Slide K.I.S.A.H
ORIENTALISME VS OKSIDENTALISME
“Lillahil masyriqu wal maghrib”, milik Allah lah barat dan timur itu, namun demikian benarkah wisdom itu datangnya dari timur ? Dan faktanya bahwa dunia kini meratapi mengapa manusia barat menjadi sangat materialistis dan hancuuurrr. Maka kita lihat banyak sekali “badut-badut budaya barat” sekarang ini. Entah itu dari segi penampilan, pola pikir dan hal-hal negatif nan materialistik lainnya. Mereka –badut-badut itu- semua sedang mabuk dan tak sempat berpikir kedalam nuraninya.
Namun, dunia pun tetap dan masih saja berharap dari timur untuk membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spiritual bagi manusia dunia. Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas. Agama itu penting bagi peradaban.
Jika kita tidak puas dan merasa tertekan atau gerah dengan kajian orang-orang barat atas timur (orientalisme), maka sebaiknya timur melakukan “orientalisme terbalik” dengan mengkaji barat (Ulil Abshar-Abdalaa).
Oksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam menghadapi hegemoni keilmuan barat. Istilah yang ditenarkan oleh Hassan Hanafi ini berusaha mengkaji barat dalam kacamata timur, sehingga ada keseimbangan dalam proses pembelajaran antara kulon dan wetan.
Selama ini, barat dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran, khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” yang terkenal itu. Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.
Terlepas dari kontroversi yang dikemukakan oleh Said, orientalisme yang problematik memang menarik pada dirinya sendiri. Mereka (baca: orientalis) mampu mengkaji dunia timur dengan sangat menarik, memikat, dan meminjam istilah Uill Abshar Abdalla: thought provoking, namun dengan erudisi intelektual yang luar biasa.
Setelah melalui era pasca-kolonial, Orientalisme berevolusi menjadi kajian yang lebih simpatik. Namun disisi lain, kecurigaan pada Orientalisme belum hilang dalam pikiran dunia timur. Selain trauma sejarah (akibat kolonialisme), para orientalis dipandang berasal dari lingkungan luar, sehingga ada kecurigaan bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung.
Sayangnya, kecurigaan dan ketakutan tersebut tidak diimbangi dengan motivasi bangsa-bangsa timur dalam mengkaji barat. Penyetanan (dari kata: Setan) terhadap barat hanya didasarkan pada prasangka yang tidak berdasar. Tuduhan klise seperti: Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan Amoral, tersebar dalam literatur di dunia timur. Namun disisi lain, bangsa-bangsa timur dibuat terperangah oleh kemajuan peradaban Barat yang sepertinya tanpa henti.
Oksidentalisme diharapkan mampu menjembatani kebuntuan tersebut. Selain untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan prasangka yang terus mengendap dipikiran orang timur.
Cita-cita dialog antar peradaban yang pernah dilontarkan oleh Muhammad Khatami, mantan presiden Iran, dalam rangka menandingi konsep benturan antar peradaban, hanya bisa terwujud jika ada itikad baik dari kedua sisi dunia ini untuk saling belajar satu sama lain. Yaitu dalam bentuk kajian yang adil dan tidak dalam semangat konfrontatif, timur versus barat.
MEWASPADAI ORIENTALISME*
Orang yang berpikiran liberal-sekular umumnya tidak kritis terhadap orientalisme. Di satu sisi mereka memang bisa sangat kritis (dan liar) terhadap doktrin-doktrin Islam yang sebetulnya sudah baku dan mapan (ma’luumun min al-din bi al-dharurah), seperti kenabian Muhammad SAW, otentisitas Al-Qur`an, wajibnya Khilafah, dan wajibnya formalisasi syariah oleh negara. Namun anehnya, di sisi lain daya kritis ini tiba-tiba menjadi tumpul dan bebal ketika berhadapan dengan karya-karya kaum orientalis yang kafir.
Sebagai contoh, lihat saja sikap Luthfi Asy-Syaukanie dalam bukunya Islam Benar Versus Islam Salah (2007). Dalam salah satu refleksinya berjudul Islam Perdana [baca : asal-usul agama Islam], Luthfi memuji habis-habisan para orientalis yang menjelaskan asal-usul agama Islam dari berbagai aspeknya. Misalnya, Arthur Jeffrey (1905-1969) dari aspek sejarah Muhammad SAW, Theodore Noldeke (1836-1930) dari aspek sejarah Al-Quran, Nabia Abott dari aspek sejarah hadis, dan Joseph Schacht (1902-1969) dari aspek sejarah fikih. Tak lupa Luthfi mempropagandakan karya Montgomery Watt berjudul The Formative Period of Islamic Thought, yang dipuja dan dipuji oleh Luthfi sebagai,”Buku yang agak komprehensif tentang Islam perdana.”
