Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

PEMIKIRAN SOSIALISME SOEKARNO DAN HATTA


Sosialisme di Indonesia
Soekarno
Kapitalisme-imperialisme adalah dua ajaran ataupun paham yang sangat dibenci oleh Soekarno (Bung Karno). Dengan semangat yang dimilikinya Bung Karno mempelajari dan mencari literatur-literatur yang digunakan untuk melawan paham dan ajaran kapitalisme-imperialisme. Setelah banyak menelaah agaknya Bung Karno lebih tertarik dengan ajarannya Karl Marx, dengan demikian Bung Karno telah menemukan alternatif untuk digunakan melawan Kapitalisme-imperialisme. Pada tahun 1920 di Indonesia paham Marxisme mulai berkembang pesat dan meluas, hal ini bisa dibuktikan dengan didirikannya PKI (Partai Komunis Indonesia) di Semarang oleh Semaun dan Darsono. Kemudian di Surabaya yang dipelopori oleh HOS Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam yang berpaham Marxisme. Seperti diketahui sebelumnya Sarekat Islam merupakan organisasi yang berpaham Islam dengan melihat kehadiran PKI yang lebih diterima masyarakat kecil, kemudian HOS Tjokroaminoto bersama Sarekat Islam mengadopsi dan ajaran Marxisme untuk dipadukan dengan ajaran Islam yang kemudian melahirkan sintesa “Islam dan Sosialis” yang lebih diterima oleh masyarakat.
Bung Karno mempunyai pemikiran tersendiri mengenai perpaduan antara paham Marxisme dengan pandangan hidup bangsa Indonesia pada waktu itu. Terpengaruh oleh bapak kos sekaligus Gurunya HOS Tjokroaminoto (1916-1920) Bung Karno memberikan batasan bahwasannya ada persamaan yang mendasar antara sosialisme dalam teori Marxis dan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal gotong royong dan kolektivisme. Dalam artikelnya yang dimuat di majalah Indonesia Moeda tahun 1926 Soekarno sebenarnya telah memantapkan ideologinya untuk menyatukan tiga paham besar pada waktu itu yaitu, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang kemudian menjadi fenomenal ketika Bung Karno menerapkannya dalam pemerintahan Indonesia sewaktu ia menjabat menjadi presiden. Kemudian Bung Karno memanifestasikannya ke dalam “Nasakom”.
Pemikiran Bung Karno ini dilandasi kesadaran akan tragedi negeri jajahan dan saat itu, di Indonesia sudah muncul beberapa pergerakan rakyat yang masing-masing bermuara pada tiga aliran politik; Nasionalis, Islamis dan Marxis. Dengan mempelajari dan mencari hubungan antara ketiga sifat itu, Bung Karno menegaskan bahwa sebenarnya ketiga aliran tersebut di Indonesia memiliki tujuan yang sama. Karena itu, tak ada gunanya mereka berseteru satu sama lain. Bahkan, seharusnya bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat.
Bung Karno memberikan alasan dengan menunjuk bahwa penjajahan yangdilakukan oleh bangsa kolonial menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi bagi kaum pribumi yang menjadikannya sebagai paham nasioanlis. Adapun yang dilakukan oleh bangsa kolonial sebagai penjajah ingin melaksanakan kristenisasi sehingga hal ini menimbulkan perlawanan yang dimotori oleh kelompok Islam yang kemudian lebih intens dengan paham Islamismenya. Di negara penjajahnya sendiri paham kapitalis mendapatkan perlawanan tersendiri yang dilakukan oleh kaum Marxis. Beranjak dari pertikaian yang terjadi di dunia tersebut sudah barang tentu menjadi kewajiban setiap manusia untuk mempersatukan paham/orang-orang yang terus bertikai. Bung Karno mengajak seluruh komponen yang ada ditanah air agar menjauhi percekcokan mengenai perbedaan aliran tersebut untuk kemudian menyatukan kaum Nasionalis, Islamis, dan Marxis agar bersatu dalam perjuangan melawan penjajah. Baru setelah tercapai bersama-sama menciptakan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno kemudian melihat adanya kemungkinan mempersatukan paham ketiganya dengan jalan dapat memuaskan kaum Nasionalis, Islamis, dan Marxisme agar mereka bisa bekerjasama. Dalam kenyataannya Nasionalisme dan Islam lebih sering menjadi aliran politik dan aliran agama yang tertindas seharusnya pula Marxisme di Indonesia harus dapat bersatu dengan Nasionalisme dan Islam. Dan semua itu tidak harus menanggalkan “bajunya” masing-masing.
