Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

MENDALAMI SEJARAH MARITIM NUSANTARA MENINGKATKAN MARTABAT BANGSA



Indonesia ditinjau dari banyak sisi merupakan sebuah negeri yang beruntung. Iklimnya sangat bersahabat, alamnya indah dan kaya serta letaknya pun amat strategis dalam percaturan politik dunia. Berdasarkan hasil penelitian dan teori Kern serta Von Heine Geldern, kita dapat mengetahui bahwa orang-orang Austronesia yang di sebut-sebut sebagai nenek moyang bangsa Indonesia telah menempati sebagian wilayah nusantara sejak + 2000 tahun sebelum masehi atau tepatnya pada masa neolitikum. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa penutur bahasa Austronesia meliputi kawasan dengan batas-batas sebagai berikut : bagian barat di Madagaskar, bagian timur di Pulau Paskah, bagian utara di kepulauan Formosa dan bagian selatannya berada di Selandia baru .
Daerah-daerah yang disebut di atas sesungguhnya merupakan suatu kawasan yang sangat besar dan dipisahkan oleh lautan yang amat luas. Luasnya persebaran bahasa Austronesia telah membuktikan bahwa nenek moyang kita ketika itu sudah memiliki budaya maritim yang maju seperti : alat transportasi laut yang handal, Pengetahuan yang cukup tentang laut dan angin musim, serta berbagai pengetahuan lainnya yang berfungsi sebagai alat bantu navigasi .
Bukan hanya berlayar tentunya, bukti-bukti mengenai adanya aktivitas perdagangan sejak masa sebelum masehi pun sudah banyak di temukan oleh para ahli. Misalnya yang ditemukan oleh Heger, ia menemukan bahwa terdapat kesamaan penggunaan alat musik Nekara di beberapa wilayah Asia seperti di Indonesia, India dan China . Itu artinya, semenjak sebelum masehi pun lautan di nusantara telah memberikan banyak manfaat pada masyarakat, salah satunya adalah sebagai media hubungan dagang. Dan hubungan perdagangan ini pulalah yang menjadi salah satu penyebab bermunculannya kerajaan-kerajaan bercorak maritim yang di kemudian hari memegang peranan penting selama berabad-abad.
Dalam bukunya yang berjudul Makassar Abad XIX; Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, Dr. Edward L Poelinggomang menyebutkan bahwa pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan dunia (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengala yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan Laut Cina Selatan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan yang disebut terakhir ketika itu berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit. Ini jelas menandakan pula bahwa pada masa sebelum maupun sesudah memasuki tahun masehi lautan nusantara masih memberikan banyak manfaat pada masyarakat termasuk masyarakat internasional. Laut ketika itu telah mengajarkan pada masyarakat untuk berfikiran lebih terbuka sehingga memicu banyak kerajaan untuk menciptakan perahu militer yang handal dan kemauan keras untuk mempelajari ilmu navigasi. Beberapa hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu faktor pemersatu berbagai pulau di nusantara .
Hal yang menyedihkan kemudian menimpa banyak kerajaan di nusantara sejak sekitar abad ke-15. Ini merupakan akibat dari tidak dibarenginya kekuatan militer dan perdagangan dengan kemampuan menilai kondisi. Kerajaan-kerajaan ketika itu sangat mudah di “adu domba” oleh bangsa asing . Alhasil, dengan mudahnya mereka menduduki wilayah nusantara dan berusaha untuk menjauhkan kehidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk bertani dan tanpa disadari aktivitas maritim kian mengecil. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC untuk ganti menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu pula orientasi maritim kita diubah penjajah menjadi orientasi agraria. Bukan hanya itu saja, orientasi pembangunan negeri ini pun berubah menjadi land base oriented (berorientasi ke darat). Padahal secara objektif negeri ini adalah negeri kepulauan yang idealnya harus berorientasi kepulauan atau Archipelagic Base Oriented Development.
Dalam buku berjudul “The Influence of Sea Power upon History 1660-1783” yang terbit pada tahun 1890, Afred Thayer Mahan (1840-1914) mengajak pembacanya untuk memperhatikan kekuatan laut karena menurutnya lautan memiliki banyak sekali potensi yang dapat dioptimalkan. Tidak hanya itu saja, ia juga menyadarkan para pembacanya agar lebih menghargai laut karena lautlah yang sesungguhnya memegang peranan penting dalam proses penyatuan bangsa. Dikemudian hari buku ini menginspirasi banyak negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Prancis, Italia, Rusia, dan Spanyol untuk mengoptimalkan kekuatan lautnya . Dan kita lihat, sejak memasuki abad ke-19 negara-negara ini memang cukup berpengaruh dalam perpolitikan internasional. Itu berarti, jika Indonesia juga ingin menjadi negara yang berpengaruh dalam perpoilitikan Internasional atau minimal dihargai oleh bangsa lain sudah saatnya kita mengoptimalkan potensi laut.
