Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

THAILAND PASCA PERANG DINGIN


Thailand adalah salah satu Negara istimewa di Asia Tenggara. Perbedaan yang mendasar dengan Negara-negara tetangganya adalah bahwa Thailand tidak pernah mengalami masa penjajahan. Dengan demikian rakyat Thailand tidak pernah mengalami masa-masa sulit penjajahan yang menimbulkan rasa permusuhan terhadap bangsa barat khusunya negara-negara penjajah. Bahkan pengalaman yang unik ini membuat Thailand lebih mudah menyesuaikan diri dengan modernisme gaya barat. Disamping itu, pergeseran dari rejim monarki ke rejim militer pada tahun 1932 tidak menimbulkan gejolak perubahan sosial dan politik luar biasa. Hingga kini raja Thailand tetap dihormati dan bahkan dilembagakan dalam konstitusi Thailand. Menguatnya peran militer sejak tahun 1932 menjadikan perwira militer memainkan peranan penting dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri di Thailand. Sejak militer berkuasa di Thailand konsepsi keamanan nasional merupakan salah satu produk dari rejim militer yang berkuasa. Sebagaimana rejim militer lain di Asia Tenggara, militer Thailand menjadikan kesatuan, stabilitas, tata tertib, dan disiplin sebagai nilai-nilai dasar yang menopang negara Thailand.
Gerakan komunis di Thailand menguatkan argumentasi militer tentang pentingnya konsepsi keamanan yang mengutamakan stabilitas dan integritas wilayah nasional. Politik luar negeri Thailand sampai tingkat tertentu sangat di pengaruhi oleh kepentingan Amerika pada masa perang dinging berlangsung. Perang Vietnam merupakan salah satu faktor yang mempererat hubungan antara Thailand dan Amerika Serikat.
Dominasi militer dalam pemeritahan di Thailand tumbang kertika terbentukanya pemerintahan parlementer di bawah Perdana Menteri Prem Tinsulanond pada tahun 1988. Pemerintahan sipil ini kemudian menerapkan kebijakan yang mengarah pada profesionalisme militer Thailnad. Tetepi usaha untuk mengembalikan dominasi militer dalam politik dilakukan kembali dengan kudeta pada tahun 1991. Tetapi dukungan dari raja kepada masyarakat yang menentang pemerintahan militer akhirnya berujung pada pemutasian para perwira militer yang mendukung kudeta dalam jabatan-jabatan yang kuang strategis, dan juga anggaran militer dikurangi.
Meningkatnya supremasi sipil yang sedikit banyak didukung oleh para perwira kemudian mengubah konsepsi dasar keamanan nasional yang bersifat kaku dan tertutup. Di bawah pemerintahan sipil, konsepsi keamanan meluas dan mencakup isu-isu non-militer seperti pembangunan ekonomi, persamaan hak, kebebasan, keadilan, reformasi politik, desentralisasi birokrasi, HAM, dan lingkungan hidup. Konsepsi ini tercantum dalam buku putih pemerintahan yang berjudul The Defense of Thailand 1994. Buku putih ini memperluas makna keamanan nasional yang juga berisi tentang pernghormatan terhadap komunitas internasional.

Masalah Etnis Muslim Pattani di Thailand Selatan
Pattani merupakan salah satu provinsi di selatan Thailand. Masyarakat Melayu setempat menyebut provinsi mereka, Patani Darussalam atau Patani Raya. Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di perbatasan provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat(Menara). Di sini juga terdapat beberapa tumbuhan yang agak unik seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.
Masalah etnis muslim di Thailand sampai sekarang masih menjadi persoalan yang masih akan berlanjut. Tradisi dan agama yang berbeda membuat hubungan antara muslim Thailand dan mayoritas etnis Thai yang beragama Budha selalu diliputi oleh kecurigaan. Sejak awal tahun 2004, beberapa insiden kerusuhan dan huru-hara telah melanda selatan Thailand, terutama di wilayah-wilayah Narathiwat, Yala, dan Pattani. Kawasan-kawasan ini didiami oleh mayoritas penduduk Melayu Islam dan aktivitas gerakan pejuang kemerdekaan telah aktif sejak tahun 1980-an. Penduduk-penduduk di sini tidak merasa senang dengan reaksi keras pemerintah pusat terhadap aktivitas gerakan pejuang kemerdekaan tersebut. Kebanyakan mereka juga tidak puas hati dengan beberapa kebijakan kerajaan pusat yang memperlakukan mereka dengan cara berbeda dari kaum etnis Thai.
Pada 26 Oktober 2004, 78 orang tewas akibat sesak nafas setelah kesemuanya dimasukkan di dalam truk polisi akibat ditangkap di atas tuduhan rusuhan di daerah tersebut dan sekelilingnya. Pada awal 2005 terjadi sebuah tragedi. Sekitar 70 orang terbunuh akibat kekerasan yang dilakukan oleh rezim Shinawatra. Banyak negara yang mengecam keras tragedi ini. Namun dalam pemilihan kepala pemerintahan, Thaksin Shinawatra kembali memerintah negara ini untuk empat tahun berikutnya. Hingga awal tahun 2006, sedikitnya 1.000 orang telah tewas akibat kekacauan yang terjadi di Thailand bagian selatan sejak Januari 2004.