Tulisan ini tidak bertujuan secara khusus mengkritisi Luthfi Asy-Syaukanie, namun bertujuan lebih umum, yaitu untuk menjelaskan seputar orientalisme itu sendiri, walau pun serba singkat. Harapannya, agar kita dapat bersikap kritis dan waspada terhadap orientalisme. Sebab orientalisme walaupun terkesan ilmiah dan objektif, namun menurut Ahmad Abdul Hamid dalam kitabnya Ru`yah Islamiyah li Al-Istisyraq tujuannya sangatlah jahat, yaitu antara lain : Pertama, menjelek-jelekkan Islam serta membuat umat Islam ragu dan sesat terhadap ajaran Islam; Kedua, memaksakan dominasi Barat atas umat Islam dan melegitimasi dominasi ini dengan studi-studi dan teori-teori yang diklaim ilmiah dan objektif; dan Ketiga, mendesakkan klaim bahwa Barat yang Kristen memiliki keunggulan ras dan budaya di atas umat Islam.
Pengertian Orientalisme
Banyak definisi orientalisme di kalangan para pakar dan ulama. Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua abad yang lalu [abad ke-18 M], meski aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.
Muthabaqani menyatakan bahwa istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Pada tahun 1691, istilah orientalis digunakan oleh Anthony Wood untuk menyebut Samuel Clarke sebagai “orientalis yang cerdas”, karena mengetahui beberapa bahasa Timur.
Menurut Rudi Paret (orientalis Jerman, lahir 1901) orientalisme adalah “ilmu ketimuran (‘ilmu al-syarq) atau ilmu tentang dunia timur (‘ilmu al-‘alam al-syarqiy).” Sementara A.J. Arberry menggunakan Kamus Oxford untuk mendefinisikan orientalis, yaitu “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.”
Sementara itu Maxime Rodinson (orientalis Perancis, lahir 1915) menerangkan bahwa istilah orientalisme muncul dalam bahasa Perancis tahun 1799 dan dalam bahasa Inggris tahun 1838. Orientalisme ini, menurut Rodinson, lahir untuk memenuhi kebutuhan “mewujudkan satu cabang pengetahuan khusus untuk mengkaji dunia timur.” Rodinson menambahkan bahwa kebutuhan ini amat mendesak, agar terwujud orang-orang spesialis yang siap untuk menerbitkan berbagai majalah, mendirikan berbagai universitas, dan berbagai departemen ilmiah.”
Muthabaqani juga menjelaskan definisi orientalisme menurut kritikus orientalisme yang terkenal, yaitu Edward Sa`id dalam bukunya Orientalism (New York : Vintage Books, 1979). Edward Sa`id dalam Orientalism hal. 92 menyatakan,”Orientalisme adalah bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada [pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.”
Definisi lain yang lebih ideologis dikutip juga oleh Muthabaqani dari pendapat Ahmad Abdul Hamid, dalam kitabnya Ru`yah Islamiyah li Al-Istisyraq (hal. 7). Menurut Ahmad Abdul Hamid, orientalisme adalah “studi-studi akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat yang kafir –khususnya Ahli Kitab— terhadap Islam dan kaum muslimin, dari berbagai aspeknya : aqidah, syariah, budaya (tsaqafah), peradaban (hadharah), sejarah, sistem-sistem kehidupanya (nuzhum), kekayaaan alam, dan potensi-potensinya…”
Dari berbagai definisi orientalisme di atas, Dr. Muthabaqani sendiri akhirnya mendefinisikan orientalisme secara cukup komprehensif. Orientalisme, menurut Muthabaqani, adalah “segala sesuatu yang bersumber dari orang-orang Barat, yaitu dari orang-orang Eropa (baik Eropa Barat maupun Timur, termasuk Soviet) dan orang-orang Amerika, berupa studi-studi akademis yang membahas masalah-masalah Islam dan kaum muslimin, di bidang aqidah, syariah, sosial, politik, pemikiran, dan seni.”
Termasuk juga dalam orientalisme, kata Muthabaqani, adalah : (1) segala sesuatu yang disebarluaskan oleh media massa Barat baik dengan bahasa mereka maupun bahasa Arab, melalui koran, radio, televisi, film, kartun, dan saluran-saluran luar angkasa, yang menyangkut Islam dan kaum muslimin; (2) segala sesuatu yang ditetapkan oleh para peneliti dan politisi Barat dalam berbagai konferensi dan seminar mereka, baik yang terbuka maupun yang rahasia; (3) segala sesuatu yang ditulis oleh orang Arab Kristen, seperti kaum Maronit, yang memandang Islam dengan kacamata Barat; (4) segala sesuatu yang disebarluaskan oleh para peneliti muslim, yang belajar kepada para orientalis dan mengadopsi banyak pikiran kaum orientalis, hingga sebagian murid orientalis itu bahkan melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan teknik dan metode yang lazim dalam orientalisme.
Namun meski sering terkait dengan Islam dan kaum muslimin, Muthabaqani segera menambahkan, orientalisme tetap mengkaji bangsa-bangsa timur secara umum, seperti bangsa India, Asia Timur, Cina, Jepang dan Korea. Jadi, orientalisme memang tidak hanya mengkaji Islam dan kaum muslimin.
