Slide K.I.S.A.H
EKONOMI GANDA ACEH MASA KOLONIAL
Sekitar 70 tahun lalu, seorang penulis Belanda Jihn Langhhout mengungkapkan kekecewaannya ketika ia ingin mulai menulis tentang sejarah ekonomi Aceh karena sumber-sumber sejarah selama pendudukan Belanda sangat sedikit. Sejak Snouck Hurgronje menyelesaikan laporan pertamanya tentang masyarakat Aceh tahun 1892, penelitian ilmiah mengenai masyarakat Aceh telah maju pesat. Beberapa buku yang ditulis selama periode kolonial mengarah pada aspek-aspek ekonomi pada khususnya. Salah satunya yang ditulis oleh Langhhout melukiskan ekonomi Aceh selama 50 tahun pertama pemerintahan kolonial.
Keberadaan dua jenis kegiatan ekonomi di daerah yang ditaklukan yakni ekonomi lokal dan ekonomi asing adalah apa yang dimaksudkan Boeke dengan konsepnya tentang sistem ekonomi dualisme. Para penulis lain telah menggunakan label sektor domestik untuk ekonomi lokal dan sektor asing untuk kantong asing. Dalam sistem ekonomi lokal tradisonal, ekonomi didorong oleh tradisi-tradisi domestik, kehidupan religius, dan sebagainya. Motivasi untuk memperoleh keuntungan material tidak memainkan peranan penting dalam masyarakat. Sektor ekonomi asing terutama diimpor dari Eropa Barat, dari apa yang secara umum dikenal sebagai sistem ekonomi kapitalis modern.
Kebijakan Kolonial
Perkembangan perusahaan-perusahaan swasta Barat di Aceh baik dalam pertambangan minyak maupun pertanian tidak dapat dilihat terpisah dari kebijakan ekonomi kolonial. Pembukaan Aceh bagi investasi swasta terkai erat dengan kebijakan administrasi kolonial di Aceh. Sejak awal abad ke-20 beberapa bagian Aceh secara bertahap dibuka bagi modal swasta. Beberapa penulis Belanda seperti Jongejan dan Colijn berpikir bahwa pembukaan Aceh bagi perusahaan swasta Barat harus dipahami sebagai alat pasifikasi, denga kata lain tindakan ekonomi dengan tujuan-tujuan politis.
Arus modal swasta Barat ke Aceh sesungguhnya telah dimulai tahun 1898 ketika Tamiang dibuka untuk perkebunan tembakau. Beberapa perusahaan perkebunan di Deli melakukan usaha untuk memperluas operasi-operasi mereka ke Tamiang namun tidak berhasil karena tanah yang tersedia tidak sesuai untuk tanaman tembakau. Beberapa tahun setelah kegagalan perkebunan tembakau di Tamiang, sama sekali tidak ada perusahaan swasta Barat yang beroperasi di Aceh. Kegiatan perusahaan perkebunan mulai lagi setelah pemerintah Belanda membuka perkebunan karet Langsa tahun 1907. Penanaman modal swasta di Aceh terutama difokuskan ke pertambangan minyak, karet, dan minyak kelapa. Perkebunan kopi juga dimulai meskipun skala operasinya terbatas.
Sektor Asing : Minyak
Pertambangan minyak menarik para investor dan hal ini sebagian besar sehubungan dengan sukses pertambangan minyak di Langkat, Sumatera Timur. Sebuah perusahaan Belanda, Koninklijke Nederlandsche Maatschaapij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch-Indie memulai operasinya di Langkat segera setelah memperoleh konsesi. Sukses ini mendorong perusahaan-perusahaan lain untuk mencari minyak di Aceh Timur. Untuk beberapa dekade, Pereulak dikenal sebagai daerah tambang minyak dan perusahaan-perusahaan memusatkan perhatiannya kedareah ini.
Permulaan eklploitasi minyak di Aceh Timur yaitu pada 1895 dan 1900 ditandai dengan beberapa segi menonjol. Pertama, didorong oleh ambisi-ambisi yang menjangkau jauh para penanam modal ingin membuat Aceh Timur daerah boom baru bagi bisnis minyak. Para investor mempunyai kesulitan dalam mewujudkan ambisi tersebut karena pemerintah kolonial yakin bahwa daerah tersebut belum siap untuk dibuka. Kedua, para pencari minyak tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengembangkan usaha-usaha mereka lebih jauh. Segera setelah 1900 eksplorasi dan eksploitasi minyak mulai memperlihatkan hasil positif ketika beberapa sumur di Pereulak mulai berproduksi. Ada 2 tipe perusahaan minyak didaerah ini. Satu kategori kekuarangan finansial yang memadai, dan kategori kedua terdiri atas perusahaaan-perusahaan yang secara baik dilengkapi modal, fasilitas transportasi, perlengkapan pertambangan, dan pengetahuan teknologi yang canggih. Kategori ini diwakili oleh Koninklijke sejak 1907 dengan cabangnya Bataafsche Petroleum Maatschapij. Perusahaan minyak lain yang juga diberi konsesi di Pereulak adalah Zuid-Perlak Petroleum Maatschapij. Perusahaan ini bekerjasama dengan Koninklijke dalam memompa minyak dari konsesinya.
Sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh, Van Heutsz secara terus menerus mengambil pendirian tegas terhadap perusahaan-perusahaan minyak yang tidak memiliki cukup dana. Para ketua suku di Aceh Timur antusias terhadap perkembangan minyak di daerah mereka dan berusaha keras menarik para investor. Karena pemerintah kolonial mengharapkan keamanan dijamin di daerah-daerah eksplorasi minyak, para ketua suku melakukan dengan sepenuhnya untuk mengamankan daerah-daerah mereka dari muslim Aceh yang masih menentang kekuasaan kolonial Belanda.
Pertambangan minyak di Aceh Timur diatur dalam Ordonansi Pertambangan 1899. Peraturan-peraturan ini mengalami perubahan pada tahun 1900, 1904, dan 1918. Perubahan terpenting adalah pengenalan Pasal 5A pada tahun 1918 yang memberi partisipasi lebih besar dalam pertambangan minyak dan bagian yang lebih besar dalam penghasilan. Akibatnya area tanah yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan minyak di Aceh Timur sangat meluas.
Sektor Asing : Karet dan Minyak Kelapa Sawit
Perkebunan karet pemerintah kolonial di Langsa merupakan perkebunan karet pertama di Aceh. Pembukaan perkebunan ini pada tahun 1907 mendorong pengusaha-pengusaha swasta masuk ke Aceh Timur. Arus modal swasta ke Aceh dipandang sebagai usaha mengembangkan tipa perkebunan yang sama seperti perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatera Timur. Perkebunan karet di Tamiang didirikan oleh A.Hallet, seorang Belgia. Dia memperoleh konsesi sungai Liput dari pemilik sebelumnya. Tahun 1908, Hallet mulai menanam karet di konsesinya yang berada dibawah lindugan korporasi Belgia Societe Financiere de Caoutchouc. Modal swasta Belanda pertama yang diinvestasikan di Tamiang milik H.C. de Reuter. Dia sadar akan prospek keuntungan karet dan mengikuti langkah-langkah Hallet dengan membuka sebuah perkebunan di Kuala Simpang. Perkebunan kelapa sawit dibuka di Tamiang tidak begitu lama sesudah itu 1911.
Perkebunan-perkebunan karet di Aceh menunjukkan perkembanagn terus menerus dan bahkan lebih ekspantif sesudah 1909. Sebelum tahun ini hanya ada 2 perkebunan karet di Aceh Timur, perkebunan pemerintah di Langsa dan perkebunan swasta di sungai Liput. Tahun 1909 2 perkebunan karet lainnya didirikan, satu di Tamiang, dan lainnya di Langsa. Perusahaan kedua yang mendirikan perkebunan pada tahun 1909 adalah Tamiang Rubber Estates dengan sebuah konsesi yang mencakup 4.572 ha.
Konsesi yang diperoleh perusahaan-perusahaan swasta Barat semula dimaksudkan hanya untuk perkebuanan karet. Namun, waktu kelapa sawit muncul di daerah tersebut, ini juga ditanam. Perkembangan kelapa sawit di Indonesia kolonial terkait dengan permintaan minyak nabati yang meningkat di pasar internasional. Minyak nabati khususnya mengalami permintaan tinggi setelah Perang Dunia I. Aceh Timur dan Keresidenan Sumatera Timur menduduki posisi penting dalam sejarah kelapa sawit di Indonesia kolonial. Di Sumatera Timur perkebunan dipusatkan sekitar Asahan dan dipedalaman Belawan, sedangkan di Aceh Timur perkebunan kelapa sawit berpusat di Tamiang.
Penanaman karet dan kelapa sawit mulai secara serempak di Aceh Barat yang bergerak dengan ritme yang berbeda dengan penanaman di Aceh Timur. Kedua tanaman ini ditanam di Aceh Barat sejak 1919. Sebelum tahun itu, daerah pantai barat termasuk sebuah pulau lepas pantai hanya mempunyai beberapa perkebunan kelapa yang dibuka dengan modal swasta pada 1910. Tahun 1924 beberapa perkebunan tambahan yang nampaknya milik para usahawan Cina dan Arab dibuka. Tahun 1927 ada 2 konsesi utama untuk perkebunan karet di Seunangan dan Meurbo yang masing-masing meliputi 220 dan 154 ha, berlokasi di Lae Butar (Singkil).
Akibat dari perkembangan perkebunan karet yang lambat di Aceh Barat adalah produk mereka merupakan pendatang akhir di pasar. Aktivitas perkebunan di Aceh Barat berawal pada 1919 sesudah 3 konsesi diberikan pada Cultuur Maatschapij Atjeh, Cultuur Maatschapij Nord Atjeh, dan Cultuur Maatschapij Liopet.
