Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

PERLAWANAN KOLONIALISME VOC DI MALUKU TENGAH


Paling kurang ada tiga buah dokumen yang ditulis orang-orang Ambon pada masa perlawanan Pattimura. Mengapa mereka melawan kekuasaan Kolonial dalam tahun 1817 dibeberkan dengan jelas dalam dokumen-dokumen yang ditulis dengan.huruf latin dan bahasa Melayu itu. Selain itu Gubernur Belanda yang diang-gap bersalah dalam peristiwa ini, baik oleh orang-orang Ambon maupun oleh pejabat-pejabat di Batavia, juga meninggalkan laporan mengenai sebab-musabab terjadinya perlawanan tersebut. Demikian pun Komisaris Engelhard yang mendampingi Gubernur, serta Admiral Byuskes yang didatangkan dari Batavia.
Sebab itu kita dapat menyusun suatu uraian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa perlawanan Pattimura di Maluku Tengah. Setelah merebut pusat pemerintahan Hindia Belanda di Saparua, para pengikut Pattimura Thomas Mattulesia mengeluarkan suatu pernyataan yang ditujukan pada pihak musuhnya. Di dalam pernyataan tertanggal 29 Mei 1817 itu pengikur Pattimura menegaskan, bahwa orang-orang Ambon menuntut perbaikan-perbaikan di Maluku Tengah. Bila per-baikan-perbaikan yang disebut satu per satu di dalam pernyataan itu dapat dipenuhi, maka perlawanan akan dihentikan. Tetapi bila tuntutan-tuntutan itu tidak dapat dipenuhi dengan sendirinya pen-duduk Maluku Tengah tidak akan mengakui hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda lagi.
Sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke 17, timbul per-mukiman-permukiman baru dengan nama "negeri" di daerah pantai kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur dari.sistem budaya lama dengan unsur-unsur baru yang dimasukkan oleh VOC.2 Masyarakat negeri di pantai kepulauan Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untu* perkebunan-perkebunan cengkeh, di samping tanah-tanal pusaka-pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkeh dar setiap dati dijual pada VOC dengan harga tertemu, sedangkar hasil dari tanah pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga (famili) yang mengerjakannya. Selain itu VOC jugs mengembangkan suatu sistem pemerintah desa (negeri) sert£ sistem pendidikan desa. Bila para penguasa desa mempunya; ikatan kekerabatan dalam desa (negeri) masing-masing, make para guru desa selalu dipindah-pindahkan dari suatu desa ke desa lainnya.
Sistem perkebunan cengkeh, serta sistem pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa, merupakan unsur-unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi.
Namun di samping itu terasa pula kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan sistem-sistem itu. Ekspidisi Hongi yang diorganisir VOC setiap tahun, umpamanya, lebih banyak merupa-kan tragedi dalam sejarah Maluku. Ekspedisi yang terdiri dari kora-kora (perahu perang) milik masing-masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase, dimaksudkan untuk mengawasi pulau-pulau Seram, Buru dan Manipa, dan lain-lain, yang dilarang menghasilkan cengkeh. Setiap pohon cengkeh di pulau-pulau ter-sebut ditebang oleh serdadu-serdadu VOC yang diangkut armada Kora-kora tersebut. Selama berlangsungnya ekspedisi itu banyak pemuda-pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora me-ninggal karena kekurangan makanan, atau dibunuh musuh. Selain itu waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati, yaitu tiga bulan dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkeh (akhir tahun) tatkala tenaga mereka justru dibutuhkan di dati masing-masing.
Kepincangan lain sistem yang dibangun VOC di Maluku Tengah adalah korupsi terutama sejak bagian kedua abad ke-18, penyakit ini mulai menjalar di kalangan pejabat-pejabat Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-17, mulai berganti dengan mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung-rugi perusahaan sebagai dorongan utama, berganti dengan usaha memperkaya diri masing-masing. Para Residen di daerah-daerah menjual suply bahan-bahan keperluan yang disalurkan VOC kedaerah-daerah dengan harga yang menguntungkan.