Yang menarik dari definisi orientalisme Muthabaqani di atas, beliau memasukkan karya intelektual muslim yang dipengaruhi oleh orientalis, sebagai kegiatan orientalisme. Karena itu, Fazlurahman boleh juga disebut seorang orientalis, karena dia mengadopsi pikiran Joseph Schahcht tentang sejarah hukum Islam. Harun Nasution, juga seorang orientalis, karena memandang sunnah (hadits) dengan cara pandang orientalis, seperti Schacht dan Ignaz Goldziher. Nurcholish Madjid (murid Fazlurahman) juga tiada lain seorang orientalis, karena banyak mengadopsi pikiran sekuler dari Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1967). Walhasil, Luthfi Asy-Syaukanie juga hakikatnya seorang orientalis, karena banyak mengadopsi ide kaum orientalis seperti Arthur Jeffrey, Theodore Noldeke, dan Joseph Schacht.
Seorang pemikir muda yang brilian, Adnin Armas MA, bahkan menulis buku khusus yang membuktikan adanya pengaruh kristen-orientalis itu terhadap kaum liberal di Indonesia.
Inilah nampaknya yang dapat menjelaskan mengapa orang liberal-sekular tidak mampu bersikap kritis terhadap orientalisme. Bagaimana bisa kritis, wong orang liberal itu sebenarnya juga orientalis. Sesama orientalis, sudah selayaknya saling menghormati dan memuji, bukan?
Munculnya Orientalisme
Kapan munculnya orientalisme dalam lintasan sejarah umat Islam? Nampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan ini, karena para ahli berbeda pendapat. Sebagian ahli berpendapat, munculnya orientalisme berbarengan dengan kemunculan Islam itu sendiri. Barangkali argumennya adalah perhatian para pemuka agama Kristen terhadap Islam di Habasyah ketika sebagian kaum muslimin berhijrah ke sana. Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah mengirimkan surat kepada raja-raja di sekitar Jazirah Arab, termasuk kepada Heraklius raja Romawi yang Kristen. Perang Mu`tah juga dipandang sebagai konflik militer pertama antara umat Islam dan umat Kristen. Ada juga yang berpendapat, orientalisme bermula pasca Perang Salib (abad ke-11 sampai ke-13 M), setelah bangsa Eropa yang Kristen mengalami kekalahan dari kaum muslimin, khususnya kekalahan Louis IX di kota Al-Manshurah tahun 1290-an.
Pendapat yang lain menyatakan, orientalisme bermula dari keputusan Gereja Wina yang menyerukan dibentuknya lembaga studi untuk mempelajari bahasa Arab, Iberani, dan Suryani di sejumlah kota Eropa seperti Paris, Oxford, dan lain-lain. Namun peneliti Inggris bernama P.M. Holt menolak peristiwa itu sebagai awal orientalisme, karena keputusan gereja itu ternyata tidak dilaksanakan secara semestinya.
Masih ada pendapat lain lagi. Pendapat ini mengatakan bahwa awal oreintalisme adalah konflik antara kaum muslimin dan Kristen di Andalusia (Spanyol) sekitar abad ke-15 M. Syaikh Musthafa As-Siba’iy cenderung pada pendapat ini.
Dari sekian pendapat ini, mana yang lebih mendekati kebenaran? Muthabaqani mengutip pendapat Dr. Ali an-Namlah dalam kitabnya Al-Istisyraq wa Al-Adabiyat Al-‘Arabiyah yang berkata,”Bahwa semua peristiwa-peristiwa itu hanyalah tanda-tanda awal (irhashat) bagi orientalisme. Apa yang datang setelah itu dapat dianggap sebagai pendalaman ide tentang orientalisme, perluasan orientalisme, dan peningkatan perhatian terhadap orientalisme.” Jadi, titik awal yang sesungguhnya dari orientalisme adalah sejak abad ke-16 M, yakni suatu masa di mana Eropa tengah mengalami kebangkitan dengan aktivitas Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme. Sejak abad ke-16 itulah di Eropa mulai banyak karya cetak berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga-lembaga kajian yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di Oxford.
Tujuan-Tujuan Orientalisme
Apa yang menjadi tujuan kaum orientalis dalam melakukan kegiatannya? Jelas, tujuan-tujuan orientalis ini beraneka ragam . Secara lebih terperinci, Muthabaqani dalam al-Istisyraq menerangkan tujuan-tujuan utama orientalisme, yaitu :
1. Tujuan Agama : Tak diragukan lagi, tujuan ini merupakan salah satu tujuan terpenting orientalisme. Mengapa? Karena para pemuka Kristen melihat agama Islam mempunyai kekuatan dan magnet yang besar untuk dapat dianut orang Kristen. Maka karena kedengkiannya, para pemuka Kristen melancarkan orientalisme guna menjelek-jelekkan Islam (tasywih al-Islam) agar orang-orang Kristen menjauhkan diri dari Islam (tanfir al-nashara min al-islam).
