Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

MASTERY LEARNING DI JEPANG


Di Amerika sekolah dianggap sebagai sebuah kebun bintang. Untuk menjadi seorang pendidik, guru tersebut harus berpengalaman dalam mengajar sehingga mampu mengendalikan kelas. tetapi hal demikian tidak ditemukan di Jepang, dimana tata tertib sekolah di Jepang diusahakan sejak dini, sehingga guru-guru tidak mengalami kesulitan dalam mengelola kelas. Mereka tidak melakukan diskriminasi dalam memuji dan mengevaluasi siswa dan bekerja sebaik-baiknya agar siswa-siswanya dapat menyelesaikan kurikulum. Di Jepang dilakukan sistem pendidikan menggunakan teori “Mastery Learning” yang menyajikan suatu kerangka untuk menganalisa proses belajar dan yang tampaknya cocok untuk menyoroti beberapa perbedaankhasyang ada dalam pendidikan di Jepang.

Teori “Mastery Learning”
Uraian teori ini lengkap dijelaskan dalam buku Bloom, “Human Characteristics and School Learning”. Dalam kata pengantarnya Bloom menyebutkan inti dari teori tersebut, yaitu siswa akan dapat mempelajari apa yang diajarkan di sekolah jika halnya disajikan secara menarik dan sistematis. Teori ini menitikberatkan pada pemberian perhatian sepenuhnya kepada variabel-variabel yang pokok dan yang mempengaruhi proses belajar di sekolah.

Instruksi
Teori “mastery learning” tidak menganjurkan sesuatu kurikulum yang khas, tapi punya implikasi tertentu untuk penyusunan kurikulum. Adapun asas-asas pokok instruksi yang digunakan ialah :
1.Penciptaan suasana instruksional yang menuju sasaran / tujuan tanpa ada gangguan,
2.Jelaskan pada siswa apa yang harus mereka kerjakan,
3.Ajak siswa berpartisipasi dalam belajar,
4.Beri pujian (penguatan) kepada siswa untuk prestasinya,
5.Periksa kemajuan siswa secara kontinu dengan memberi ulangan, kalau ia gagal sediakan baginya sesuatu yang memungkinkannya menguasai tugas.

Namun teori-teori ini tidak menganggap asas-asas itu cukup untuk menjamin akan ada hasil yang diharapkan, karena tekniknya harus digabung dengan memperhatikan karakteristik mula-masuk siswa.

Karakteristik-karakteristik Awal Masuk
Teori ini membuat dua buah asumsi dasar yang sederhana namun revolusioner mengenai hal ini. Pertama, teori ini berangkat dari anggapan bahwa tiap pelajar punya sejarah belajarnya sendiri dan sejarah itu mengangkatnya ke suatu tingkat motivasi dan penguasaan bahan pelajaran. Dalam situasi yang pertama instruksi dapat diberikan begitu saja kepada tingkat kognitif individu.
Sedang dalam situasi yang kedua instruksi harus cocok buat siswa-siswa yang tingkat prestasinya berbeda. Sehingga instruksi yang paling efektif adalah meningkatkan semua siswa ke tahap prestasi yang sama tingginya dan kemudian secara bertahap mengangkatnya bersama-sama ke tahap yang lebih tinggi. Dalam hal ini, modifikasi dapat dilakukan terhadap karakteristik mula individu. Sehingga akan diperoleh hasil output yang baik dengan membuat semua siswa “maju” dan pintar secara bersamaan.

Mastery Learning di Jepang
Mastery Learning merupakan salah satu metode mengajar dalam pendidikan yang berasal dari Amerika, tetapi metode ini belum begitu dikenal orang Jepang. Mastery Learning ini merupakan metode yang menekankan kepada siswa menguasai materi yang diberikan dan adanya penghargaan bagi tiap keberhasilan siswa. Namun, di Jepang beranggapan bahwa siswa dapat menguasai materi pelajaran kalau siswa berusaha dengan sungguh-sungguh. Siswa yang mempunyai semangat tinggi bisa menguasai materi dan pada akhirnya mendapatkan prestasi yang baik. Dan bagi orang Jepang usaha merupakan hal yang terpenting.

Para ahli pendidikan Jepang juga mempelajari berbagai teori pendidikan, salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Dewey yang menekankan tujuan pendidikan yang mirip Mastery Learning. Mastery Learning di Jepang dilakukan dengan : pengelompokkan menurut usia, yaitu suatu norma kultural yang menghubungkan peristiwa khas dalam siklus kedewasaan sosial dengan tahap perkembangan biologis. Dan hal ini berpengaruh besar dalam pendidikan di Jepang. Peraturan pemerintah juga menuliskan pada usia keberapa anak-anak harus masuk sekolah. Dan sekolah juga harus bertangggung jawab dalam meluluskan siswa-siswanya tanpa menghiraukan tingkat prestasi siswa. Bila sekolah tidak meluluskan siswa, maka sekolah akan mendapat nama buruk. Untuk menghindarkan hal ini sekolah dipaksa melaksanakan suatu program pendidikan yang harus dicapai oleh semua siswa. Tekanan ini membuat sekolah-sekolah di Jepang berusaha mencapai hasil yang ditetapkan dari Mastery Learning.