Hukuman denda (wang) yang dituntut pengadilan negeri di Am-bon atas penduduk yang melakukan pelanggaran hukum, dibayar-kan oleh Residen yang bersangkutan, yang kemudian memotong jumlah ini ditambah suatu jumlah tertentu untuk kepentingan sen-diri, dari hasil penjualan cengkeh orang-orang yang bersangkutan.
Pelanggaran-pelanggaran atas peraturan-peraturan lain yang dilakukan pejabat-pejabat tersebut meliputi hampir seluruh segi kehidupan pedesaan. Tetapi di dalam pernyataan pengikut-pengikut Pattimura tersebut, hanya disebut tindakan-tindakan para pejabat yang mulai memerintah pada bulan Maret-April 1817. Pejabat-pejabat ini mengambil oper pemerimahan Maluku Tengah dari tangan pejabat-pejabat Inggris yang memerintah se-jak tahun 1810. Rencana-rencana mereka menggelisahkan rakyat. Penyederhanaan sistem pendidikan dengan menghapuskan seko-lah-sekolah desa dan memusatkannya di satu atau dua negeri disetiap pulau, didesas-desuskan oleh orang-orang Ambon sebagai usaha menghapuskan seluruh sistem itu. Sekalipun interprestasi ini tidak benar, dan ternyata rencana penyederhanaan oleh se-jumlah pejabat-pejabat yang belum mengenal daerah itu, mem-buat desas-desus tersebut menjadi sumber keresahan.
Leverantie bahan bangunan juga merupakan sumber penyalah gunaan. Kewajiban ini merupakan suatu bagian dari sistem VOC sejak pertengahan abad ke-17, dan disempurnakan dalam masa-masa berikutnya. VOC mewajibkan negeri-negeri tertentu di Am¬bon dan Uliase untuk menyediakan bahan-bahan bangunan dan bahan-bahan untuk perbaikan kapal-kapalnya. Bahan-bahan itu ditebang di Seram dan diangkut ke Ambon oleh negeri-negeri tersebut. Dalam masa pendudukan Inggris yang berlangsung sepuluh tahun itu paksaan ini dihapus dan seluruh "Leverantie" bahan bangunan dibayar oleh fihak Inggris. Tetapi pejabat-pejabat Belanda yang menggantikan pada pertengahan tahun 1817 itu, menghidupkan sistem lama sekalipun dengan jumlah bayaran yang tidak memuaskan penduduk.
Kemudian ada beberapa tindakan lain yang oleh penduduk dianggap tidak pantas. Perintah Gubernur van Middelkoop pada penduduk Ambon-Lease untuk membuat garam dan ikan asin bagi keperluan kapal-kapal perang Belanda yang sedang berlabuh di Ambon, dianggap perbuatan sewenang-wenang. Membuat garam dan ikan asin tidak pernah menjadi kewajiban sebelumnya. Hanya karena kebetulan pada saat itu hubungan dengan Batavia sangat sulit sehingga penyediaan bahan makanan bagi keperluan tentara dan pegawai Belanda juga terlambat, membuat van Mid-delkoop mengeluarkan perintah ini. Perintah ini dianggap mem-beratkan karena kerja rodi lain tidak dikurangi. Bayaran yang kecil jumlahnya untuk hasil ikan asin dan garam terutama ditolak oleh penduduk Saparua.?
Sumber keresahan lainnya yang disebut oleh pengikut-pengikut Pattimura adalah sirkulasi wang kertas. Sejak masa VOC pen¬duduk selalu menerima uang logam untuk hasil penjualan cengkeh mereka. Uang kertas mulai di introdusir Daendels di Jawa dan kemudian baru pada tahun 1817 di Ambon. Pernyataan pengikut-pengikut Pattimura menjelaskan adanya penyelewengan dalam hal ini. Pejabat-pejabat daerah membayar hasil cengkeh dengan uang kertas, tetapi penduduk yang membeli bahan-bahan kebutuhan seperti tekstil di toko-toko pemerintah, diwajibkan membayar dengan uang logam.
