Slide K.I.S.A.H
Home /
SEJARAH NASIONAL /
MASYARAKAT DESA DI KERESIDENAN KEDU DAN PERKEMBANGAN KERJA-WAJIB SEBELUM MASA TANAM PAKSA
MASYARAKAT DESA DI KERESIDENAN KEDU DAN PERKEMBANGAN KERJA-WAJIB SEBELUM MASA TANAM PAKSA
Keresidenan Kedu dari segi geografis terletak di tengah pulau Jawa dan merupakan satu-satunya keresidenan yang tidak berbatasan dengan laut. Keresidenan Kedu terdiri dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung. Keresidenan Kedu berbatasan langsung dengan Keresidenan Semarang di sebelah utara, Keresidenan Surakarta di sebelah timur, Keresidenan Yogyakarta di sebelah Selatan dan Keresidenan Bagelen di sebelah barat. Keresidenan Kedu dialiri banyak sungai dengan yang terbesar adalah sungai Progo dan sungai Elo. Gunung berapi yang terdapat di Keresidenan Kedu diantaranya Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Prahu, dan Ungaran. Hujan yang turun hampir sepanjang tahun menambah kesuburan tanah di daerah Kedu.
Dengan keadaan alam yang demikian menguntungkan bagi kehidupan manusia, daerah ini memiliki kondisi ekologis yang sesuai untuk pertanian persawahan maupun lahan kering. Berbagai peninggalan monumental yang tersebar di daerah ini menunjukkan bahwa Kedu merupakan daerah pemukiman manusia yang sudah sangat tua dengan penduduk yang mengusahakan pertanian sawah. Sebagai daerah pemukiman yang telah berkembang sejak abad VIII dan merupakan daerah pertanian yang paling tua di Jawa, masyarakat Kedu adalah masyarakat petani yang telah lama mengenal budidaya padi. Mereka juga telah mengenal teknologi pengairan sederhana dengan cara membendung sungai-sungai kecil untuk irigasi. Berabad-abad selanjutnya, Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram Baru yang muncul sebagai kekuatan politik di Jawa sejak abad XVII. Kedu menjadi gudang beras bagi Kerajaan Mataram.
B. Latar Belakang Sejarah
Sebagai wilayah yang dianggap daerah persawahan yang tertua di Jawa, Kedu telah mengawali perjalanan sejarahnya sejak sekitar abad VIII. Pada masa itu berkuasa Kerajaan Mataram Lama yang menghasilkan berbagai karya monumental. Setelah mengalami masa jaya sekitar dua abad, Mataram Lama menghilang kemungkinan akibat letusan gunung berapi, nama Kedu pun menghilang dari catatan sejarah selama berabad-abad. Baru setelah muncul Kerajaan Mataram Baru yang berpusat di Yogyakarta dan sejak awal abad XVII mulai menguasai pulau Jawa, Kedu menjadi wilayah Mataram yaitu wilayah nagaragung atau daerah inti kerajaan yang langsung diperintah oleh pusat.
Sebagai wilayah nagaragung, daerah kedu terbagi menjadi tanah Bumi dan tanah Bumijo. Tanah Bumi seluas 7.500 cacah terletak di sebelah barat sungai Progo berada dibawah wewenang Wedana Bumi. Tanah Bumijo dengan luas yang sama terletak di sebelah timur sungai Progo berada dibawah wewenang Wedana Bumijo. Namun kenyataannya, Kedu tidak diperintah oleh seorang penguasa melainkan oleh beberapa orang demang yang mengurus masalah pajak serta masalah umumpada subdaerah tertentu, sedangkan untuk masalah keamanan diserahkan kepada seorang gunung. Para demang dan mantri desa tersebut bertanggung jawab langsung pada para patuh yaitu pejabat yang menguasai lungguh di daerah Kedu dan menyewakannya pada demang tersebut.