Konflik Thailand dengan Myanmar
Ada tiga faktor yang menjadi penyebab konflik antara Thailand dan Myanmar, yakni pelebaran konflik politik di Myanmar di wilayah Thailand, penyelundupan obat-obat terlarang, dan tidak jelasnya perbatasan kedua negara. Dari 2500 km wilayah perbatasan antara kedua negara baru58 km yang scara resmi disepakat sebagai perbatasan kedua negara. Myanmar di kenal sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang sering di sibukkan oleh konflik politik. Persoalan yang kemudian meicu konflik adalah bahwa konflik domestik ini melebar ke luar perbatasan dan menimbulkan persoalan baru dengan Thailand. Sekitar tahun 1996-1997, ratusan pengungsi Karen yang di kejar pemerintah Myanmar menyelamatkan diri dan mencari perlindungan ke Thailand.
Penyelundupan obat-obat terlarang ke Thailand kemudian memperkeruh keadaan hubungan kedua negara. Dalam tahun 2000 tidak kurang dari 600 juta amphetamine diselundupkan ke Thailand. Penyelundupan ini dilakukan oleh etnis Wa yang berhasil mendapatkan otonomi wilayah sejak berhenti melakukan perlawanan terhadap pemerintah Myanmar. Etnis wa kemudian mengekploitasi kemenangan ini dengan meningkatkan penyeluncupan amphetamine ke Thailand. Perkembangan ini menjadi alasan kuat bagi pemerintah Thailand untuk melancarkan operasi rahasia, di bantu dengan etnis Shan di Myanmar untuk menghancurkan pusat-pusat obat-obatan terlarang. Pemerintah Myanmar membalas serangan tersebut dengan melakukan pembersihan terhadap etns Shan dan menyerang pos militer Thailand di perbatasan. Operasi militer Myanmar ini mendorong terjadinya pengungsian ratusan ribu etnis Shan ke wilayah Myanmar dan Thailand. Perang terbatas antara Thailand dan Myanmar akhirnya terjadi dan berakhir setelah Thailand berhasl memukul mundur pasukan myanmar.