2. Tujuan Ilmiah : Orang-orang Eropa yang mulai bangkit di abad ke-16 membutuhkan banyak inspirasi untuk kebangkitannya. Karena itulah, mereka mengkaji berbagai penemuan ilmiah yang ditemukan kaum muslimin dalam berbagai bidang pengetahuan. Ketika orang-orang Barat mengkaji suatu bidang ilmu yang sudah lebih dulu diterjuni intelektual muslim, dapat dipastikan mereka lalu menerjemahkan kitab-kitab kaum muslimin itu, dan mengadopsi kandungannya. Francis Bacon yang menulis Novum Organum (Alat Berpikir Baru) di abad ke-16, mendapatkan inspirasi cara berpikir yang empiris (induktif) dari karya-karya kaum muslimin dari masa Khilafah Abbasiyah. Sebelum itu, di Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15 M), cara berpikir yang dominan di Barat adalah logika Aristotelian yang deduktif, yang meremehkan pengamatan empiris.
3. Tujuan Ekonomi : Pada saat Eropa mengalami kebangkitan ilmiah, pemikiran, dan industri, mereka membutuhkan bahan-bahan mentah bagi industrinya dan sekaligus membutuhkan pasar-pasar baru untuk menjual produksinya yang melimpah. Dari sinilah, negeri-negeri Islam seperti negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Asia, merupakan sasaran empuk bagi mereka. Karena itulah, mereka harus mempelajari negeri-negeri Islam ini dengan mempelajari agama penduduknya, politiknya, budayanya, perekonomiannya, dan lain-lain, agar Barat tahu bagaimana cara berinteraksi umat Islam.
4. Tujuan Politik : Orientalisme tidak dapat secara polos kita anggap terpisah dari imperialisme Barat. Bahkan keduanya saling menunjang satu sama lain. Orientalisme adalah pelayan imperialisme. Para orientalis memasok berbagai informasi kepada para penjajah berupa informasi keagamaan, bahasa, politik, ekonomi, sejarah, budaya, kekayaan alam, dan sebagainya dari negeri yang hendak dijajah.
5. Tujuan Budaya : Penyebaran budaya Barat (ats-tsaqafah al-gharbiyah) merupakan salah satu tujuan utama orientalisme. Di negeri-negeri Arab, misalnya, kaum orientalis berusaha menyebarkan bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris dan Perancis. Sebaliknya, mereka berusaha memusnahkan bahasa Arab yang fasih (fush-hah). Orientalis juga menyebarkan berbagai paham Barat, seperti nasionalisme dan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) di negeri-negeri Islam.
Pengaruh-Pengaruh Orientalisme
Aktivitas orientalisme yang dilakukan di negeri-negeri Islam tentu saja menimbulkan berbagai dampak atau pengaruh yang sangat buruk dan mengerikan. Di antaranya :
1. Pengaruh Aqidah : di antara pengaruh orientalisme, adalah pengaruh di bidang aqidah, yaitu lahirnya generasi sekuler, baik di kalangan intelektual, pemerintah, militer, maupun orang awam di Dunia Islam. Mereka semuanya menjadi satu arus dan trend yang meneriakkan pemisahan agama dari kehidupan, atau yang dalam bahasa Arab disebut al-‘ilmaniyah (tepatnya : as-sikulariyah). Padahal aqidah ini sangat bertolak belakang dengan Aqidah Islam, sebab Aqidah Islam terikat (bukan terpisah) dengan segala bidang kehidupan, dengan seperangkat hukum-hukum Syariahnya.
Pengaruh lainnya, adalah merebaknya kecenderungan terhadap ide-ide marjinal yang menyimpang dari Aqidah Islam, seperti tashawwuf Ibnu ‘Arabiy (Wihdatul Wujud) yang mendapat perhatian khusus dari kalangan orientalis.
2. Pengaruh Sosial : Kaum orientalis karena didorong kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam, berusaha mencari faktor yang dapat merusak soliditas masyarakat muslim. Contohnya, di Aljazair, orientalis menghapuskan kepemilikan umum (atas tanah publik) yang akhirnya membuat terpecah belahnya beberapa kabilah. Padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai dengan konsep kepemilikan umum yang ada dalam ajaran Islam. Pengaruh sosial lainnya adalah terancamnya keutuhan keluarga, karena kaum orientalis menaruh perhatian besar pada ide-ide gender dan feminisme yang membodohi sekaligus memprovokasi kaum muslimah untuk memberontak terhadap hukum-hukum Islam tetang pengaturan keluarga (misalnya masalah ketaatan kepada suami, nafkah, dan hak cerai).
