekuatan udara Indonesia, yakni pangkalan dari pesawat tempur F-16, Sukhoi, Sky Hawk, dan Hawk yang merupakan kekuatan udara utama Indonesia.
Karena letaknya yang lebih dekat dan didukung dengan anggaran militer lebih besar, Singapura akhirnya yang lebih banyak memanfaatkan kerjasama udara di Pekanbaru pada 1980-1990. Pada 27 April 2007, pemerintah RI dan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi dan kerja sama pertahanan. Proses penandatanganan dokumen itu dilakukan di Istana Tampak Siring, Bali oleh Menlu, Menhan dan Panglima Angkatan Bersenjata dua negara yang disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian pertahanan tersebut mengatur tentang kerjasama pelatihan antara kedua angkatan bersenjata atas prinsip saling menguntungkan.
DCA ini sekurangnya akan terdiri dari lima, hal penting yang mencakup. Pertama, Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Kerjasama Pertahanan atau dikenal DCA, ditandatangani Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Menteri Pertahanan Singapura Teo Chee Hean, pada 27 April 2007 di Istana Tampak Siring, Bali. Kedua, Peraturan Pelaksanaan antara Tentara Nasional Indonesia dan Tentara Singapura untuk Daerah Latihan Militer di Indonesia atau disebut Implementing Arrangement for the Military Training Area (IA), ditandatangani oleh Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto dan Panglima Angkatan Bersenjata Singapura Mayor Jenderal Desmond Kuek, juga di Tampak Siring.
Sedangkan tiga perjanjian lainnya adalah peraturan pelaksanaan latihan militer antar angkatan darat (army implementing arrangement), angkatan laut (navy implementing arrangement), dan angkatan udara (air force implementing arrangement) Indonesia dan Singapura, yang bila disepakati akan ditandatangani oleh para kepala staf angkatan dari kedua negara. Kemacetan juga terjadi dalam proses negosiasi tahap ini, khususnya menyangkut Daerah Bravo.
Lingkup Kerjasama
1.Dialog dan konsultasi bilateral secara berkala
2.Pertukaran Intelijen, termasuk kontraterorisme
3.Kerjasama bidang ilmu pengetahuan bidang teknologi
4.Memajukan pengembangan SDM
5.Pertukaran siswa personel militer
6.Latihan bersama atau terpisah termasuk akses timbal balik ke area dan fasilitas latihan
7.Kerjasama SAR, penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan

Kerjasama Latihan
1.Pengembangan area dan fasilitas latihan di Indonesia untuk latihan bersama TNI dan Singapore Armed Force (SAF) serta provisi bantuan latihan untuk TNI.
2.Penyedian akses ke wilayah udara dan laut Indonesia untuk latihan SAF.
a. Area Alfa 1: tes kelaikan udara, check penanganan dan latihan terbang
b. Area Alfa 2: latihan matra udara
c. Area Bravo : latihan maneuver laut republic of Singapore Navy (RSN), termasuk bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic of Singapore Air Force (RSAF).
3.Pelaksanaan latihan secara rinci diatur dalam implementing arrangement (IA).
4.SAF boleh latihan bersama Negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan seizing Indonesia.
5.Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim observer dan berhak berpartisipasi dalam latihan setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta latihan.
6.Personel dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dengan angkatan bersenjata singapura.

Jangka Waktu
1.Berlaku untuk 25 tahun
2.Para pihak dapat melakukan peninjauan terhadap DCA setiap enam tahun sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun.
3.DCA diperbaharui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan terkecuali atas kesepakatan bersama.

Sedangkan untuk kerjasama daerah latihan militer bersama, Indonesia memberikan fasilitas wilayah latihan udara dan laut tertentu kepada Singapura, dalam lingkup yuridiksi hukum Indonesia. Namun, TNI juga memiliki akses terhadap peralatan dan teknologi militer Singapura, meski hal ini diyakini banyak kalangan sulit dilaksanakan, karena fasilitas militer Singapura itu tersebar di sejumlah negara, seperti Taiwan, Israel, AS, Brunei, Australia, dan Thailand.
Berdasarkan kesepakatan itu, Angkatan Udara Singapura (SAF) boleh latihan bersama dengan negara pihak ketiga di area Alfa Two dan Area Bravo dengan seizin Indonesia , dan Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim pengamat dan berhak berpartisipasi dalam latihan tersebut setelah berkonsultasi dengan pihak peserta latihan.
Personel dan alat peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dan alat peralatan bersenjata Singapura.
Namun sebagian masyarakat Indonesia menyatakan Banyak keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia melalui kerjasama pertahanan itu, seperti memanfaatkan simulasi dan manuver-manuver pertempuran yang dimiliki oleh Singapura. Keuntungan yang diperoleh militer Indonesia melalui kerjasama itu lebih besar dibandingkan kerjasama sebelumnya, terutama dalam mengakses informasi dan teknologi militer Singapura yang jauh lebih maju. Teknologi militer Singapura banyak dipasok AS dan Israel, dan negara pulau itu juga menjalin kerjasama militer dengan kedua negara tersebut. Teknologi militer Singapura disebutkannya 30 tahun lebih maju dibandingkan dengan teknologi militer Indonesia yang sekarang masih mengandalkan persenjataannya dari teknologi tahun 1970-an, seperti Rusia dan Ceko.
Ada banyak hal strategis yang bisa menimbulkan persoalan besar terkait dengan penetapan Area Bravo sebagai wilayah latihan militer Singapura, yang bisa berlangsung selama 25 tahun. Kerawanan itu adalah:
Pertama, kedalaman air di wilayah itu 35-80 m, sehingga apabila ada kegiatan latihan militer berupa penembakan peluru kendali secara intensif, maka akan merusak biota laut yang ada di sekitarnya.
Kedua, wilayah tersebut masuk dalam zona penangkapan ikan, bila Singapura menuntut latihan itu berlangsung 15 hari dalam sebulan, atau 45 hari dalam tiga bulan, jelas akan mengganggu kegiatan ekonomi di situ, maupun keselamatan kegiatan sipil. Apalagi kalau tuntutannya adalah latihan sepanjang tahun.
Ketiga, wilayah tersebut sangat berdekatan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas lepas pantai di Natuna. Sehingga latihan peperangan laut yang melibatkan hingga 25 kapal perang bisa membahayakan. Apalagi di zona Bravo itu juga terdapat kandungan mineral.
Keempat, zona itu bersentuhan dengan koridor Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, sehingga bisa mengganggu lalu lintas pelayaran.
DCA itu bisa menjadi titik masuk bagi pelanggaran terhadap UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang melarang Indonesia ikut serta dalam sebuah pakta pertahanan dengan negara manapun. Mahasiswa di Batam maupun DHN 45 Riau juga menolak kerjasama itu karena merugikan kedaulatan dan perekonomian Indonesia, seperti berpotensi mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut selain itu Indonesia yang lebih banyak dirugikan. Perjanjian itu, katanya, berpeluang menggadaikan kedaulatan negara, serta bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif karena menjalin kerjasama yang mengarah ke pakta pertahanan permanen selama 25 tahun.
Saya bukannya tidak mau negara kita bekerjasama dengan Singapura, tapi kerjasama itu harus saling menguntungkan dan tidak melanggar kedaulatan masing-masing negara.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..