Rumusan Bung Karno selanjutnya menegaskan bahwa perlu adanya kerangka bersama itu adalah sikap cinta tanah air yang tidak berfikiran sempit, juga bukan chauvinistik, melainkan nasionalis yang sejati yang timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. Baginya, rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat kepada aliran-aliran lain, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Menyikapi hal ini Bung Karno memandang lebih arif mengenai perbedaan yang prinsipil tentang perbedaan pandangan mengenai agama antara kaum Islam dengan komunis, menurutnya perbedaan itu hanya masalah salah pengertian saja. Segala jenis teori harus mengikuti perkembangan jamannya, hal inilah yang menjadikan pijakan bagi Bung Karno untuk terus melakukan pembaharuan. Menurutnya Marx dan Engels sering pula meragukan akan ketepatan suatu teori bila dipakai pada zaman yang berbeda, untuk itulah teori yang ada harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai alat pemersatu Bung Karno menekankan akan pentingnya menjaga saling pengertian dengan tidak saling curiga dan buruk sangka terhadap adanya berbagai aliran yang muncul guna tercapainya suatu tujuan bersama. Konflik yang terjadi antara Marxisme dan agama coba ditengahi oleh Bung Karno dengan pemaparan sintesanya yang memandang konflik tersebut sebenarnya tidak perlu. Disini perlu dibedakan antara “materialisme historis” dan “wijsgerig materialisme” (materialisme filosofis). “Wijsgering materialisme” memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimana hubungan antara pikiran (denken) dan benda (materi); bagaimana pikiran itu terjadi; sedangkan “materialisme historis” memberi jawaban atas soal: sebab apa pikiran itu dalam suatu jaman begitu atau begini. Pendeknya, maksud Bung Karno adalah bahwa materialisme filosofis (wijsgering) menyelidiki kodrat pikiran, sedangkan materialisme historis menyelidiki sebab-sebab perubahan dalam pikiran; materialisme filosofis adalah filosofis; materialisme historis adalah historis.
Di Eropa musuh-musuh Marxisme khususnya kaum gereja sengaja mengacaukan istilah materialisme histioris dengan materialisme filosofis dengan harapan mereka terus eksis dalam masyarakat eropa yang terus menerima paham-paham baru. Bung Karno memandang pemicu konflik antara kaum Islam dan Marxisme hampir sama dengan yang terjadi di Eropa. Dalam propagandanya anti Marxisme mereka tidak henti-hentinya menuduh bahwa kaum Marxisme itu adalah kaum yang mempelajari pikiran itu hanyalah suatu keluaran saja dari otak, kemudian mereka menuduh bahwa kaum Marxis menyembah benda sebagai tuhannya yaitu dengan menyebut materi itulah tuhannya kaum Marxis. Dari sinilah permulaan ketidaksukaan kaum Marxis kepada kaum agama di Eropa. Bertambahlah kebencian kaum Marxis tatkala mereka mengetahui kaum gereja melindungi kapitalisme dengan menggunakan simbol-simbol agamanya untuk membela kalangan “borjuis” yang digunakan sebagai politik reaksioner.