3. Pengaruh Politik-Ekonomi : Orientalis misalnya mempropagandakan sistem demokrasi dan dikatakannya sebagai sistem politik paling ideal untuk umat manusia. Pada saat yang sama, mereka menyerang dan menjelek-jelekkan sistem politik Islam, yaitu Khilafah. Thomas W. Arnold, misalnya, dalam bukunya Caliphate (Lahore: 1966) hal. 25, menuding bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab dapat menjadi khalifah, lantaran keduanya telah melakukan suatu persekongkolan. Orientalis lain, Bernard Lewis, menyatakan bahwa sistem politik Islam adalah sistem diktator yang memaksakan ketundukan dan kehinaan atas bangsa-bangsa muslim. Bahkan lebih dari itu, Bernard Lewis menganggap sistem politik Islam menyerupai sistem komunis dalam hal kediktatoran dan kesewenang-wenangannya.
Sementara itu dalam bidang ekonomi, orientalis mempropagandakan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pada saat yang sama, mereka menyerang sistem ekonomi Islam. Muhammad Khalifah mengatakan,”Kaum orientalis dalam aksi mereka mempropagandakan sistem ekonomi Barat, melakukan penafsiran ulang terhadap sejarah ekonomi Islam dengan perspektif kapitalisme dan komunisme sebagai dasar untuk kedua sistem tersebut…”
4. Pengaruh Budaya-Pemikiran (tsaqofiyah-fikriyah) : Sungguh kaum orientalis telah memetik kemenangan besar di bidang budaya dan pemikiran di Dunia Islam. Buktinya, cara pandang atau perspektif orientalis telah menjadi sumber pemahaman bagi umat untuk memahami Islam, setelah sebelumnya umat Islam hanya menggunakan cara pandang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, menurut tuntunan para ulama muslim. Umat Islam kini meyakini demokrasi, sebagai ganti dari keyakinan terhadap sistem politik Islam (Khilafah). Umat Islam lebih meyakini sistem ekonomi kapitalisme, daripada sistem ekonomi Islam. Demikian pula cara pandang orientalis di bidang ilmu sosiologi, psikologi, sejarah, dan sebagainya telah mengisi, memenuhi, sekaligus meracuni otak generasi muda Islam, yang sebelumnya terisi dengan pemikiran-pemikiran Islam yang cemerlang.
Orientalisme: Antara Kontinuitas Dan Perubahan
Islam, sejak kemunculannya pada awal abad ke-7 masehi, membuat Barat (Eropa) serba “tidak enak”. Apalagi ketika Arab-Islam (kurang lebih pada abad ke-8 dan ke-11 M) sedang berada di puncak peradaban dunia yang membawa pengaruh besar dari segi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan yang terpenting pengaruh ilmu pengetahuan terhadap bangsa-bangsa lain. Pengaruh ini tidak hanya terbatas pada kawasan Asia-Afrika, tetapi sampai pada kawasan Eropa. Pada saat pusat-pusat Islam di Andalusia (spanyol) sedang berada di puncak kecemerlangannya dengan perkembangan kajian-kajian keilmuan seperti filsafat Yunani, kedokteran, astronomi, dan lain-lain, pusat-pusat intelektual di Eropa Barat hanyalah berupa benteng-benteng perkasa yang dihuni bangsa semi Barbarik yang merasa bangga atas ketidakmampuannya membaca. Oleh sebab itu, orang-orang Eropa banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Akan tetapi setelah 5 abad berjalan kekuasaan Islam di Spanyol telah mendapat reaksi yang besar dari kaum Kristen Spanyol dengan “gerakan Perang Salib”. Peperangan ini berlangsung sekitar 2 abad dan akhirnya pada tahun 1492 Masehi kekuasaan Islam berakhir.
Orientalisme muncul ke permukaan bertaut erat dengan latar belakang psiko-historis di atas. Islam pada abad-abad lampau itu dicurigai, ditakuti tapi diam-diam juga dicemburui dan dikagumi. Perasaan-perasaan ini semakin mengental menjadi ketertarikan untuk mengkaji dunia Timur ketika adanya kebutuhan akan kekuasaan kolonial Eropa Barat untuk belajar dan memahami masyarakat yang mereka kuasai. Maka tidak heran bila sistem pengetahuan Orientalisme selama berabad-abad menjadi alat kepentingan kolonialisme. Akan tetapi ketika kolonialisme yang memayungi corak Orientalisme abad 18, 19, dan 20 lenyap, justru Orientalisme itu sendiri semakin terlembaga. Dengan otoritas akademis dan tradisi literatur yang berwibawa, Orientalisme pasca kolonial ingin menjadi suatu “obyektivitas ilmiyah” dalam melihat Timur. Hal ini pernah dikatakan oleh Bernard Lewis sebagai mana dikutip Richard C. Martin dalam salah satu tulisannya dan Montgomery Watt yang menyatakan bahwa usaha-usaha para orientalis untuk mengeksplorasi pengetahuan tentang Timur selalu timbul dari “rasa ingin tahu intelektual.” Bahkan Karel A. Stenbrink menyayangkan kalau hambatan-hambatan mental kaum Muslim tidak segera diatasi mereka tidak akan bisa menikmati prestasi-prestasi akademis dan scholarship dari para orientalis.