Soal uang kertas terutama ditekankan dalam "Pernyataan Hatawano"1) (Saparua Utara) ketika diadakan perundingan dengan pihak Belanda pada bulan Juli 1817. Antara lain disebut bahwa uang kertas tidak bisa dipergunakan untuk memberi sum-bangan digereja (tabung diakoni yang dibuat khusus untuk uang logam). Menurut Pernyataan Hatawano mereka yang menolak menerima uang kertas akan dirantai dan diangkut ke Batavia. Selain menguraikan adanya hambatan-hambatan yang dikenakan atas kegiatan para guru desa yang juga mempunyai kewajiban mengasuh upacara-upacara agama Kristen, penduduk Hatawano juga menuntut dikirimnya dua orang pendeta. Pelayanan upacara-upacara keagamaan oleh pendeta-pendeta Belanda sudah terhenti jauh sebelum pendudukan Inggris. 10 Pihak Inggris yang mengerti sikap penduduk dalam soal ini, menyediakan seorang pendeta (Inggris) sebagai penggantinya. Hal ini tidak dilakukan para pe-jabat mengambil alih kekuasaan pada bulan Maret 1817.
Suatu sumber keresahan lainnya adalah paksaan atas pemuda-pemuda negeri untuk menjadi soldadu di Jawa. Sejak awal abad ke-17 sudah ada orang Ambon yang menjadi anggota tentara VOC,n tetapi jumlahnya berkurang sejak pertengahan abad ke-18. Ketika Daendels tiba di Batavia (1808) dengan rencana-rencana pertahanannya ia memerlukan pemuda-pemuda untuk "milisi"-nya. Antara lain sejumlah pemuda Ambon dan pulau Saparua diangkut dengan cara paksaan. Tindakan sewenang-wenang inilah yang tidak disetujui. Selain itu pengalaman pahit semasa Daendels menyebabkan orang menganggap pekerjaan soldadu sebagai suatu hukuman buangan.i2 Mungkin dalam pan-dangan penduduk praktek ini disamakan dengan kewajiban Hongi.
Pattimura menyebut persoalan paksaan menjadi soldadu di Batavia sebagai sumber keresahan yang penting di samping tindakan-tindakan penyederhanaan sistem pendidikan.B Laporan dari Johanis Risakotta, seorang guru dari negeri Porto, h malah menyebut persoalan ini sebagai dorongan utama yang menim-bulkan perlawanan di Saparua.
Perlawanan yang tidak kunjung reda di Saparua, Haruku, dan Ambon dengan bantuan pasukan-pasukan alifuru dari Seram itu berlangsung terus dalam bulan Agustus sampai Nopember. Se-kalipun persenjataan Pattimura tidak lengkap karena hanya kira-kira 20% saja dari pasukannya memiliki bedil tua yang biasanya dipakai untuk berburu, sedangkan sebagian terbesar hanya meng-gunakan parang (pedang), torana (tumbak) dan salawaku (perisai), siasat-siasat penyergapan terhadap benteng atau patroli musuh, sering cukup efejctif. Sergapan-sergapan ini dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil pada saat-saat yang diperlukan.
Selain itu pasukan-pasukan ailifuru berkeliaran dalam kebun-kebun cengkeh dan berhasil memaksakan penduduk yang memihak kepada musuh untuk tidak memetik cengkeh. Untuk mendapatkan mesiu, Kapitan Pattimura mengirim para pedagang dari Seram Timur yang secara tradisional berabad-abad sudah ber-dagang dengan kepulauan di nusantara bagian Barat sampai-sampai ke semenanjung Malaysia. Melalui mereka inilah Kapitan Pattimura mencari mesiu yang ditukarkan dengan cengkeh yang tertimbun dalam benteng Duurstede. Selain itu hubungan surat-menyurat juga dilakukan Pattimura dengan pelbagai penguasa di Bali, Kalimantan, Ternate, dan lain-lain melalui saluran per-dagangan tradisional itu.