Pemikiran Bung Karno yang menyamakan kaum Islam di Indonesia dengan kaum Kristen di Eropa merupakan pemahaman yang keliru karena Islam di Indonesia merupakan agama kaum yang belum merdeka sehingga tidak mendukung atau bekerjasama dengan kaum kapitalisme. Bahkan Islam di Indonesia berjuang melawan kapitalisme sehingga memuluskan jalan rekonsiliasi antara kaum Islam dan kaum Marxisme yang menurut Bung Karno, bila perbedaan itu segera dikikis bukan tidak mungkin seluruhnnya bisa menjadi satu dan saling mendukung.
Pemikiran Soekarno yang demikian tersebut membuat dirinya dianggap sebagai penganut paham multiisme. Dikatakan demikian karena Bung Karno dikatakan sebagai penganut paham nasionalis pada hal Bung Karno tidak setuju dengan apa yang disebutnnya nasionalis, disebut Islam tetapi dia mengeluarkan paham-paham yang tidak sesuai dengan pahamnya banyak orang Islam, dan jika disebut Marxisme Bung Karno melaksanakan shalat, sedangkan jika disebut bukan Marxis dia “gila” kepada Marxisme itu.
Adanya penjajahan membuat para tokoh bangsa yang anti kapitalisme dan Imperialisme bersama- sama mencari pemecahan dengan menggunakan teori Marxisme Karl Marx. Teori tersebut membuat Bung Karno dapat menemukan sumber kemiskinan dan cara memberantas kemiskinan itu. Marx juga memberi petunjuk mengenai cara mengorganisir dan menggerakan rakyat miskin, lapar dan bertindak serta memberi petunjuk mengenai aksi politik. Sebab itu, teori Marx dianggap yang paling ideal melawan kapitalisme dan Imperialisme, kemiskinan dan kesengsaraan Hal ini pun diakui bung Karno sendiri, ketika ia menulis artikel dari tempat pembuangannya di Bengkulu tepatnya seperti yang ia tulis dalam surat kabar pemandangan tahun 1941:
Sejak saya menjadi anak pelonco buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnya seorang guru HBS yang berhaluan Sosial-Demokrat (C. Hartogh namanya), sampai memahami sendiri teori itu dengan membaca buku-buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja aktif didalam politik, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, dan soal-soal kemasyarakatan.

Sikap kritis Bung Karno akhirnya muncul dengan mengatakan bahwa teori Marxisme tidak sepenuhnya 100% bisa cocok diterapkan di Indonesia. Teori Marxisme bersandar pada perlawanan kelas proletar (buruh) yang terjadi pada era Industri yang sudah maju dimana terdapat kesenjangan sosial antara kaum borjuis sebagai pemilik modal kaum buruh sebagai alat produksi. Bung Karno memandang kaum miskin di Indonesia tidak hanya buruh tetapi hampir semua golongan termasuk dirinya. Bahkan, ada golongan yang memiliki alat produksi tetapi tetap melarat, dan inilah yang ditemukannya dari petani marhaen.
Marhaenisme yang dicita-citakan oleh Soekarno tidak mengenal perjuangan lapisan kelas-kelas bangsa-bangsa sendiri karena mereka menjadi miskin yang disebabkan oleh adanya kolonialisme, Imperialisme, dan kapitalisme yang ada di Indonesia adalah perjuangan melawan sistem kolonial Belanda dengan jalan membuat persatuan nasional. Mengenai pengertian marhaenisme Bung Karno menegaskan bahwasannya marhaensisme merupakan Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia “is het in Indonesia toegepaste Marxisme ” sedangkan azas Marhaenisme adalah sosio-demokrasi dan sosio-Nasionalisme.
Adanya perlakuan yang kaku dan bersifat dogmatis terhadap paham Marxisme-Komunisme layaknya Agama membuat paham tidak mengenal batas kebangsaan dan selalu berkiblat ke komunis Internasional (Uni Sovyet). Dengan kata lain kaum komunis di negara lain harus tunduk pada kiblatnya termasuk PKI. Padahal karl Marx sendiri berkata “kalau demikian dogmatis yang diartikan Marxisme, maka saya sendiri bukan Marxis”.