Terlepas dari “obyektivitas ilmiah” tersebut mungkin ada infrastruktur orientalis yang tidak boleh diabaikan saat ini yaitu relasi ekonomi politik global yang didominasi Barat. Barat dan Islam memang dari dulu mempraktekkan sistem penolakan satu sama lain. Tetapi penolakan Baratlah—berkat dominasi globalnya (hegomoninya)—yang jauh lebih berlaku.
Begitu besarnya perhatian Barat—lewat hegemoni kulturalnya—terhadap Timur, khususnya Timur Islam, sehingga menurut Edward W. Said dalam karya monumentalnya, Orientalism, antara tahun 1800-1950 saja, tidak kurang dari 60.000 buku telah ditulis pihak Barat tentang Timur Dekat (The Near Orient). Kenyataan ini sama sekali tidak diimbangi oleh pihak Islam untuk juga mengkaji peradaban dan warisan kultural Barat yang sekarang masih berada “di atas angin”.
Untuk lebih jelasnya mengenai Orientalisme ini selanjutnya akan dipaparkan seputar sejarah perkembangan konsep Orientalisme, beberapa tanggapan atas Orientalisme dan diakhiri dengan beberapa catatan dan penutup.
Perkembangan Konsep Orientalisme (Citra Barat atas Islam)
Sepanjang perkembangan sejarahnya, kajian orientalis tentang Islam dan kaum Muslim pada umumnya telah mengalami pasang surut dan memiliki fase-fase kekhususannya sendiri. Ada beberapa tahapan penting dalam sejarah terbentuknya Orientalisme. Pertama, tanggapan awal kedatangan dan perkembangan Islam (sejak abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi). Pada masa itu kesan Barat tentang Islam dan kaum Muslim tidak akurat dangan sangat negatif. Menurut W. Montgomery Watt ada “citra standar” masyarakat Eropa—yang telah dibangun oleh para teolog Kristen—tentang Islam. Kesan-kesan tersebut adalah: Islam merupakan agama yang keliru dan merupakan pemutarbalikan secara sengaja terhadap kebenaran Kristen; Islam adalah agama yang disebarkan melalui kekerasan dan pedang; Islam adalah agama hawa nafsu; dan Muhammad adalah anti Kristus. Di samping empat citra tersebut, mereka juga memandang al-Qur’an sebagai kitab suci palsu buatan Muhammad sendiri dengan mengambil bahan-bahan dari perjanjian lama, perjanjian baru dan dari kaum murtad.
Anggapan para teolog dan ahli Kristen semacam itu terhadap Islam disebabkan sikap permusuhan mendalam yang muncul dari ekspansi Islam ke wilayah-wilayah yang dikuasai Bizantium, juga karena terbatasnya informasi lebih akurat yang mereka dapatkan tentang Islam. Informasi yang lebih faktual tentang Islam di kalangan masyarakat Eropa muncul dari semenanjung Iberia (Andalusia) di mana terjadi kontak dan interaksi yang lebih intens antara kaum Muslim dan Kristen. Meskipun begitu informasi-informasi secara polemis tersebut tetap digunakan untuk membantah ajaran-ajaran Islam sesuai dengan kaca mata Kristen.
Tahapan kedua adalah era pasca Perang Salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik masih mempunyai jarak dengan kaum Muslim di belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah beberapa gelombang Perang Salib di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang menyertai misi suci tersebut dengan leluasa berkenalan lebih dekat dengan sumber-sumber asli peradaban Islam. Dan karena sumber-sumber itu semuanya berbahasa Arab, maka mendorong munculnya studi filologi bahasa Arab sehingga pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 dimulailah gerakan Orientalisme yang sebenarnya. Beberapa tokoh yang menfokuskan pada kajian bahasa Arab di antaranya adalah: Guillaume Postel (1540-1581), Thomas Van Erpe (1584-1624), Francis Van Ravelingen (1539-1597), Jacob Golius (1596-1667), dan George Sale (1697-1736). Seiring dengan keberadaan tokoh-tokoh ini, pusat-pusat kajian keislaman didirikan di kota-kota penting Eropa. Pada 1539 departemen bahasa Arab didirikan di College de France Universitas Sorbonne Prancis. Pada 1613 di Belanda didirikan sebuah institut buat kajian yang sama. Dan pada waktu yang bersamaan Oxford dan Cambridge menyusul mendirikan kajian ke-Timur-an di mana kajian Arab-Islam merupakan yang terpenting. Akhirnya, pada abad ke-18 ditandai keinginan untuk melihat Timur-Islam dalam sudut pandang yang lebih memadai. Implikasinya, yang dibutuhkan lebih dari sekedar kajian-kajian filologis.