Selanjutnya Kedu terbagi dalam kavling-kavling sawah atau tegal yang merupakan lungguh para priyayi Mataram. Penguasa tidak menghendaki penguasaan lungguh seseorang yang terlalu luas dalam satu kesatuan teritorial karena itu dapat mengakibatkan terbentuknya basis kekuatan ekonomis dan militer pada penguasa lungguh. Untuk menghindari hal semacam itu, raja memberikan lingguh diberbagai desa yang terpencar-pencar. Keadaan ini menyebabkan sering terjadinya konflik di desa-desa. Situasi konflik di desa menjadi semakin tajam setelah pecahnya pemberontakan Pangeran Mangkubumi terhadap Sunan Pakubuwono II yang menjadikan Mataram termasuk Kedu terbagi dua pada 1755. Separuh dari pejabat-pejabat dipindanhkan ke Kasultanan Yogyakarta sedang separuh lainnya tetap di Kasunanan Surakarta. Akibatnya terjadi tumpang tindih tanah lungguh para pejabat Yogyakarta dan Surakarta.
Keadaan pedesaan Kedu setelah terbagi menjadi dua wilayah kerajaan semakin bertambah rawan. Konflik-konflik lama dipertajam oleh sentimen sebagai kawula kerajaan masing-masing. Terlebih lagi dengan makin berkembangnya birokrasi kedua kerajaan makin bertambah pula jumlah pegawai yang berarti lebih banyak lungguh harus disediakan. Eksploitasi lungguh oleh para patuh dalam bentuk pungutan pajak yang tinggi menyebabkan para bekel (pemungut pajak) digantikan oleh orang lainyang sanggup menyerahkan pajak yang lebih tinggi. Pergantian bekel ini menambah tajamya konflik di desa-desa, sehingga sering terjadi perang desa. Akhirnya setelah Sultan Hamengkubuwono II gagal melakukan penyerangan terhadap kekuasaan Inggris tahun 1812, Inggri menyerbu Keraton Ngayogyakarta dan memaksa sultan menerima syarat-syarat yag diajukannya, antara lain sebagian wilayah nagaragung harus diserahkan pada Inggris termasuk Kedu. Sejak itu Kedu menjadi keresidenan dan masih diperintah oleh Residen Pekolongan.
Pada masa akhir pemerintahan kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, bupati untuk Kedu adalah Tumenggung Ranudiwirya. Pada masa pemerintahan Inggris di Kedu, Residen Crawfurd memberikan wewenang pada kapitan Cina dalam bidang pajak dan keuangan cukup besar seperti pada masa Mataram. Walaupun demikian, pemerintah Inggris tetap mengangkat orang Jawa dari kalangan bangsawan sebagai bupati seperti Bupati Magelang Danuningrat yang berasal dari Kepatihan Kasultanan Yogyakarta. Tahun 1816, Kedu diserahkan pada pemerintah Belanda dan tahun 1817 menjadi keresidenan sendiri.
C. Masyarakat Desa pada Awal Abad XIX
Kesatuan Desa dan Sistem Lungguh
Pada awal abad XIX, jumlah penduduk Kedu sebesar 197.310 jiwa dengan kepadatan penduduk 92 jiwa/km², kedua tertinggi setelah Keresidenan Semarang (108 jiwa/km²). Penguasa Mataram menggunakan sistem lungguh untuk menggaji para priyayi atau memberi nafkah para sentana. Dalam hal ini raja memberikan hak memungut pajak atau hasil atas tanah yang berfungsi sebagai lungguh tersebut kepada si penerima lungguh untuk sementara waktu. Hak tersebut hanya berlaku selama si penerima lungguh mamangku jabatan.
Suatu lungguh dapat juga bersifat permanen khususnya yang diberikan pada keluarga raja, para sentana atau orang yang dikasihinya. Lungguh demikian disebut tanah ganjaran atau tanah pusaka apabila diperoleh secara turun-temurun. Selanjutnya para penerima lungguh lazim disebut patuh sebagai golongan priyayi atau sentana yang umumnya tinggal di ibukota dan tidak mengelola sendiri tanah mereka. Mereka meyerahkan pengelolaan lungguh mereka pada para petani (sikep) setempat.