1.Karakteristik - Karakteristik Awal Masuk
Ciri khas dari sekolah di Jepang adalah perhatian yang dicurahkan untuk mempermudah siswa membiasakan diri kepada kehidupan sehari-hari. Misalnya saja pada awal masuk sekolah, siswa diperkenalkan lingkungan sekolah atau kelas kepada siswa, sekolah mengadakan acara penyambutan bagi para siswa baru, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah siswa dalam menyesuaikan diri dengan sekolah.
Bulan pertama di sekolah, siswa kelas satu hanya sedikit diberi materi pelajaran, hal ini dilakukan agar siswa tertarik kepada sekolah dan teman-teman sekelasnya. Dalam mengajar guru berusaha membuat suasana belajar dan ruang kelas yang menyenangkan, maka guru lebih mengutamakan permainan, menggambar, dan bernyanyi. Kesemuanya itu dilakukan untuk menghilangkan perbedaan karakteristik siawa yang baru masuk sekolah tanpa membedakan usia maupun ras.

2.Menciptakan Lingkungan Belajar yang Baik untuk Tujuan Belajar
Di Jepang sekolah sangat lah rapi, ruang kelas yang bersih dan kondusif membuat siswa nyaman belajar serta dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa, karena jika ruang kelas kacau, maka dapat menghambat kemajuan belajar siswa. Siswa yang banyak di satu ruangan kelas, yaitu 40 orang menjadi perhatian utama guru sebab guru harus menangani segalah masalah yang menganggu belajar yangterjadi di ruang kelas. Oleh karena itu, selama belajar ruang kelas harus tertib agar siswa dapat dengan cepat menerima materi pelajaran tanpa adanya gangguan yang dapat menghambat belajar siswa.

3.Partisipasi dan Peningkatannya
Melihat ciri yang ada dalam ruang kelas di Jepang, yaitu besarnya partisipasi setiap siswa. Dalam hal ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa sekurang-kurangnya satu kali giliran untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Dengan berbagai cara guru berusaha agar semua siswa mendapatkan giliran dan mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. Supaya ada partisipasi yang besar dari siswa, maka setiap tugas yang diselesaikan diberi nilai. Dan untuk mendapatkan partisipasi dari siswa, kadang-kadang guru membagi dalam kelompok-kelompok untuk mempermudah siswa saling membantu saru sama lainnya. Partisipasi yang dilakukan siswa dalam belajar ini dapat menciptakan “konsep diri akademis”.

4.Ulangan dan Pelajaran Tambahan
Dalam menilai kemampuan siswanya untuk memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru, biasanya guru memberikan seperangkat soal setelah guru memberikan uraian singkat. Apabila ada siswa dengan cepat menyelesaikan yang soal yang diberikan, maka akan langsung dinilai oleh guru. Hal ini mempermudah guru menilai kemampuan siswa, siswa yang bisa mengerjakan soalnya dengan cepat dapat membantu siswa yang mengalami kesukaran. Dan dengan cara ini mengandung mekanisme belajar mengajar, dimana siswa dapat saling mengisi satu sama lainnya.
Cara lainnya adalah siswa-siswa tetap duduk dibangku mereka, sedangkan guru berjalan berkeliling ruangan kelas, hal ini dapat menciptakan suasana yang kondusif, hal ini juga memberi kesempatan pada guru untuk membantu secara langsung siswa-siswa yang memerlukan bantuan. Dengan demikian guru dapat mengetahui sejauh mana pelajaran yang telah dikuasai oleh siswa. Apabila ada siswa yang sulit untuk menerima atau memahami materi pelajaran, maka biasanya guru memberikan pelajaran seusai pulang sekolah. Dan untuk memberikan pelajaran yang bermutu guru membutuhkan banyak waktu untuk membuat persiapan. Oleh sebab itu, guru harus mengurangi kegiatannya memberikan pelajaran tanbahan dan ulangan. Hal ini menyimpang dari cita-cita Mastery Learning, sebab tugas guru adalah berusaha untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar.