Thailand Pada Masa Thaksin Shinawatra
Pada tahun 1998, Thaksin Shinawatra mendirikan Partai Thai Rak Thai ("Rakyat Thai Mencintai Sesama Rakyat Thai") dan mulai berkampanye melawan tuduhan korupsi politikus Thai lainnya. Selain juga menjadi anggota parlemen pada tahun tersebut. Pada pemilu 6 Januari 2001 yang merupakan pertama berlangsung di bawah konstitusi reformis sejak didengungkan tahun 1997 Partai Thai Rak Thai memenangkan pimpinannya. Ia pun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri pada 9 Februari 2001. Kepopuleran ketokohannya menghantarkannya menerima mandat kedua kali melalui pemilu 6 Februari 2005. Pada pemilu 2005 tersebut, partai yang dipimpinnya meraih 364 dari 500 kursi parlemen. Berbagai kritikan media yang diarahkan kepadanya ditanggapi dengan sangat sensitif.
Perseteruan antara dirinya dan Partai Thai Rak Thai (TRT) dengan tiga partai oposisi besar (Partai Demokrat, Partai Chat Thai, dan Partai Mahashon) bermula dari kekecewaan kaum kelas menengah pada kepemimpinannya yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan. Dimotori antara lain oleh pengusaha penerbitan pers Sondhi Limthongkul yang membentuk aliansi anti-Thaksin bernama Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD). Sejak Desember 2005, mereka menggelar berbagai aksi demonstrasi. Gelombang unjuk rasa di Bangkok makin marak setelah mantan pemimpin Partai Palang Dharma dan mantan Gubernur Bangkok (Chamlong Srimuang) bergabung dan ikut menuntut Thaksin mundur.
Gelombang protes jalanan mencapai puncaknya menyusul terungkapnya kasus penjualan saham perusahaan Shin Corp oleh Phantongtae (anak Thaksin) kepada perusahaan asal Singapura bernama Temasek Holdings, dengan harga 1,9 miliar dollar AS. Dianggap sebagai salah satu aset bangsa bernilai strategis, perusahaan telekomunikasi raksasa milik keluarga Thaksin itu tak seharusnya dikuasai perusahaan asing. Apalagi dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penjualan dari transaksi raksasa yang dilakukan.
Di bawah tekanan berbagai kelompok yang menuntutnya mundur, Thaksin membubarkan majelis rendah (27 Februari 2006) dan memutuskan menyelenggarakan pemilihan umum yang dipercepat pada 2 April 2006. Pemilu yang diselenggarakan tiga tahun lebih cepat dari jadwal sebenarnya ini diyakini bisa membuktikan dukungan mayoritas rakyat terhadapnya, sekaligus membungkam kaum oposisi yang terus menuntutnya mundur. Memang, kemudian ia menang.
Partai TRT berhasil meraih 51 persen suara rakyat pengguna hak pilih. Persoalannya, pemilu ini diboikot ketiga partai oposisi utama yang sama sekali tak mengajukan calon-calon legislatornya untuk duduk dalam parlemen yang baru. Seruan boikot juga menghasilkan sekitar 10 juta suara abstain dan tidak sah, kemudian dimenangi partai Thaksin. Akibatnya, pemilu tak mampu menghasilkan para legislator dalam jumlah yang cukup untuk mengisi seluruh 500 kursi yang ada di parlemen.
Aksi penggembosan oleh partai-partai oposisi membuat di banyak daerah pemilihan para calon legislator (caleg) TRT maju sebagai calon tunggal. Akibatnya, mereka sulit meraih dukungan sampai 20 persen --jumlah suara minimum yang harus diraih seorang caleg tunggal yang maju tanpa pesaing. Sampai akhir penghitungan suara masih ada 38 kursi wakil rakyat yang kosong. Masih ada juga satu kursi lain yang kosong akibat ada caleg tunggal TRT yang didiskulifikasi.
Meski sempat mengklaim memenangi pemilu, Thaksin kemudian menyatakan mundur pada 4 April 2006, sesaat setelah ia beraudensi dengan Raja Bhumibol Adulyadej di Istana Hua Hin. Keputusan mengundurkan diri dilakukan di tengah ancaman PAD untuk melanjutkan aksi-aksi protesnya.
Pemilu yang diulang di 39 daerah pemilihan pada 23 April 2006 bertujuan mengisi kursi parlemen yang masih kosong juga tak membuahkan hasil karena tetap diboikot partai-partai oposisi. Pemerintahan yang baru pun tak bisa dibentuk karena menurut konstitusi, parlemen bisa mulai bersidang memilih perdana menteri dan membentuk pemerintahan baru hanya jika seluruh kursinya terisi.
Thailand makin tenggelam dalam krisis politik dan konstitusional akibat tak berfungsinya parlemen dan kevakuman kepemimpinan nasional. Titik terang mulai terlihat setelah Raja Bhumibol meminta tiga lembaga peradilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung Tata Usaha Negara segera bertindak untuk menyelesaikan krisis. Harapan semakin nyata setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu 2 April 2006 tidak sah dan memerintahkan diselenggerakan pemilu yang baru. Delapan hakim menyatakan pemilu 2 April itu melanggar konstitusi, sedang enam hakim menyatakan sebaliknya. Mahkamah Konstitusi turun tangan setelah Raja Bhumibol Adulyadej menolak campur tangan. Pada 23 Mei 2006, Thaksin kembali menjabat Perdana Menteri setelah posisinya digantikan Wakil Perdana Menteri Chidchai Wannasathit. Langkah ini dinilai membingungkan dan sekaligus berpotensi menciptakan kerusuhan.
Kudeta Militer 2006
Pada malam hari 19 September 2006, ketika Thaksin sedang berada di New York City, AS untuk menghadiri Sidang Umum PBB dan berbicara di depan Dewan Hubungan Luar Negeri, sebuah kudeta dilancarkan oleh militer yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Thailand, Jend. Sonthi Boonyaratkalin dan menguasai ibu kota Bangkok. Di Wisma Pemerintah, sekitar 50 tentara memerintahkan sekitar 220 polisi di kompleks itu untuk meletakkan senjata mereka. Pasukan-pasukan juga mengepung stasiun satelit penerima Thaicom yang stasiun televisi pemerintah, Saluran 11. Pagi harinya, 20 September, tank-tank dan kendaraan-kendaraan militer yang dipersenjatai dengan senapan-senapan mesin ditempatkan di Wisma Pemerintah, Plaza Kerajaan dan satuan-satuan pemerintah di sepanjang Rajdamnoen Avenue.
Laporan-laporan media massa mencatat bahwa pasukan-pasukan yang ikut serta dalam kudeta ini berasal dari Wilayah Militer Pertama dan Ketiga, Komando Operasi Keamanan Dalam Negeri, Pusat Tempur Khusus dan satuan-satuan Militer di provinsi Nakhon Ratchasima dan Prachin Buri serta bagian-bagian dari Angkatan Laut. Menurut pimpinan kudeta, Panglima AD Sonthi Boonyaratkalin, para pemimpin kudeta telah menahan Wakil PM Chitchai Wannasathit dan Menteri Pertahanan Thammarak Isaragura na Ayuthaya. Pasukan-pasukan yang tersisa yang menolak ikut serta dalam kudeta mengambil sikap netral dan tidak melakukan apa-apa untuk menahan kudeta.
Pihak militer, yang menyebut dirinya Dewan Pembaruan Demokratis, mengeluarkan pernyataan, yang menyebutkan bahwa pemerintahan Thaksin telah menghina raja, mencampuri badan-badan pemerintahan, dan menciptakan perpecahan di masyarakat sebagai alasan-alasan kudeta. Dikatakan pula bahwa Raja adalah kepala negara Thailand, dan bahwa pemilu akan segera dilaksanakan untuk memulihkan demokrasi di seluruh negeri. Militer menyebutkan bahwa tindakannya dapat dibenarkan karena korupsi telah merebak dalam pemerintahan Thaksin.
Raja Bhumibol Adulyadej yang sangat dihormati rakyat Thailand, menyatakan dukungannya terhadap Sonthi, dan menunjuknya sebagai ketua Dewan "Demi menciptakan kedamaian di seluruh negeri," demikian diberitakan oleh televisi pemerintah. Selama dua minggu Sonthi akan bertindak sebagai perdana menteri, sampai pemimpin yang baru dipilih oleh Dewan Pembaruan Administratif. Sementara itu diumumkan pula bahwa Thaksin Shinawatra dapat dikenai tuntutan atas tindakan-tindakannya yang melanggar hukum.
Kudeta yang dipimpin Sonthi banyak mendapat kecaman dari sejumlah pemimpin negara lain seperti Presiden George W. Bush dari Amerika Serikat dan kelompok-kelompok pembela hak-hak asasi manusia. Namun, berbeda dengan kudeta militer di masa-masa sebelumnya di Thailand, rakyat Thailand sendiri tampaknya mendukung langkah militer kali ini. Apalagi tindakan Sonthi sendiri didukung oleh Raja
Tekanan dunia internasional terhadap junta militer Thailand meningkat. Bahkan negara adidaya Amerika Serikat menghentikan bantuan militer. Sanksi ini merupakan bahaya dan risiko lain dari kudeta militer tanggal 19 September. Bahaya utama tentu saja proses demokrasi di Thailand terganggu. Penghentian secara sepihak bantuan AS senilai 24 juta dollar merupakan bentuk protes terhadap junta, yang belum menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemerintahan sipil.
Junta berjanji akan menyerahkan kekuasaan kepada sipil dalam tempo dua pekan, tetapi mulai timbul tanda-tanda militer tidak ingin melepaskan kekuasaan. Sekalipun penjabat PM sudah ditunjuk pekan ini, junta menyatakan akan tetap mengendalikan kekuasaan sampai terbentuk pemerintahan baru hasil pemilu.