Bung Karno tidak bisa menerima paham yang diinternasionalisasikan dengan jalan nasionalisme, dengan alasan paham-paham yang diberlakukan disetiap negara harus disesuaikan dengan kultur dan kondisi negara tersebut. Tidak bisa misalnya Marxisme dan komunisme Internasional itu dipindahkan secara mutlak ke Indonesia.
Bung Karno kemudian membuka jalan agar Marxisme itu cocok diterapkan di Indonesia yakni sosialisme ala’ Indonesia. Sosialisme Indonesia bukan sosialisme ala Moskow, bukan sosialisme ala’ Yugoslavia dan bukan pula religious socialis menurut ajaran suatu agama tertentu, tetapi sistem sosialisme hendaknya harus berdasarkan pada ajaran pancasila.
Sosialisme ala’ Indonesia bertumpu pada keadilan sosial, yaitu suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Sosialisme berarti adanya industrialisme yang kolektif, adanya produksi yang kolektif, adanya distribusi yang kolektif. Semangat gotong royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup sosialistis. Sosialisme adalah kecukupan berbagai kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektivisasikan. Sosialisme adalah “keenakan hidup yang pantas”.
Bung Karno menegaskan bahwa pasal 33, UUD’45 tidak benar jika dikatakan undang-undang sosialis dan bukalah burgerlijk (borjuis-pen).yang benar undang-undang tersebut harus berada ditengah-tengah kapitalisme dan sosialisme. Jadi Undang-undang yang statis (dinamis) yaitu bergerak menuju susunan baru.
Sosialisme yang ada di Indonesia diselenggarakan dengan cara demokrasi terpimpin yang tidak lepas dari pancasila. Demokrasi terpimpin tidak bersifat diktator namun pelaksanaannya saja yang terikat dengan sebuah blue print yang dibuat oleh dewan perancang nasional.

Bung Hatta
Dalam menyikapi pasal 33 UUD’45 Bung Hatta sebagai seorang sosialis mengajak H. Agus Salim dari Sarekat Islam dan HOS Tjokroaminoto untuk membawa sosialisme yang berhaluan Islam. Bung Hatta menentang paham profit oriented tetapi Bung Hatta mencoba mensejajarkan manusia sebagai makhluk tuhan agar memperoleh perlakukan yang sama dari negara dengan tidak menindas salah satu golongan oleh golongan yang lain.
Bung Hatta memberikan pemahaman mengenai sosialisme yang berkaca dari kehidupan didesa yang berupa gotong royong dan azas kekeluargaan yang merupakan kesinambungan dari kolektivisme yang beraturan. Pada intinya Bung Hatta menginginkan tidak adanya pemimpin yang besar yang tidak tekontrol untuk melaksanakan segala keinginannya, sebaliknya beliau menginginkan azas kekeluargaan yang dan mufakat untuk tidak mencari permusuhan tetapi menggali kebenaran bersama.
Sosialisme yang dianut bung hatta tidak lepas juga dari pengaruh Barat, karena Ia memang menempuh studinya dii Belanda sehingga sedikit banyak terpengaruh. Ia banyak menimba ilmu dari Fabian Society (Inggris) yang merupakan laboratorium yang mengolah masalah-masalah kemasyarakatan. Salah satu pengaruh yang menonjol dalam diri Hatta adalah koperasi yang diterapkannya di Indonesia yang merupakan hasil belajarnya selama di scandinavia. Dengan koperasi rupanya Hatta ada kecocokam untuk diterapkan di Indonesia, yang merupakan paham sosialis versinya.
Pada 1961 Bung Hatta mulai menerapkan sosialisme ala’ Indonesia dengan tidak melepsakan prinsip-prisip yang melarang adanya penindasan terhadap suatu golongan baik secara ekonomi maupun fisik.
Sosialisme Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) aliran; dari Barat berupa Marxisme atau sosialisme demokrasi, dari Islam, dan dari dasar hidup asli bangsa Indonesia yang berbentuk kolektivisme. Persamaan yang ada pada diri Bung Hatta dan Bung Karno dalam memandang tumbuhnya sosialisme tidak lepas dari adanya cita-cita bersama untuk melawan kolonialisme dan kapitalisme-imperialisme untuk mencapai kemerdekaan bersama.