5.Kurikulum yang berat
Kurikulum pendidiksn yang ditetapkan pemerintah Jepang tahun 1958 sangat berat dilaksanakan oleh para guru sebab banyak bahan pelajaran yang mengalami perombakan. Selain itu pengalaman ketika mengajar di kelas, banayk siswa ternyata sulit untuk menangkap inti dari pelajaran yang diberikan dalam waktu yang sudah ditetapkan, padahal seluruh materi harus diselesaikan pada saat itu juga.
Untuk mengatasi hal ini, guru membentuk kelompok kerja untuk mengembangkan azas-azas baru untuk menyusun kurikulum, salah satunya adalah kelompok dari prefektur Kyoto yang mulai merancang susunan kurikulum yang mirip dengan Mastery Learning. Kelompok ini menemukan suatu cara baru dalam memberi nilai kepada siswa. Mereka berpendapat jika siswa-siswa diberi nilai berdasarkan tingkat prestasi yang tertinggi sebab hal itu akan tidak menguntungkan bagi siswa yang mempunyai tingkat kepandaian yang rendah.

6.Metode Konvensional sesudah sekolah dasar
Siswa-siswa di sekolah menengah pertama diberi pelajaran yang sama, namun mereka mendapatkan pelajaran dari guru-guru yang ahli di dalam bidangnya. Dibandingkan dengan sekolah dasar, guru-guru di sekolah menengah pertama lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada usaha menyelesaikan semua bahan pelajaran dalam jam-jam yang tersedia untuk mengajarkan materi tersebut, karena mereka berpendapat bahwa akan dimintai tanggung jawab jika bahan yang diajarkannya itu kemudian dimasukkan dalam tes masuk sekolah menengah atas. Untuk itu, karena mereka lebih mementingkan bahan pelajaran, maka mereka tidak begitu tertarik kepada soal berapa banyak bahan yang dikuasai oleh siswa. Siswa justru dianjurkan untuk mencari bantuan di rumah untuk menguasai bahan yang tidak diajarkan di sekolah.

7.Konteks yang lebih luas dari pelajaran
Pada beberapa negara yang sudah maju pengelolaan sekolah yang didesentralisasikan dan adanya kebebasan menulis buku pelajaram dan menjualnya mengakibatkan adanya buku-buku pelajaran yang berbeda-beda bagi siswa. Di Jepang, buku-buku pelajaran yang dipakai di seluruh negeri memuat bahan pelajaran yang telah ditentukan oleh Menteri Pendidikan secara resmi. Akibatnya sekolah apapun yang dikunjungi siswa bahannya secara praktis sama. Standar pendidikan yang seragam ini terus dianut sampai tingkat sembilan. Baru pada tingkat sekolah menengah atas siswa mulai memilih antara berbagai mata pelajaran dan jurusan, bahkan pada tingkat itupun pilihan mereka dibatasi oleh pedoman-pedoman resmi.
Sementara itu mengenai fasilitas-pun diatur menurut standar resmi. Dewasa ini, pemerintah pusat menentukan biaya pendidikan yang sama besarnya buat sekolah-sekolah setempat. Pemerintah pusat telah membuat program khusus untuk menutup biaya tambahan untuk pendidikan di tempat-tempat terpencil, seperti di wilayah pulau ataupun daerah pegunungan. Pemerintah pusat juga memberi bantuan khusus pada sekolah-sekolah di tempat tinggal kaum patria Jepang. Akibat dari peraturan-peraturan di atas, maka kualitas antara sekolah yang satu dengan yang lain tidak banyak berbeda, demikian juga antara daerah yang satu dengan lainnya. Hingga menurut hasil penelitian, bahwa prestasi seseorang dalam bidang ilmiah tidak ada hubungannya dengan fasilitas, karena pada dasarnya fasilitas tersebut sama.

Mengenai kualitas guru, di Jepang dan negara lain selalu ada guru baru dan yang telah pensiun, sehingga pada tiap saat ada beberapa guru yang belum mencapai puncak kemampuannya untuk mengajar. Tetapi berbeda dengan negara lainnya, di Jepang jabatan guru adalah jabatan yang terhormat. Guru-guru di Jepang diangkat untuk selama-lamanya, sekali diangkat mereka tidak mungkin diberhentikan dari tugasnya kecuali dalam keadaan yang memang tidak bisa ditolerir lagi. Sekaplipun terjadi depopulasi yang besar, pemerintah didaerah yang bersangkutan akan mencarikan pekerjaan di daerah lain bagi guru-guru yang tidak diperlukan lagi.