Kepala kelompok petani sikep disebut bekel yang kemudian menjadi kepala desa atau dukuh. Para bekel selain bertanggung jawab ataspenyerahan hasil lungguh kepada patuh masing-masing juga bertugas menarik pajak untuk raja di desa mereka sendiri. Sebagai imbalan, para bekel mendapat 1/5 bagian sawah lungguh untuk kepentingan pribadi yang kemudian menjadi istilah tanah bengkok.
Berbeda dengan gambaran nagaragung yang telah mengalami eksploitasi ekonomis yang berat hingga berakibat kerkavlingnyadesa oleh banyak lungguh dan hilangnya otonomi desa lama, desa-desa di Kedu masih dapat memelihara lembaga desa yang lama. Kelompok desa struktur lama yaitu desa mancapat dan mancalima masih ditemukan di wilayah Kedu Selatan yang kemudian menjadi Keresidenan Bagelen. Kelompok desa tersebut masing-masing dikepalai oleh seorang bebekel. Bentuk federasi desa seperti ini masih tetap hidup pada masa kolonial dengan nama glondhongan seperti di wilayah Bagelen. Glondhongan terdiri dari 5 sampai 20 desa dibawah seorang penatus, masing-masing desa dikepalai oleh seorang bekel yanng otonom.
Pemerintahan Desa dan Pelapisan Masyarakat
Pada masa itu, seorang bekel diangkat oleh penguasa lungguh. Pengangkatan ini berkaitan dengan peresmiannya sebagai pemungut pajak kerajaan dan pengontrak lungguh. Eksploitasi lungguh yang maikn berat, dalam arti uang kontrak yang semakin tinggi tidak banyak menyebabkan desa terpecah menjadi beberapa lungguh. Menurut Residen Valck, jabatan Bekel kemudian dilelang kepada siapa saja yang sanggup membayar kontrak tertinggi sehingga jabatan bekel tidak lagi permanen. Sebagian dari para demang merupakan orang Cina meskipun hanya 13% dari seluruh demang. Timbulnya demang Cina menurut Crawfurd dikarenakan sebagian dari patuh terlibat hutang pada pachter Cina, sehingga mereka menggadaikan lungguh mereka kepada orang Cina tersebut.
Desa-desa di Kedu pada umumnya merupakan satu kelompok pemukiman yang mempunyai teritorial tertentu betapapun kecilnya, dibawah seorang kepala desa yang mempunyai wewenang menarik pajak penduduk serta wewenang dibidang keamanan dan sosial. Selanjutnya sistem ekonomi feodalistik Mataram yang kehilangan perdagangan lautnya makin berwawasan kedalam, kepada pajak natura. Pada masa setelah palihan nagari tahun 1755, kerja wajib rakyat Mataram tidak begitu banyak. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi perang saudara dalam skala besar, sehingga wajib prajurit dan pengerahan rakyat untuk mendukung perang sangat berkurang. Selain kerja wajib untuk raja dan patuh yang bersifat insidental, rakyat menikmati cukup kebebasan.
Disisi lain kehidupan petani pada waktu itu lebih terkonsentrasi untuk berproduksi secara maksimal agar dapat memenuhi tuntutan kontrak lungguh dan berbagai pajak lain. Dalam melaksanakan usaha tani tersebut pada dasarnya seorang sikep bekerja sendiri bersama keluarga dan mondhok yang membantunya. Warga desa selalu terdiri dari petani-petani ini, yang selain menguasai tanahjuga memiliki seperangkat kerbau beserta alat bajak. Dibawah mereka adalah petani indung, yaitu mereka yang hanya memiliki rumah dan pekarangan. Lapisan terbawah adalah mondhok, biasanya orang bujangan dari luar desa yang bekerja dan tinggal di rumah sikep yang tidak memiliki kekayaan apapun. Selain itu terdpaat golongan pengembara yairu batur atau kuli gladhag pengangkut barang dagangan.