Indonesia sebagai sebuah negara yang dua pertiganya berupa lautan sudah sejak lama menyadari besarnya potensi laut dan berbagai keuntungan yang dapat di gali dari laut. Melalui sejarah kita dapat menyaksikan kesadaran tersebut. Dalam pembukaan Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya..., bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal... bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri ".
Keseriusan Soekarno ketika itu dalam mengoptimalkan potensi laut sebenarnya dapat di lihat, tengoklah ketika pada tahun 1957 didirikan PELNI untuk menggantikan Koninklikje Paketvaart Maatschappij / KPM milik Belanda. Kita juga dapat menyaksikan ketika pada tahun 1960 di keluarkan Undang-undang No. 4 tentang Perairan Indonesia dan yang lebih hebatnya lagi, masih pada tahun yang sama Angkatan Laut Indonesia menjadi angkatan laut terkuat di Asia Tenggara dan terkuat ke empat di dunia di bawah Amerika Serikat dengan komposisi 234 kapal perang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Soekarno ketika itu benar-benar mengoptimalkan militer berdasarkan konstelasi geografis . Militer yang kuat ini pulalah yang kemudian mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat. Walaupun demikian, menurut penulis usaha tersebut masih belum optimal. Sebagai contoh, Tengoklah PELNI yang hingga hari ini masih belum terlihat akan mampu menyaingi Koninklikje Paketvaart Maatschappij yang telah memberikan keuntungan besar pada Belanda.
Di masa Orde Baru pun demikian, pada tahun 1996 dalam Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia yang diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan pemerintah mengajak bangsa Indonesia untuk kembali ke laut. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari, dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya.” Demikian ungkap Presiden Seoharto dalam sambutannya yang disampaikan Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie. Kalimat ini jelas merupakan kalimat yang menunjukkan kesadaran tinggi akan pentingnya laut.
Di setiap pergantian pemerintah Indonesia sejatinya selalu di upayakan agar kejayaan Bahari negeri ini dapat kembali di rengkuh. Habibi, Abdurrahman Wahid dan Megawati sudah berupaya untuk mengembalikan kejayaan Bahari negeri ini. Termasuk saat ini, di masa Presiden SBY sudah tiga tahun belakangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan beberapa instansi terkait mengadakan sebuah kegiatan yang di sebut AJARI (Arung Sejarah Bahari) tujuannya satu, agar kejayaan Bahari dapat kembali kita rengkuh.
Pertanyaan yang perlu diajukan saat ini adalah, apakah seluruh daya dan upaya yang dilakukan oleh berbagai fihak baik pemerintah, swasta maupun individu untuk meningkatkan potensi bahari telah berhasil? Sangat relatif memang. Dan tulisan ini bukan bertujuan untuk menilai kelompok mana yang paling berhasil memajukan potensi bahari kita, namun tujuan dari tulisan ini adalah agar pembaca tersadar akan kekayaan negeri ini, tertarik untuk mendalami sejarah negeri ini, dan mudah-mudahan kelak menjadi manusia-manusia yang berada pada barisan terdepan dalam memajukan negeri ini.
Kurangnya kepedulian masyarakat pada sejarah, khususnya sejarah maritim berimplikasi pada tumpulnya kepekaan terhadap potensi yang sungguh besar. Potensi tersebut adalah wilayah yang luasnya mencapai sekitar 7.7 juta kilometerpersegi. Luas ini terdiri atas 25 persen teritorial daratan (1,9 juta kilometerpersegi) dan 75 persen teritorial laut (5,8 juta kilometerpersegi). Luas wilayah lautan ini sama dengan 57 kali luas negara Belanda, 5 kali luas Jepang, dan 2 kali luas Pakistan. Belum lagi jumlah pulau besar dan kecilnya yang mencapai 17.508 buah. Potensi besar ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan teritorial laut terluas di dunia dengan keseluruhan garis pantai sepanjang 80.791 km. namun sungguh ironis, oleh masyarakat Indonesia sendiri perairan kita masih kurang dilirik, jangankan untuk mendalami sejarah maritim. Berkunjung ke laut pun sebagian masyarakat kita sudah enggan. mengapa? karena laut kini sudah tercemar oleh tangan-tangan kotor manusia yang tak bertanggung jawab.
Dilematis memang, kita telah bersepakat bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kecintaan pada negeri ini adalah dengan mendalami sejarahnya, karena dengan mendalaminya akan tumbuh benih-benih kecintaan yang berbuah kepedulian dan keinginan untuk menjaga dan merawat dengan sebaik-baiknya, tetapi realita yang ada di tengah-tengah masyarakat, sejarah sendiri kurang diminati. Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar pelajaran sejarah menjadi menarik? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengkaji sejarah melalui metode lintas batas ilmu seperti yang dinyatakan oleh Immanuel Wallerstein.