Tahapan ketiga, yaitu era Kolonialisme dan Imperialisme Eropa ke hampir ke seluruh negeri dan bangsa non-Barat, khususnya dunia Islam. Orientalisme pada tahap ketiga ini merupakan “ajudan” para kolonialis dan alat yang paling ampuh buat mendalami kondisi sosio-historis negeri-negeri jajahan Barat. Pada masa ini dunia Timur tidak lagi menjadi obyek kajian atau obyek studi (yang murni), tetapi telah menjadi obyek kekuasaan dan kesewenang-wenangan bangsa yang lebih kuat dan yang mengiringi periode kolonialisme ini adalah ide Evangelisme (penginjilan). Ide dasar Evangelisme adalah bahwa keselamatan (salvation) terletak hanya pada pengakuan dosa dan penerimaan gospel Kristen. Evangelisme menciptakan konfrontasi antara Kristen Eropa dan Muslim dalam skala lebih besar daripada masa-masa sebelumnya karena pertumbuhan aktivitas misionaris terorganisasi dan perluasan kekuasan Eropa atas wilayah-wilayah Muslim. Menurut Azyumardi Azra, pada permulaan abad ke-19 (ketika kolonialisme dan imperialisme mencapai puncaknya), setidaknya terdapat dua model citra Eropa terhadap Islam. Pertama, menganggap Islam menjadi musuh dan rival Kristen. Kedua, menganggap Islam sebagai bentuk pencapaian akal dan perasaan manusia dalam usaha mereka untuk mengetahui dan merumuskan sifat Tuhan dan alam.
Beberapa tokoh Orientalisme pada tahapan ini di antaranya adalah Thomas Valpy French (1828-1891), Sir William Muir (1819-1905), Reinhart Dozy (1820-1883), Michele Amari (1806-1893), Ignas Goldziher (1850-1921), Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), Carl Heinrich Beeker (1876-1933), dan Duncan Black Macdonald (1892-1925)(19).
Dalam konteks ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa seluruh orientalis adalah “alat-alat” kolonialis dan misionaris. Karena tidak bisa dinafikan bahwa banyak juga dari para orientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari Islam dan ke-Timur-an terutama pada masa-masa akhir generasi Orientalisme. Beberapa di antara mereka yang sangat respek dengan Islam adalah Louis “murid al-Hallaj” Massignon (1883-1962), W. Montgomery Watt, W. C. Smith, Henry Corbin, dan Titus Burckhardt(20). Setelah Perang Dunia II, muncul pula kajian wilayah (terutama kajian Timur Tengah) dan pertumbuhan ilmu-ilmu sosial yang mempercepat perubahan Orientalisme sebagai topik akademis. Para tokoh dalam proses ini antara lain Ira M. Lapidus dengan A History of Islamic Societies (1988), Bernard Lewis; di antara karya utamanya adalah The Islamic World (1989) dan The Political Language of Islam (1988), Gustav Von Grunebaum dengan judul-judul yang dipilihnya Modern Islam, Medieval Islam, dan Classical Islam. Di samping itu juga adalah Cloude Cahen (1909-1991), Phillip K. Hitti (1886-1974) dan Giorgio Levi Della Vida (1886-1967)(21).
Pada perkembangan selanjutnya, Orientalisme bukanlah sebagai kajian obyek yang mempunyai metode tersendiri, tetapi ia kini menjadi obyek kajian, yaitu setelah terbukanya “keburukan-keburukan” Orientalisme melalui kritik yang datang baik dari kalangan luar (Muslim) seperti yang dilakukan A. L. Tibawi, Anwar Abdul Al-Malik, dan Abdallah Laroni, serta dari kalangan dalam sendiri (Barat), misalnya oleh Edward Said, Foucoult, Recourr, dan Bourdeau. Orientalisme tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya, para pengkaji ke-Timur-an dari Barat akan merasa risih untuk disebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah tersebut sangat pejoratif. Mereka lebih suka untuk dipanggil “Islamolog”, “Egypolog” dan sejenisnya. Kajian Orientalisme sebagai obyek kemudian dilakukan di beberapa universitas Muslim yang lebih lanjut mengilhami studi akan budaya Barat yang dilihat dari sudut pandang dan prespektif “selain” Barat. Kajian ini menekankan faktor subyektifitas Timur dalam membaca dan mengkaji Barat, inilah kemudian yang disebut ‘ilmu Oksidentalisme’.
Akan tetapi pada era mutakhir ini, Islam oleh dunia Barat masih tetap digambarkan sebagai bahaya dan ancaman dengan menggunakan kata-kata kunci seperti “Islam militan”, “fundamentalisme Islam”, “Terorisme”, dan semacamnya. Penggambaran Islam dalam citra mutakhir ini agaknya disebabkan oleh sedikitnya dua faktor; Pertama, ketakutan yang dibesar-besarkan dan Kedua, pandangan monolitik terhadap Islam dan kaum Muslim. Kedua faktor tersebut pada gilirannya mempunyai peran dalam pelestarian citra ‘Barat-lama’ oleh Barat terhadap Islam.