Situasi ini rupanya mendorong pihak Belanda untuk mengambil tindakan yang lebih tegas lagi. Dalam bulan Nopember 1817 tiba di Ambon suatu armada yang lebih kuat dengan pasukan-pasukan yang masih segar, ditambah dengan sekitar 1500 orang pasukan alifuru yang disumbangkan kerajaan-kerajaan Ternate dan Tidore atas permintaan Gubernur van Middelkoop. Pasukan yang se-demikian dahsyat itu dipimpin langsung oleh Laksamana Muda A.A. Buyskes yang selain menjabat panglima armada di Hindia Belanda, juga menjadi Komisaris Jenderal I atau orang pertama di Batavia. Perwira yang berpengalaman melawan pasukan Napo¬leon di Eropa ini menyusun siasat yang sangat jitu, Pulau-pulau disekitar Saparua diterkamnya lebih dahulu dengan pasukannya yang sedemikian besar itu dengan ditunjang oleh kapal-kapal perang serta benteng-benteng yang terkenal dengan meriam-meriamnya. Pertempuran di Hitu dipimpin oleh Mayor Meyer. Kapitan Ulupaha terpaksa mengundurkan dirinya bersama pasukannya ke Seram dan bertahan di bekas benteng Belanda di Luhu. Baru pada bulan Januari ia terdesak dari sana bersama kira-kira 400 orang pasukannya dan bertahan dihutan-hutan sagu di utara Luhu. Tetapi suatu penyerbuan Belanda yang diperkuat dengan pasukan-pasukan dari Manipa dan Boano memaksakan pasukan Ulupaha mengundurkan diri lagi. Kapitan Seit yang telah tua itu dan senantiasa dipikul dengan kursi oleh pengikut-pengikutnya, tertinggal ketika pasukannya dikejar musuh, dan akhirnya jatuh ketangan musuh.
Segera setelah Hitu diduduki, pasukan Buyskes dengan koman-dan operasi Mayor Meyer diseberangkan ke Haruku. Dengan lin-dungan meriam-meriam dari kapal-kapal perang dan benteng Zeelandia pasukan ia menuju ke pusat pertahanan di Haruku yaitu desa Islam Pelau. Pasukan-pasukan Haruku segera mengun-durkan diri ke hutan-hutan. Namun mereka tidak mempertimbangkan kemampuan Buyskes yang memang unggul dalam strategi. Sebagian dari pasukannya dikerahkan ke Hulaliu yang dapai didukui karena pasukan-pasukan Haruku di sana juga mengundurkan diri dibawah tekanan meriam-meriam. Dari Hulaliu, Buyskes mengirim sebuah pasukan kecil yang terdiri atas orang-orang alifuru Ternate dan Tidore untuk memotong jalan melalui hutan dan pegunungan ke arah Aboru. Dengan cara ini pasukan-pasukan Haruku yang mengundurkan diri itu dapat dipukul dari pelbagai jurusan. Desa-desa yang memegang peranan penting di Haruku musnah terbakar, seperti Pelau, Rohomony, Kabau, Hulaliu dan Aboru. Pemuda-pemuda yang gagah perkasa satu persatu mengorbankan jiwa-raganya menghadapi tekanan dari pasukan yang lebih kuat persenjataannya dan lebih unggul strateginya.