Sektor Asing : Kopi
Sementara kelapa sawit dan karet ditanam di Aceh Timur dan sepanjang pantai barat, kopi ditanam di dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah dimana tanahnya cocok untuk kopi. Dibandingkan dengan kelapa dan karet, perkebunan kopi hadir terlambat. Hal ini disebabkan di daerah ini ditempatkan dibawah kekuasaan kolonial relatif terlambat. Perkebunan kopi dubuka sesudah dekade pertama abad ke-20 berasal dari Abrahan van Laer. Jenis kopi yang ditanam pertama kali adalah jenis robusta yang dengan sukses ditanam di Bandar Lampahan. Disamping kopi, ubi jalar juga ditanam di dataran tinggi Gayo. Produk ini dipasarkan ke Sumatera Timur dan Jawa. Teh kemudian juga ditanam di daerah ini tetapi sehubungan dengan hasil yang tidak memuaskan penanaman dihentikan.
Sektor Domestik
Pemerintah kolonial mengembangkan pertanian pribumi dengan mendorong penanaman kembali tanaman pangan seperti beras dan lada yang telah ditanam dengan sukses sebelim Perang Belanda di Aceh. Perang yang lama di Aceh telah menyebabkan kemunduran pertanian pribumi. Untuk meningkatkan produktivitas, varietas padi kualitas terbaik diperkenalkan dan pemerintah memulai beberapa pertanian percontohan. Usaha-usaha juga dilakukan untuk memperbaiki metode pananaman dan pengolahan padi pascapanen, dan perbaikan infrastruktur pertanian. Cara lain dalam peningkatan beras adalah dengan menanami lahan-lahan baru. Tanggul-tanggul pengaman yang dibangunn di Peusangan untuk menghalangi air garam di pelabuhan berhasil dan 500 ha lahan padi baru ditambahkan. Pemerintah kolonial juga menyebarkan para penyuluh pertanian untuk memberi bimbingan atau informasi pada para petani lokal.
Tanaman lada telah menjadi produk daerah ini sebelum Perang Aceh. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 pemerintah kolonial memperkenalkan lada jenis terbaik yang didatangkan dari Bangka dan Lampung. Selama abad ke-20 lada tidak lagi diperkenalkan sebagai jalur produksi utama sebagian besar karena harga merosor di pasar dunia dan penyakit tanaman lada yang dikenal sebagai Bungon Sunteng.
Upaya yang dilakukan pemerintah kolonial untuk memperbaiki pertanian pribumi dapat dinilai telah cukup sukses. Hal ini dapat disimpulkan dari peningkatan dalam hasil pertanian pribumi. Produksi beras memadai sehingga swasembada dapat dicapai pada pergantian abad hingga tahun 1939 surplus mencapai 5.600 ton.
Respon Sektor Domestik
Kehadiran modal swasta Barat di Aceh selama periode kolonial mengubah kegiatan ekonomi di wilayah ini. Sebelumnya kegiatan ekonomi telah didominasi oleh sistem ekonomi tradisional. Modal swasta Barat membagi kegiatan ekonomi daerah ini menjadi 2 sistem ekonomi. Kepadatan yang rendah di daerah-daerah ini mendorong perusahaan-perusahaan asing mendatangkan tenaga dari pulau Jawa. Kurangnya keterlibatan langsung penduduk setempat dalam kegiatan ekonomi yang diprakarsai perusahaan-perusahaan Barat mengindikasikan bahwa sektor lokal merespon rangsangan-rangsangan yang berasal dari sektor asing secara negatif.
Salah satu alasan mengapa penduduk setempat tidak mau bekerja pada perusahaan-perusahaan Barat adalah jumlah mereka yang berdomisili dekat perusahaan-perusahaan relitif kecil. Alasan lain adalah penduduk lokal mendapatkan penghasilan yang memadai dari sektor pertanian lokal untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Selain itu dalam nilai-nilai masyarakat Aceh, bekerja pada perkebunan dianggap inferior dan karena itu penduduk setempat masih setia pada kegiatan ekonomi tradisional. Jelas bahwa sektor domestik memberi respon negatif terhadap peluang yang ditawarkan oleh sektor asing.
Share This!
Related Post :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Translate Bahasa
Total Tayangan Laman
Note
Setiap tulisan di posting KISAH memiliki daftar pustaka yang lengkap. Jadi bukan bacaan kosong..
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Semua Artikel yang ada di Posting ini untuk di BACA bukan untuk di COPY PASTE
mohon maaf untuk kekurang nyamanan pengunjung.
mungkin kami nanti akan memberikan cara mendapatkan artikel kami.
Terima Kasih
TEAM KISAH
Most Popular
-
Terusan Suez (bahasa Arab, Qana al-Suways) pada dasarnya walaupun pada abad yang sudah mengenal angkutan udara dan ruang angkasa sekalipun,...
-
WILAYAH PERAIRAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. TINJAUAN GEOGRAFIS Wilayah Negara Republik Indonesia Indonesia meru...
-
A. MENURUT LUAS WILAYAH OPERASI PELAYARAN Sebagai Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia memiliki bentuk usaha pelayar...
-
A. MASYARAKAT PRA SEJARAH INDONESIA 1. Lingkungan Alam Antara lingkungan alam dan masyarakat tidak bias dipisahkan dan besa...
-
PENDAHULUAN Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebija...
0 komentar
Post a Comment
Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..