Beberapa Tanggapan tentang Orientalisme
Pergunjingan mengenai Orientalisme menjadi semakin ramai terutama sejak Edward Said, seorang Kristen Palestina dan aktivis PLO di Amerika, menulis buku Orientalism. Dalam buku ini, Said memaparkan secara panjang lebar hakekat Orientalisme itu, yang baginya secara keseluruhan tidak lebih dari alat penjajah bangsa-bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur khususnya Timur-Islam. Gugatan yang paling mendasar dari Said muncul dalam penolakannya terhadap istilah Orientalisme, atau ketimuran. Menurutnya apa yang dikatakan Timur bukanlah sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Dalam istilah Said, Timur (Orient) adalah imaginative geography yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Kriteria Timur tidak pernah jelas secara kategoris, kalaupun ada sesuatu yang menjadikan Barat-Timur berbeda, hal itu juga merupakan hasil konstruksi sepihak masyarakat Barat. Persoalan metodologis kemudian muncul ketika imajinasi Barat tentang Timur ini dinyatakan sebagai temuan yang bersifat obyektif dan netral. Untuk itu Said menganggap kajian Orientalisme selalu berkedok ilmiah dengan mengatasnamakan diri pada ilmu.
Penolakan ekstrim terhadap obyektivitas kajian orientalis ini muncul dalam bentuk nativisme (pandangan yang menyatakan bahwa natives atau pelaku adalah satu-satunya yang mengetahui tentang dirinya). Pandangan ini di antaranya dikemukakan Mahmud Shakr. Dia berpendapat bahwa untuk dapat memahami Islam seseorang harus menjadi Muslim dahulu, karena Islam sebagai agama juga terekspresi dalam bentuk budaya dan bahasa. Pijakan ini mendorong Shakr untuk tidak melihat adanya kebenaran dalam karya orientalis tentang Islam maupun Arab. Baginya, orientalis yang berlatar belakang budaya Barat dan beragama non Islam tidak mungkin dapat mengerti tentang Islam. Pandangan ini sebenarnya cukup umum di kalangan umat Islam. Kelebihannya adalah kemampuan Shakr untuk menerjemahkan penolakannya terhadap Barat dalam rumusan dan kaidah ilmiah.
Berlainan dengan pandangan natives di atas, beberapa kalangan baik Muslim maupun non-Muslim banyak yang berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan Orientalisme. Mereka kebanyakan tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan mereka kadang-kadang menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis. Muhammad Abdul Rauf, misalnya, tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur. Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang bermaksud untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit menginginkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam. Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu lagi menggunakan data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan apapun di dunia. Husain menilai bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari etika akademik dan keilmuan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam.
Kecaman terhadap Orientalisme juga datang dari pengamat Barat sendiri. Gordon E. Pruett berpendapat bahwa banyak orientalis yang memojokkan makna-makna Islam melalui operasionalisasi metodologi dunia. Kecenderungan umum yang terdapat pada tulisan orientalis adalah menganggap Islam sebagai fenomena obyektif. Dengan cara ini keyakinan Islam dan pandangan orang Islam sendiri tidak banyak diperhatikan, sehingga orientalis seringkali gagal memahami Islam secara lebih memadai. Sedangkan Bryan S. Turner, pengamat sosiologi Islam ini melihat bahwa gambaran tentang Islam dan Timur dalam Orientalisme sangat bersifat Eurosentris. Hal ini dikarenakan Islam merupakan kekuatan asing terbesar dalam masyarakat Barat yang nantinya menjadi semacam perbandingan bagi orang Barat sendiri.
Di samping itu, ada kritik yang cukup obyektif dan simpatik dari Marshall Hodgson kepada Clifford Gertz, seorang antropolog Amerika yang bukunya Religion of Java sangat berpengaruh di Indonesia di kalangan tertentu. Gertz dalam bukunya itu secara ringkasnya menyatakan: “sejauh-jauh orang Jawa itu Islam, namun unsur-unsur Hinduisme, Budhisme, dan Animismenya masih lebih banyak dari pada unsur Islamnya.” Menurut Hodgson, inilah contoh stategem kolonialistik yang mencoba memperkecil makna kehadiran Islam di suatu negeri jajahan. Gertz, kata Hodgson melakukan stategem yang juga dianut oleh para ahli di kalangan kaum penjajah Perancis atas kawasan Afrika Utara.
Share This!
Related Post :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Translate Bahasa
Total Tayangan Laman
Note
Setiap tulisan di posting KISAH memiliki daftar pustaka yang lengkap. Jadi bukan bacaan kosong..
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Most Popular
-
Terusan Suez (bahasa Arab, Qana al-Suways) pada dasarnya walaupun pada abad yang sudah mengenal angkutan udara dan ruang angkasa sekalipun,...
-
WILAYAH PERAIRAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. TINJAUAN GEOGRAFIS Wilayah Negara Republik Indonesia Indonesia meru...
-
A. MENURUT LUAS WILAYAH OPERASI PELAYARAN Sebagai Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia memiliki bentuk usaha pelayar...
-
A. MASYARAKAT PRA SEJARAH INDONESIA 1. Lingkungan Alam Antara lingkungan alam dan masyarakat tidak bias dipisahkan dan besa...
-
PENDAHULUAN Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebija...
0 komentar
Post a Comment
Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..