Kepala desa bertugas mengumpulkan hasil bumi atau uang pembayar kontrak dan pajak dari para sikep yang lebih merupakan hubungan pribadi. Pengurus desa yang pertama adalah ketib atau kaum yaitu pengurus desa yang melayani kehidupan sosial yang bersifat keagamaan. Kepala desa memiliki sejenis dewan penasihat untuk maslah-masalah khusus yang memerlukan keputusan penting. Mereka adalah para tetua desa yaitu sikep yang telah berusia lanjut serta pemuka desa lainnya yang disebut kamituwo.
Penguasa Tanah
Kedudukan sikep yang cukup kuat tampak pada hak penguasaan tanah. Dalam hal ini terdapat tiga pihak yang sama-sama mempunyai kekuasaan, yaitu petani yang membuka tanah raja sebagai penguasa atau mereka yang mendapat wewenang dari raja dan lembaga desa. Dalam tradisi petani Kedu, mereka yang membuka tanah pertama kali menjadi lahan pertanian mempunyai hak untuk menguasainya secara permanen dan mewariskannya pada keturunannya. Lebih jauh petani dapat membuka sawah yasa diatas tanah bebas sejauh mereka membiayai sendiri pembangunan sawah tersebut.
Raja adalah seorang yang menguasai baik penduduk maupun semua tanah yang berada diwilayah kekuasaannya. Pada dasarnya raja memungut pajak tenaga kerja, kemudian berkembang menjadi kerja wajib besar-besaran pada masa kolonial. Raja hanya mempunyai hak milik penuh atas tanah yang disediakan untuk biaya hidupnya serta sanak keluarganya. Tanah tersebut dibangun menjadi tanah pertanian atas biaya sendiri yaitu siti narawita dalem.
Hak petani atas tanah yang cukup kuat tampak pula dari usaha mereka untuk menduduki tanah-tanah bekas lungguh yang rusak akibat perang susksesi yang sering terjadi. Sebagai akibat dari pernag tersebut banyak pemegang lungguh yang meninggal atau diberhentikan. Para petani kemudian bersama-sama memperbaiki sawah-sawah tersebut beserta sistem irigasinya.
Pihak lain yang mempunyai kekuasaan dalam masalah tanah adalah desa, yang diwakili oleh kepala desa. Kepala desa menerima dan mengatur sawah yang ditinggalkan baik karena si pemegang pindah dari desa itu atau meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris.
Sistem Perpajakan
Akibat eksploitasi lungguh yang makin berat di Kedu makin banyak jenis pajak yang dulu berbentuk natura diubah manjadi pajak uang. Selain menanam beras yang juga diperdagangkan, mereka juga menanam tembakau yang baik kualitasnya dan menjadi bahan perdagangan sampai keluar negeri. Uang hasil perdagangan digunakan untuk membayar pajak dan cukai.
Jenis pajak pada masa kerajaan Yogyakarta dan Surakarta terdiri dari pajeg yaitu pajak tanah yang dapat dibayar dengan uang atau natura. Selanjutnya pajak-pajak lain ditentukan berdasarkan standar sawah per jung. Pungutan jenis ini dapat sangat bermacam-macam dan dilakukan sewaktu-waktu. Sistem demikian pajeg idup yaitu pajak tetap yang masih ditambah berbagai pungutan setiap waktu. Terdapat juga pajeg mati yaitu pajak yang diperhitungkan dengan seluruh pungutan lain dibayar dalam bentuk uang.
Tekanan pajak peling berat adalah pada tanah lungguh akibat tingginya tuntunan dari patuh, lebih-lebih karena adanya eksploitasi bertingkat, mulai dari patuh, demang, dan dari bekel sendiri. Selain pajak-pajak tersebut penduduk harus membayar pajak bandar pelawang, yaitu cukai bagi setiap barang yang diangkut melalui pintu gerbang khusus. Disamping itu terdapat pajak pasar bagi semua barang yang dijual di pasar.