Pemikiran Immanuel Wallerstein
Bercampurnya sejarah dengan mitos-mitos menimbulkan kekhawatiran tersendiri di kalangan ilmuwan. Karena sejarah yang identik dengan diakroniknya tidak mungkin bisa bersamaan dengan mitos-mitos yang tidak jelas batasan temporalnya bahkan cenderung irrasional. Keadaan ini berdampak pada munculnya gagasan-gagasan baru untuk mendekati sejarah dengan pendekatan nomotetik seperti yang dilakukan pada ilmu-ilmu Alam. Pada tahapan selanjutnya gagasan nomotetik (menjadikan sejarah bersifat objektif dan universal) ternyata memiliki dampak tersendiri. Di kalangan Ilmuwan, gagasan ini banyak dipertanyakan. Khususnya oleh kalangan posmodernis. Sebab menurut mereka suatu hal yang tidak mungkin menjadikan sejarah bersifat objektif. Hal ini dikarenakan dalam khasanah keilmuwan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial tidak ada kebenaran tunggal (idiosinkretik). Tidak hanya itu saja, gagasan nomotetik ini ternyata juga menyerang konstruksi disiplin ilmu sosial lainnya, dampaknya seperti yang kita temui dewasa ini, ilmu sosial terpilah ke dalam disiplin-disiplin ilmu seperti Sejarah, sosiologi, politik, antropologi dll.
Dikotomi disiplin ilmu sosial seperti ini dikemudian hari ternyata memunculkan permasalahan baru, ketika seorang mahasiswa sejarah menulis skripsi tentang kemiskinan masyarakat dengan sangat mendalam bahkan sampai membuat pembaca seakan-akan mengalami kemiskinan tersebut. Skripsi sang mahasiswa justru di tolak secara mentah-mentah. Karena di nilai oleh sang dosen, skripsi tersebut bukanlah skripsi sejarah melainkan skripsi antropologi . Banyak lagi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat dikotomi ilmu-ilmu sosial ini. Kekhawatiran terhadap perkembangan ilmu telah menggugah seorang sejarawan bernama Immanuel Wallerstein untuk melakukan sesuatu. Kekhawatiran tersebut ia salurkan dengan mengajukan proposal penelitian pada Calouste Gulbenkian Foundation. Setelah yayasan tersebut mengamini gagasan Immanuel Wallerstein, selanjutnya sejarawan yang juga soiolog tersebut membentuk kelompok yang kemudian di kenal dengan nama komisi Gulbenkian terdiri atas Immanuel Wallerstein dari ilmu sejarah dan sosiologi yang bertindak sebagai ketua, Calestous Juma dari studi ilmu dan teknologi, Evelyn Fox Keller dari ilmu Fisika, Jurgen Kocka dari ilmu Sejarah, Dominique Lecourt, dari Filsafat, V.Y Mudimbe dari ilmu bahasa Romawi, Kinhide Mushakoji dari Ilmu politik, Ilya Prigogine dari ilmu kimia, Peter J. Taylor dari geografi dan M. Rolph Trouillot dari antropologi.
Komisi yang terdiri atas banyak ilmuwan kelas dunia dari berbagai latar belakang ilmu ini banyak melakukan kajian-kajian ilmiah, mereka coba melakukan dialog-dialog antar ilmu, termasuk antar kedua epistimologis (nomotetik dan idiosinkretik) tadi. Alhasil, dari dialog-dialog tersebut bermunculanlah studi - studi baru semisal studi kawasan yang mengkaji suatu wilayah dengan berbagai disiplin ilmu, Studi gender dan banyak lagi. Bahkan ilmu-ilmu sosial baru pun terus bermunculan seperti sosiologi politik, sosiologi ekonomi, antropologi historis dll.
Dengan mengkaji sejarah melalui pendekatan lintas Ilmu diharapkan pelajaran Sejarah menjadi lebih menarik lagi sehingga tujuan awal kita dapat tercapai dengan hasil yang maksimal. Implementasi pemikirannya dapat diterapkan dengan cara mengajak akademisi (mahasiswa maupun ahli) dari berbagai disiplin Ilmu yang relevan untuk mengkaji wilayah Bahari dengan model kajian kawasan. Teknisnya adalah Bahari di ulas dengan berbagai perspektif ilmu. Ulasan tersebut meliputi potensi alam, contoh-contoh negara lain yang telah mengoptimalkan potensi tersebut dan yang paling penting ulasan mengenai teknis pengembangannya.
