Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

HEGEMONI KEKUASAAN BELANDA DI MALUKU


Sekitar tahun 1630 Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapat hegemoni perdagangan atas perniagaan laut di Nusantara. Pusat kekuasaan mereka ada di Ambon, dan markas besar mereka ada di Batavia.

VOC lalu merasa hegemoni yang mereka dapat tersebut akhirnya hanya dapat dipelihara dengan suatu kebijakan militer yang agresif, dengan campur tangan pada urusan dalam negeri beberapa kerajaan di Nusantara. Beberapa gubernur jenderal VOC yang ekspansionis ini antara lain Antonio van Diemen (1636-1645); Johan Maetsuyeker (1653-1678); Rijklof van Goens (1678-1681); dan Cornelis Janszoon Speelman (1681-1684).

Tahap pertama dari periode ekspansionis ini dimulai di Maluku, dimana sejak lama Belanda berusaha memaksakan monopoli perdagangan dan produksi pala, bunga pala, dan cengkeh. Namun usaha VOC tersebut mendapat rintangan dari kaum Muslim Hitu dan pasukan Ternate yang ada di Hoamoal (Seram Barat) yang didukung penuh oleh kerajaan bangsa Makassar, Gowa. Persekutuan anti-VOC itu dipimpin oleh seorang Muslim Hitu, Kakiali (saat masih muda ia manjadi murid Sunan Giri). Tahun 1633 ia mengganti ayahnya menjadi Kapitein Hitoe, pimpinan masyarakat Hitu dibawah naungan Belanda. Ia bersikap pura-pura bersahabat dengan VOC, tapi mendukung komplotan yang anti VOC. Orang-orang Hitu membangun benteng di pedalaman dan menjarah perkampungan orang-orang Kristen Hitu.

Tahun 1634 van Diemen berhasil menawan Kakiali di atas kapal VOC. Dan pada tahun 1637 VOC mengusir pasukan Ternate dari Hoamoal. VOC lalu merayu rakyat Hitu agar mau membantunya menegakkan stabilitas dengan membebaskan Kakiali. Namun agaknya perasaan benci yang sangat besar kepada VOC membuat Kakiali dan rakyatnya lalu membentuk persekutuan antara Hitu, orang Ternate di Hoamoal, dan Gowa.

Tahun 1641 Kakiali menyerang sebuah desa yang penduduknya pro-VOC (ini membuka kedok persahabatannya dengan VOC) dan membuat prajurit Makassar bergabung bersamanya. Akhirnya, VOC berhasil meraih hegemoninya di Maluku Selatan dengan menghancurkan benteng terakhir Hitu di Kapaha serta menewaskan 2 pemimpinnya, yaitu Kakiali dan Telukabesi.

Masalah lain yang menghambat eksistensi Belanda di Maluku adalah penyelundupan rempah-rempah yang dilakukan rakyat Ternate. Untuk mengatasinya, Arnold de Vlaming (Gubernur Ambon 1647-1650) serta Outshoorn (Inspektur atas Ambon, Banda, & Ternate 1652-1656) melakukan campur tangan dalam masalah intern Kesultanan Ternate.

Tahun 1650, Sultan Ternate Mandarsyah terpaksa turun dari takhtanya akibat adanya kudeta. Dia melarikan diri ke benteng VOC di Ternate dan minta perlindungan. Lalu de Vlaming datang dan mendudukkan kembali Mandarsyah ke takhtanya. Para penentang Mandarsyah melarikan diri ke Hoamoal dan berkobarlah perang total melawan VOC. VOC lalu melihat ini sebagai peluang menguasai perdagangan di Maluku.

Sultan Mandarsyah lalu dibawa ke Batavia pada Januari 1652 dan dipaksa menandatangani persetujuan yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah Maluku kecuali Ambon dan daerah yang dikuasai VOC. Hal ini dilakukan VOC sebagai langkah mengatasi kelebihan pasokan rempah-rempah dari Maluku yang berpengaruh terhadap harganya di pasaran dunia.

de Vlaming lalu melancarkan kekuatan senjata untuk menghancurkan Hoamoal serta sekutu mereka, orang Makassar dan Melayu. Perang itu terjadi antara tahun 1652-1658 dan dimenangkan oleh VOC. Akhirnya orang-orang di Hoamoal dibuang ke Ambon dan tanaman rempah-rempah dimusnahkan. Akhirnya, hegemoni Belanda tercapai seluruhnya karena pada 1663 Spanyol menyerahkan sisa pos mereka di Ternate dan Tidore; dan tahun 1667 Tidore secara resmi mengakui kekuasaan VOC.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..