Kerja Wajib
Selain kewajiban membayar pajak, beban petani penguasa tanah adalah menjalankan kerja wajib atau krigaji. Krigaji berasal dari kata pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama (kerig) untuk kepentingan raja (aji). Dengan makin berkembangnya jenis kerja wajib maka istilah krigaji menyempit menajadi kerja wajib dibidang pekerjaan umum. Pada hakikatnya kerja wajib adalah bagian dari pajak natura yang diperhitungkan dalam jumlah pajak keseluruhan. Oleh karenanya kerja wajib dapat diganti dengan sejumlah uang.
Mengingat kedudukan kerja wajib sebagai pajak alternatif yang tidak dikenakan pada setiap desa, maka jelas beban kerja wajib ini tidak merata dan hanya sebagian kecil saja desa yang memikul beban utama. Tuntutan kerja wajib dari patuh untuk kepentingan pribadi hanyalah insidental dan lebih bersifat sambatan. Gambaran demikian menunjukkan bahwa kekuasaan desa sebagai lembaga pemerintahan masih longgar dalam arti belum mengikat warga desa yang bermacam-macam tugas sehingga warga desa menikmati banyak kebabasan waktu, tenaga dan kebebasan menggunakan tanahnya. Birokrasi Mataram belum mengembangkan aparat teritorial di daerah-daerah yang menjangkau pedesaan. Pemerintahan di daerah diserahkan pada penguasa daerah yang dalam kenyataan hanya terdiri dari seorang mantri desa atau demang desa dengan pembiayaan mandiri. Selain tuntutan pajak, pemerintah Mataram membebaskan desa untuk mengurus dirinya sendiri.
D. Segi-segi Pembaharuan di bawah Pemerintahan Barat dan Perkembangan Kerja-wajib Tahun 1812-1830
Pembaharuan kelembagaan pada masa pemerintahan inggris
Kekuasaan barat yang makin mendesak kerajaan mataram, baik dengan menguasai wilayah-wilayah strategis maupun campur tangan di bidang pemerintahan mataram menyebabkan terjadinya situasi konflik yang berkepanjangan antara pemerintah Belanda dan raja-raja mataram. Terutama kasultanan Yogyakarta di bawah sultan Hamengkubuwono II (sultan sepuh) selalu mencoba menentang kekuasaan barat. Akibat pertentangan ini Daendels memakzulkan sunan sepuh dan mengangkat puteranya sebagai Hamengkubuwono III. Tak lama kemudian Sultan sepuh berhasil menduduki tahta kembali ketika inggris menduduki jwa pada pertengahan tahun 1811. sultan berusaha mengahncurka pasukan inggris di yogyakarta. Usaha ini berakhir dengan serbuan inggris ke dalam kraton dan pembuangan Sultan sepuh ke Pulau Pinang. Inggris kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono III dan memaksakan berbagai konsesi politik dan ekonomi dalam perjanjian tahun 1812. Antara lain daerah Kedu, baik bagian yang dimiliki kesultanan maupun kesunanan, harus diserahakan kepada inggris.
Di bawah kekuasaan inggiris daerah kedu dijanjikan wilayah administratif yaitu keresidenan kedu. Dari hasil penelitian Crawfurd menemukan bahwa pajak unag di kedu sudah agak berkemabang, namun sistem pemungutannya tidak efisien karena terlalu banyak perantara anatar petanipembayar pajak dan raja sebagai pemilik tanah. Bedasarkan laporan Crawfurd dan laporan-laporan lain dari seluruh daerrah di jawa, Raffles mengunakan teori domein sebagai dasar, yaitu bahwa raja adalah pemilik semua tanah. Atas dasar teori itu pemerintah inggris sebagai pengganti raja mataram menyewakan tanah di desa kepada bekel yang berfungsi sebagai kepala desa. Selanjutnya bekel menarik sewa pada petni-petani menurut luas tanah dan jenis serta kualotas tanah, dan menyetorkan dasil sewa kepada pemerintah. Sistem ini disebut landrent sistem (Inggris) Atau landrente (Belanda).