Sebelum pasukan Meyer diseberangkan ke pulau Saparua dari Hulaliu, desa Porto dan desa Haria dimana mereka akan didarat-kan ditembaki oleh meriam-meriam kapal-kapal perang. Hal ini menyebabkan para pemuda Porto dan Haria yang berjaga-jaga dibelakang tembok-tembok benteng mereka terpaksa mengun¬durkan diri. Para wanita dan anak-anak sudah terlebih dahulu diungsikan ke pegunungan. Kapilan Pattimura pun memindahkan markasnya dari Haria ke wilayah pegunungan Boi. Setelah Porto dan Haria musnah terbakar, pasukan Meyer mendarat tanpa perlawanan. Sementara itu pasukan-pasukan Pattimura tidak memahami benar siasat yang digunakan Buyskes, karena beberapa kapal perang dan kapal pengangkut mengambil tempat dipelbagai sudut pulau itu, sehingga orang tidak mudah menduga dimana tempatnya pendaratan itu akan dilakukan. Pendaratan Meyer di Porto-Haria memang berhasil. Tetapi ketika pasukan Meyer berusaha membuka jalan antar Porto-Haria dengan Duurstede, mereka mengalami perlawanan yang gigih di Paperu. Perben-tengan yang sangat kompleks di sini dipertahankan tidak saja oleh pemuda-pemuda Paperu, tetapi juga diperkuat oleh pcmuda-pemuda Porto dan Haria. Namun keunggulan teknologi perang menentukan di sini pula. Kapal-kapal perang musuh segera mengambil kedudukan di perairan Paperu dan memuntahkan peluru-peluru meriamnya ke arah perbentengan Paperu. Wanita dan anak-anak diungsikan semeniara pasukan Meyer menyerbu dari arah barat (Porto-Haria), pasukan-pasukan dari benteng Duurstede dikerahkan pula dari arah Timur untuk memberi ban-tuan. Dari segala sudut desa Paperau disergap. Pasukan Meyer yang terlebih dahulu menerjunkan diri ke dalam perbentengan Paperu. Perang landing menyusul, dan pemuda-pemuda mulai terdesak oleh gelombang pasukan musuh yang terus-menerus ber-datangan. Korban-korban berjatuhan dalam jumiah yang banvak. Menghadapi tekanan-tekanan ini para pemuda mengundurkan diri ke arah hutan-hutan Paperu. Meyer dan pasukannya merayakan hari kemenangan di desa Paperu sementara pasukan Pattimura mulai merosot semangatnya. Ketika pasukan Meyer tiba di Boi, seorang musuh Kapitan Pattimura menghianatinya dengan cara menunjukkan tempat persembunyiannya. Beberapa panglima lainnya juga tertangkap dengan cara yang sama. Pertem¬puran kemudian berkobar lagi di desa-desa Sirisory, Ulat dan Ouw. Siasat yang digunakan Buykes di Paperu diulangi lagi di sini. Namun pertempuran di Ouw termasuk yang mengesankan karena pada ketika itu komandan ternyata meninggal. Kapitein Vermeulen-Kruger, yang juga luka-parah, mengambil alih pim-pinannya. Namun para pemuda tidak bisa menandingi siasat musuh yang terus menerus mengirimkan gelombang demi gelom¬bang pasukan untuk diterjunkan ketengah-tengah perbentengan Ouw. Mereka terkepung dan terpaksa mengundurkan diri. Dalam salah salu pertempuran ini Kapitan Paulus Tiahahu dari Nusaiaut tertangkap bersama putrinya Maria Kristina Tiahahu. Kapitan yang telah mendekati umur 80 tahun itu selama pertempuran-pertempuran juga senaniiasa diusung oleh pengikui-pengikutnya. Dalam bulan Desember 1817 Kapitan Pattimura bersama tiga orang panglimanya di jatuhi hukuman mati yang dijalankannya di benteng Niuew Victoria di Ambon. Beberapa orang pemimpin lainnya mengalami nasib yang sama seperti Kapitan Paulus Tiahahu yang dihukum pancung di Nusaiaut dan kapitan Ulu-paha yang diangkat dari Luhu untuk digantung di Ambon. Pelak-sanaan hukuman mati dilakukan alas peinimpin-pemimpin yang lebih rendah. Sejumlah pasukan yang teriangkap dikenakan hukuman buangan ke Cianjur. Sebagian lerbesar dikenakan amnesti.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..