Adanya Revolusi Perancis menambah semangat pemuda di Indonesia untuk semakin giat melawa kolonialisme, kapitalisme-imperialisme. Padahal jika dilihat dan dimengerti adanya revolusi perancis tidak sesuai dengan yang diinginkan karena hasilnya, perekonomian masih dipegang oleh kaum kapitalis. Yang berarti tidak ada persaudaraan dan persamaan sehingga Bung Hatta menganut paham baru yang lebih dekat kepada literatur sosialis. Dengan menyatakan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikelola oleh badan-badan yang pro-masyarakat.
Sosialisme yang dicita-citakan oleh Bung Hatta tidak mengenal kelas, strata dan yang lainnya tetapi lebih mengedepankan persamaan hak dan kewajiban dalam mendapatkan dan memberikan perhatian bagi kelompoknya. Berlaku juga rasa saling memiliki untuk sama rasa sama rata dengan tidak mempertentangkan kelas sosial dan yang lainnya.
Karl Marx memberikan keterangan ilmiah bahwa sosialisme akan timbul dengan sendirinya sebagai akibat dari pertentangan masyarakat yang dikuasai oleh pertentangan kepentingan didalamnya. Dengan adanya paham ini membuat kaum muda Indonesia yang berkeinginan mengetahui dan mempelajari paham ini namun hanya segelintir orang saja yang telah mempelajarinya sebagaian lagi belajar dari paham yang lain karena mudah dalam mendapatkan buku dan materinya. Bung Hatta tidak sepenuhnya sepakat dengan ajaran Marx terutama ajaran yang membenci kapitalisme walupun hal ini ditolak oleh Marx dengan menyatakan kapitalisme adalah ibu dari sosialisme, sehingga tidak mungkin seorang anak yang dicita-citakan kehadirannya membenci ibunya demikian juga sebaliknya.
Bung Hatta juga menolak ide pemersatuan golongan dalam pengertian politik yang dilakukan oleh Bung Karno. Bung Hatta memandang persatuan hanya bisa bertahan jika dilakukan dengan menggunakan golongan kelas dengan pengertian ekonomi. Di Indonesia dibagi menjadi beberapa kelas yaitu kelas kapitalisme besar, menengah, dan marhaen.
Dalam artikelnya “soal ekonomi dalam persatuan Indonesia” yang dikeluarkan oleh media Daulat Rakyat pada 10 Desember 1932 Bung Hatta mencurahkan gagasannya mengenai ide pemersatuan dalam bidang ekonomi. Dalam kenyataanya Bung Hatta dan Bung Karno tidak pernah mencapai kata temu karena cara pandang keduanya dalam ide persatuan Indonesia menggunakan kacamata yang berbeda.
Karl Marx membagi tahapan perkembangan masyarakat menjadi feodalisme, kapitalisme, sampai ke sosialisme sesuai dengan pandangan ilmiah. Bung Hatta memandang pertentangan yang terjadi antar kapitalisme dan buruh sebagai pertentangan yang tidak permanen. Terjadinya proletariat bisa merobohkan kapitalisme, dengan demikian kemenangan berpihak pada proletariat yang menyebabkan pertentangan telah berhenti yang kemudian melahirkan masyarakat yang tidak berkelas yaitu sosialisme. Keputusan-keputusan dan hasil-hasil produksi yang ada diperuntukkan sebagai milik bersama dan dinikmati oleh orang banyak yang dikelola oleh badan-badan masyarakat.
Dalam teorinya Marx mengenai material historis masyarakat tidak akan jatuh sebelum segala faktor produksi berkembang sepenuhnya hingga akhirnya bertentangan. Pertentangan tersebut menyebabkan lahirnya revolusi sosial yang menghasilkan masyarakat baru yang feodal, Dimana kaum borjuis merajalela dan melahirkan kembali kapitalisme. Demikian juga proletariat muncul sebagai efek dari adanya kapitalis memacu timbulnya gerakan yang membentuk masyarakat sosialis yang diinginkan.