Untuk melaksanakan system landrente tersebut pemerintah inggris mengadakan berbagai perubahan. Pertama-tama menetapkan semua tanah, selanjutnya pemerintah secara teoritis menyewakan tanah-tanah tersebut kepada bekel (kepala desa). Para kepala desa tersebut kemudian menyewakan kepada petani dan bertanggung jawab untuk menarik uang sewa atas tanah pemerintah. Langkah berikutnya adalah meniadakan berbagai perantara antar pemungut pajak tingkat desa dan penguasa colonial. Selanjutnya para demang dan bupati yang telah dilepaskan dari kekuasaan fiscal diberikan wewenang di bidang pemerintahan dan ketertiban umum (kepolisian), dengan kedudukan lebih sebagai pejabat pemerintah yang mnerima gaji. Dengan cara ini pemerintah inggris berusaha mematahkan kekuasaan feodalistik jawa yang dianggap terlalu banyak memotong pendapatan negara dan kurang berdaya guna.
Pergeseran fungsi demang dari pengontrak pajak menjadi kepala daerah tidak pula mengakibatkan konflik, paling tidak secara terbuka dengan pemerintah, meskipun secara formal mereka menerima gaji lebih kecil dari pendapatan mereka dahulu. Hal ini disebabkan karena sacara diam-diam para kepala pribumi ini masih melakukan pemerasan kepada petani client mereka seperti pada masa lalu untuk menambah pendapatan mereka. Tindakan pemerintah inggris untuk menetapkan bekel kepala desa sebagai penarik pajak satu-satunya di desa jelas menguntukan kepala desa.
Pelaksanaan Landrente di kedu teernyata berjalan cukup lancar. Perkiraan pemasukan pajak yang disusun Crawfurd pada masa tahun 1812 sebanyak 102.725 ¾ Spanish dollar mengahsilkan 112.000 spanish dollar (f 246.400) dalam bentuk uang kontan. Sistem baru ini tidak banyak berbeda dengan pambayaran pajeg mati, yang biasa dibayarkan oleh para petani kaya kepada bekel mereka. Para petani telah lama mengusahakan tanaman perdagangan, khusunya tembakau kedu sebagai sumber uang kon5tan. Keberhasilan sistem landrente di Kedu sebagai keresidenan pertama yang melaksanakan sistem pajak baru ini memberikan keyakinan pada pemerintah inggris untuk menetapkan landrente diseluruh daerah Gupernemen melihat bahwa monetisasi belum berkembang dibanyak daerah di pulau jawa.
Keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan Landrente ternyata diperoleh dari hasil pengorbanan sebagian besar petani. Selain membayar landrente rakyat tetap membayar bebrapa jenis pajak lama, anatara lain pacumpleng yang secara resmi dikenakan pada mereka yang hanya memiliki pekarangan atau rumah. Rakyat masih membayar pajak bandar dan pasar serta pajak tidak langsung seperti candu dan garam yang menajdai monopoli pemerintah. Pada masa pemerintahan inggris pembuatan prasarana di Kedu mulai digalakkan.
Perkemabangan pada masa pemerintahan Belanda: tanah, pajak dan kerja-wajib
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah meninjau kembali konflik politik pembaharuan Raffles mengenai pertahanan dan sistem landrente. Pemerintah kolonial belanda melanjutkan sistem landrente, persewaan tanah secara bebasa serta tanam bebasa bagi rakyat pribumi. Pemerintah kolonial belanda memnetukan segala kebijaksanaannya atas dasar pandangan bahwa negeri koloni pertama-tama harus memberikan keuntungan bagi negeri induk. Di pihak lain, ide-ide liberal dan humanitarian juga mewajibkan pemerintah untuk melindungi rakyat dari penin dasan serta mengusahakan kemakmuran rakyat jajahan.