Daftar Nama Perdana Mentri Thailand Sejak 1991-Sekarang
Anand Panyarachun(periode ke 1)
7 Maret 1991
7 April 1992

Jenderal Suchinda Kraprayoon
7 April 1992
24 Mei 1992

Meechai Ruchuphan
24 Mei 1992
10 Juni 1992

Anand Panyarachun(periode ke 2)
10 Juni 1992
23 September 1992

Chuan Leekpai(periode ke 1)
23 September 1992
13 Juli 1995

Banharn Silpa-Archa
13 Juli 1995
1 Desember 1996

Jenderal Chavalit Yongchaiyudh
1 Desember 1996
9 November 1997

Chuan Leekpai(periode ke 2)
9 November 1997
9 Februari 2001

Thaksin Shinawatra(periode ke 1)
9 Februari 2001
5 April 2006

Chitchai Wannasathit(pejabat sementara)
5 April 2006
23 Mei 2006

Thaksin Shinawatra(periode ke 2)
23 Mei 2006
19 September 2006

Jenderal Surayud Chulanont(pejabat sementara) 1 Oktober 2006
29 Januari 2008

Samak Sundaravej
29 Januari 2008
9 September 2008

Somchai Wongsawat
10 September 2008
2 Desember 2008

Chaovarat Chanweerakul(pejabat sementara)
2 Desember 2008
17 Desember 2008

Abhisit Vejjajiva
17 Desember 2008
sekarang

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..