Karl Marx tidak memberikan gambaran yang jelas akan lahirnya masyarakat sosialis yang diinginkan, sedangkan Bung Hatta menginginkan sosialisme di indonesia dibangun dengan melihat fakta-fakta yang ditemui dan keadaan didalam masyarakat Indonesia sendiri. Menurut Engels faktor sejarah, keadaan bangsa, adat istiadat, kepercayaan agama semuanya ikut menentukan corak masyarakat, tetapi pada akhirnya faktor ekonomilah yang menentukan perubahan masyarakat.
Bung Hatta tidak sependapat dengan ajarannya Marx, karena hanya dipahami oleh kaum elit saja yang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Ajaran Marx hanya menimbulkan pertentangan antar bangsa Indonesia dan Belanda, sehingga menimbulkan corak tersendiri dengan adanya nasionalismenya. Dalam mengaitkan dengan masalah agama Marx tidak sependapat dengan Bung Hatta. Menurut Bung Hatta ide penyatuan Islam seperti yang ada dalam Nasakom dan yang lainnya tidak bisa berjalan. Marx lebih sepakat dengan Bung Karno dalam hal penyatuan tersebut. Menurut Marx agama merupakan candu bagi rakyat “Das Opium Des Volks”, sedangkan Bung Hatta menolak keras teori Marx mengenai materialisme dialiektik yang menolak segala yang ghaib, menentang segala yang bersifat idealisme dan kepercayaan terhadap tuhan.
Bung Hatta menolak orang-orang komunis duduk di pemerintahan dengan alasan negara ini adalah negara Pancasila “tidak bisa diperintah oleh orang yang tidak bertuhan”. Sosialisme yang religius ada pada agama Islam dan Kristen demikian Hatta melanjutkan. Sosialisme dalam agama Islam menurut Bung Hatta yaitu dengan menanamkan persamaan, persaudaraan, dan kemanusiaan yang berperikeadilan serta kerjasama dalam tolong-menolong.
Secara ilmiah Marx menjabarkan bahwa masyarakat sosialisme itu akan lahir dengan sendirinya sebagai hasil perkembangan masyarakat dalam pertentangan sosial, sementara para pemimpin sosialisme Islam merasakan sebagai tuntutan jiwanya yang mengabdi pada tuhan, bahwa mencapai sosialisme didalam mayarakat adalah kewajiban hidupnya, suruhan yang maha kuasa yang tidak dapat diingkarinya.
Sosialisme di Indonesia yang asli adalah kolektivisme masyarakat desa, misalnya tanah bukanlah milik orang-perorangan melainkan kepunyaan desa. Orang-seorang hanya memiliki hak pakai, berdasarkan hak milik bersama atas tanah sebagai alat produksi yang terutama dalam masyarakat agraris setiap orang yang menggunakan tenaga ekonominya harus mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat desa. Semangat kolektivisme dilakukan secara bersama-sama dengan tanggung jawab pekerjaan ada pada semua orang. Seperti dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari adanya kegotongroyongan dalam membangun rumah, mengantar jenazah, dll, sehingga batasan antara hukum publik dan hukum prive tersamarkan.
Adanya semangat solidaritas yang memupuk landasan yang baik untuk membangun koperasi ekonomi sebagai sendi perekonomian masyarakat. Desa merupakan kiblat demokrasi asli Indonesia yaitu kolektivisme yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dengan usaha gotong royong yang merupakan pendukungnya.

2 komentar:

  1. Mereka memang sosialis tetapi mereka belum paham betul arti sosialis sejati.
    Salam santun.

    ReplyDelete
  2. Sosialisme Soekarno dan Hatta masih dangkal.
    Makanya ajaran sosialis di Indonesia belum berkembang....
    Salam...

    ReplyDelete

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..