Hasil dari kajian ini diharapkan dapat di kemas menjadi suatu produk baru dunia pendidikan, misalnya dengan memasukkan bab baru dalam buku pelajaran sekolah. Sebagai contoh Dalam pelajaran sejarah, dapat dimasukkan bab khusus mengenai sejarah maritim, dalam pelajaran biologi dapat dimasukkan bab khusus tentang biota laut nusantara. Dalam mata pelajaran geografi dapat dimasukkan bab khusus tentang geografi maritim, Atau mungkin lebih dari itu, kajian maritim dapat menjadi satu mata pelajaran baru di sekolah.
Dengan memperkenalkan sejarah maritim kepada peserta didik sejak awal, diharapkan kecintaan pada negeri ini sudah mulai terbentuk, dan terjadi proses reorientasi paradigma dari land base oriented (berorientasi ke darat) menjadi Archipelagic Base Oriented Development (berorientasi kepulauan). dan Putera-puteri nusantara kelak diharapkan dapat memahami aspek kebaharian secara komperhensif dan holistik sehingga mereka muncullah rasa memiliki dan rasa tanggung jawab untuk memajukan negeri ini.
Mengoptimalkan Potensi Laut
Setelah reorientasi paradigma terjadi, dan giroh (semangat) untuk meningkatkan martabat bangsa terbentuk, maka tinggal dilaksanakan pengoptimalan potensi Bahari. Di sini akan penulis paparkan hasil analisis penulis terhadap potensi laut yang kiranya dapat menguntungkan dan mudah-mudahan menjadikan negeri ini lebih baik dari sekarang Pertama, eksplorasi (pengangkatan) terhadap harta karun bawah laut. Jika kita melihat potensinya, sejak tahun 1400 sampai tahun 1900, tercatat 463 lokasi kapal tenggelam di seluruh lautan Nusantara. Ini belum termasuk tenggelamnya kapal-kapal kecil yang hampir terjadi setiap tahun dan hingga hari ini potensi yang sesungguhnya akan sangat menguntungkan negara ini belum dioptimalkan. Justru pada tahun 1986, Michael Hatcher, seorang warga negara Austria mengangkat semua isi kapal Gerdelmalsen yang berisi 213.000 keramik antik dan 160 batang emas lantakan. Sebagian dari harta karun tersebut jika diuangkan nilainya lebih dari 16,6 juta dollar AS atau 6,5 juta gulden. Apabila harta karun ini bisa dimanfaatkan, tetntunya alan menjadi sumber uang yang baru untuk negara.
Kedua, optimalisasi perikanan, khususnya usaha perikanan laut. Sampai tahun 2007, Indonesia masih mengalami defisit ikan. Padahal perkiraan potensi perikanan laut Indonesia tidak termasuk perikanan darat berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan adalah sebesar 9,63 juta ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 7,81 juta ton per tahun. Defisit ikan ini teradi disebabkan oleh banyaknya “mafia laut” yang masuk ke Indonesia dan pulang setelah mendapatkan ikan.
Ketiga, pengembangan industri wisata bahari. Program wisata bahari ini diarahkan kepada pengembangan kawasan wisata pesisir dan pantai serta taman laut Nusantara. Untuk wisata pantai, pengelolaannya tidak terlalu rumit. Banyak contoh model pengelolaan wisata pantai yang sudah berhasil seperti di Pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat. Meskipun tidak bisa diseragamkan, model pengelolaan di kedua daerah tersebut bisa dijadikan contoh untuk daerah pantai lainnya di Indonesia.
Keempat, pengelolaan terhadap taman laut yang kaya akan terumbu karang. Diperkirakan sedikitnya 950 jenis terumbu karang terdapat di perairan Indonesia dengan potensi luas mencapai 60.000 kilometerpersegi dan membentang sepanjang 17.500 km. Sebagian di antaranya sudah ditetapkan menjadi taman laut nasional, antara lain di daerah Kepulauan Tukang Besi (Sulsera), Kepulauan Takabonerate (Sulsel), dan Bunaken (Sulut). Bahkan jika dibandingkan dengan taman laut dunia seperti di Tahiti, Kepulauan Karibia, dan Great Barrier Reef di Australia, nilai keindahan yang dimiliki taman laut Indonesia masih jauh lebih tinggi berdasarkan laporan Dirjen Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, dapat digambarkan bahwa kondisi riil terumbu karang Indonesia saat ini adalah 41,78 persen berada dalam kondisi rusak, 28,30 persen dalam kondisi sedang, dan 23,72 persen dalam kondisi baik. Sementara itu, yang masih dalam kondisi sangat baik hanya 6,20 persen. Dengan mengotimalkan empat potensi ini penulis berharap kecintaan pada negeri ini meningkat, martabat bangsa meningkat dan kita semua berusaha dengan sungguh-sungguh menjadi manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..