Hasil Pendidikan yang sama besarnya di Jepang
Ciri-ciri pendidikan yang egalitarian di Jepang membuat orang beranggapan bahwa hasil kognitif dan motivasi tamatan sekolah Jepang akan mirip dengan hasil-hasil yang diramal oleh teori Matery Learning yaitu; prestasi kognitif rata-rata yang tinggi tanpa banyak perbedaan dan motivasi yang besar untuk belajar lebih lanjut. Berdasarkan penelitian IEA, memberikan gambaran perbandingan antara prestasi siswa Jepang dengan prestasi siswa di 11 negara lain yang sudah maju. Menurut hasil penelitian itu didapatkan bahwa, skor rata-rata siswa Jepang jauh di atas prestasi rata-rata siswa di negara yang maju. Dari sini terlihat jelas bahwa prestasi kognitif sekolah Jepang sangat tinggi. Bahkan, tidak ada negara lain yang sekolahnya mampu mengembangkan siswa-siswanya ke tingkat penguasaan setinggi di Jepang.

Suatu Tesis tentang ketidaksamaan kognitif
Hasil yang dicapai oleh siswa-siswa Jepang pada tes-tes yang dilakukan oleh penelitian tidaklah sama. Perbedaan prestasi inilah yang lebih banyak menarik perhatian orang. Lalu, apakah yang menyebabkan perbedaan prestasi siswa-siswa di Jepang? Sebagian jawaban orang menyebutkan variabel-variabel yang dipandang yaitu; keadaan di rumah yang menguntungkan untuk belajar termasuk orangtua yang terpelajar, adanya kesempatan untuk masuk sekolah yang baik serta fasilitas-fasilitasnya baik, dan guru-gurunya memiliki wewenang penuh, selain itu adalah minat belajar individu. Kebanyakan dari faktor-faktor ini dapat ditunjukkan ada hubungannya dengan perbedaan prestasi antara siswa-siswa Jepang dalam tes kognitif, maka faktor-faktor itu sangat penting untuk menentukan prestasi. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya korelasi yang rendah antara kondisi-kondisi di rumah dan prestasi anak Jepang sebelum bersekolah.
Namun jika anak-anak telah bersekolah maka keadaan rumah makin menjadi faktor penyebab mengenai prestasi. Didapati bahwa pola bahasa berbeda-beda karena perbedaan kelas, menyelidiki tingkah laku berbahasa beberapa orang siswa dari tingkat lima. Sebaliknya jika membuat karangan maka anak-anak dari keluarga golongan menengah baru mengatur pikirannya dengan lebih kompleks. Hal itu diakibatkan adanya kemampuan intelektual yang berbeda, hal ini akibat dari perbedaan golongan bukan karena perbedaan kualitatif bahasa. Data-data daei penelitian IEA menunjukkan bahwa ada pengaruh perbedaan golongan pada prestasi siswa dari tingkat lima dan tingkat delapan. Penelitian lainnya menunjukkan adanya pengaruh golongan kepada prestasi siswa sekolah menengah.
Ketika membahas mengenai pendidikan egalitarian di sekolah rendah, maka akan ditemukan banyak problem pokok kurikulum yang terlalu banyak memuat mata pelajaran. Pada tingkat-tingkat yang rendah kurikulumnya tidak terlalu berat. Tetapi mulai tingkat empat hal-hal itu benar-benar menjadi problem. Siswa yang tidak menguasai pelajaran yang diberikan padanya di sekolah serta tidak mendapat bantuan di rumah tentu akan ketinggalan. Siswa sekolah dasar setiap minggu rata-rata membutuhkan waktu tujuh jam untuk mengerjakan tugas sekolah di rumah serta menghafalkan, sementara itu siswa yang lemah membutuhkan waktu lebih dari itu. Dengan demikian maka kemajuan biasa dari siswa tidak bergantung pada jumlah waktu yang digunakan, tetapi pada efiensi penggunaan waktu tersebut. Belum lagi masalah mengenai tingkat kemampuan keluarga untuk memberikan bantuan yang menjadi hal utama dalam mendorong prestasi anak. Makin tinggi kelas sosial keluarga semakin besar kemampuan keluarga untuk memanfaatkan sarana-sarana bagi anaknya.
Namun kelas sosial bukan hal yang menyebabkan perbedaan prestasi bagi siswa. Melainkan mengenai karakteristik bagi sekolah dasar di Jepang yang memiliki kekhasan dalam sistim egalitarian. Pada tingkat-tingkat tinggi di sekolah dasar dan khususnya di sekolah menengah pertama guru-guru menggunakan metode konvensional dan tidak banyak menaruh perhatian kepada kemajuan siswa di sekolah karena mereka ingin menyelesaikan kurikulum sekolah. Krena pergeseran perhatian itu maka banyak siswa tertinggal pelajaran, sehingga dapat diduga bahwa skor-skor pada test prestasi kognitif akan berbeda lebih banyak dan condong lebih negatif. Maka, sebab utama adanya ketidak samaan kognitif itu ialah apa yang terjadi di sekolah bukan apa yang berasal dari luar

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..