Pemerintah kemudian melangkah lebih jauh dengan menyuruh rakyat menanam kopi dikebun-kebun yang luas sejk tahun 1820. secara resmi dan sesuai peraturan, pemerintah menyewakan tanah kebun kopi tersebut selama tiga tahun berturut-turut. Dengan pembukaan kebun-kebun kopi secara paksa sebenarnya pemerintah telah menuntut kerja-wajib tanam pada rakyat. Petani tidak dapat lagi menanam kopi secara bebas, praktik pembayaran kopi seringkali merugikan rakyat. Menrut peraturan rkyat harus membayar pajak kopi sebanyak 2/5 dari hasil panen setiap tahun sedang sisanya boleh dijual bebas diluar. Banyak terjadi peneyelundupan kopi keluar daerah karena rakyat menghindari tuntutan pajak kopi yang tinggi. Dengan menjual kopi di pasar bebas petani mendapat untung lebih besar.
Di sisi lain di bawah pemerintahan kolonial makin dikembangkan berbagai prasarana seperti jalan-jalan baru dan pengairan. Demikian pula pemerintah mulai mengembangkan tata pemerintahan daerah yang semakin terautur serta adminstrasi perpajakan yang makin rapi dan terkontrol. Pemerintah juga berusaha menindak pejabat pribumi samapai bekel yang berbuat curang atau alpa akan tugasnya sejaug dapat diketahui. Suatu keuntungan lain adalah bahwa sejak semula para residen Kedu tidak menyetujui penyewaan tanah kepada orang Eropa. Para pejabat Eropa menilai petani Kedu sebagai pengusaha maju yang mampu mengusahakan tanaman perdagangan dan responsif terhadap permintaan pasar. Mereka melihat petani sebagai penanam temabakau kualitas tinggi secara profesional dan mendatangkan keuntungan. Keadaan yang demikian memberatkan rakyat makin diperburuk oleh harga bahan pokok. Rakyat membenci orang Belanda yang menjadi penyebab tingginya pajak dan beratnya kerja-wajib. Sasaran kebencian rakyat juga ditujukan kepada orang-orang Cina. Rakyat menganggap Cina patcher bandar sebagai pemeras uang rakyat di pintu gerbang cukai dan di pasar-pasar.
Pemberontakan terjadi pada tahun 1822 di bawah pangeran Diponsono, putra Sultan Hamengkubuwono I yang anti belanda. Pemebrontakan yang mulai terjadi di Desa Bendo sempat membunuh bebrapa orang belanda dan Cina sebelum berhasil ditumpas dalam waktu dua hari. Tiga tahun kemudian pecah perang Diponegoro dengan dukungan seluruh rakyat petani, menghancurkan ¾ daerah Kedu. Selama Perang Diponegoro rakyat Kedu makin banyak dikerahkan oleh pemerintah kolonial bagi kepentingan perang. Kerja-wajib yang lain adalah memperbaiki jalan-jaln dan jembatan-jembatan yang dirusak pasukan Diponegoro yang meliputi sebagian besar daerah Kedu.
Share This!
Related Post :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Translate Bahasa
Total Tayangan Laman
Note
Setiap tulisan di posting KISAH memiliki daftar pustaka yang lengkap. Jadi bukan bacaan kosong..
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Most Popular
-
Terusan Suez (bahasa Arab, Qana al-Suways) pada dasarnya walaupun pada abad yang sudah mengenal angkutan udara dan ruang angkasa sekalipun,...
-
WILAYAH PERAIRAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. TINJAUAN GEOGRAFIS Wilayah Negara Republik Indonesia Indonesia meru...
-
A. MENURUT LUAS WILAYAH OPERASI PELAYARAN Sebagai Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia memiliki bentuk usaha pelayar...
-
A. MASYARAKAT PRA SEJARAH INDONESIA 1. Lingkungan Alam Antara lingkungan alam dan masyarakat tidak bias dipisahkan dan besa...
-
PENDAHULUAN Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebija...
0 komentar
Post a Comment
Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..