Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

POLITIK ETIS


PENDAHULUAN
Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial Belanda memiliki tujuan baru, eksploitasi terhadap Hindia Belanda mulai kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa ini. Kebijakan tersebut dinamakan ‘Politik Etis’, masa di mana kebijakan ini muncul melahirkan perubahan-perubahan yang cukup mendasar di lingkungan penjajahan sehingga orang kurang memahami sejarah Indonesia pada awal abad ke-20.
Latar belakang Politik Etis dimulai setelah terjadinya kesulitan keuangan pemerintah Belanda akibat perang Diponegoro (1825-1830) dan perang antara Belanda dengan Belgia (1830-1839). Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja Belanda menerima rencana yang dajukan oleh Van Den Bosch dimana pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi kolonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa sebagai cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan maksimal, yang kemudian dikenal sebagai cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang memaksa penduduk Jawa untuk menghasilkan tanaman untuk pasaran Eropa. Sistem eksploitasi kolosal ini harus memperkerjakan sejumlah besar orang Bumiputera sebagai pegawai rendahan yang murah untuk menjaga agar perkebunan pemerintah berjalan lancar. Untuk tujuan ini pada tahun 1848 untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial diberikan 25.000 Gulden untuk pendirian sekolah bagi anak Bumiputera. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan kolonial Belanda mulai dilontarkan dalam novel Max Havelar (1860) dan dalam berbagai pengungkapan lainnya mulai membawa hasil. Semakin banyak suara belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Hindia Belanda yang tertindas. Pada 1887, Brooshooft melakukan perjalanan berkeliling Pulau Jawa dan terkejut melihat kondisi kehidupan kaum pribumi. Ia kemudian menyampaikan imbauan kepada 12 tokoh terkemuka di Belanda untuk memahami dan memerhatikan ”keadaan yang sangat menyedihkan di Hinda Belanda, yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Den Haag”.
Selanjutnya pada tahun 1899 barulah secara resmi muncul ide Politik Etis dengan terbitnya sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids. Van Deventer menganjurkan program yang ambisius untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Ia ingin memperbaiki irigasi, transmigrasi dan pendidikan. Pendidikan dan emansipasi itulah yang menjadi inti Politik Etis. Akhirnya politik etis memperoleh sukses berkat keuntungan yang diberikannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan-perusahaan besar yang berkembang pesat dengan dibiayai modal besar. Politik Etis hanya dapat berhasil setelah keberhasilan bank-bank dalam ekspansi teritorial dan penanaman modal. Pemerintah maupun perkebunan yang baru diduduki sangat memerlukan pegawai yang terdidik dan politik etis serasi dengan tujuan itu. Para importer sangat berkepentingan tentang adanya masyarakat terdidik yang mempunyai daya beli yang kuat.

Perencanaan Politik Etis
Pemilihan umum tahun 1901 mengubah gambaran politik di negeri Belanda. Partai Liberal yang menguasai politik selama lima puluh tahun telah keluar dari kekuatan politik, sibuk dengan kitab tuntutan (Partai Liberal memegang proyek sosial) dan dengan agama (pada pertengahan terakhir abad ke-19 telah ditekankan pendirian netral dalam agama), telah membuat kelompok kanan dan kelompok agama berkualisi, yang menetapkan kembali kepada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. Pidato tahunan kerajaan bulan September 1901 telah menunjukan semangat Kristen ketika Ratu berkata tentang suatu “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda”. Pada tahun inilah Ratu Wilhelmina mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan dengan demikian kebijakan baru pemereintah kolonial yaitu politik etis disahkan. Nafas kehidupan telah dihembuskan ke dalam usaha negara induk untuk menjalankan kebijakan baru itu, ketika dalam bulan Septembter 1902 A.W.F Indenburg memulai pos Menteri urusan jajahan yang telah kosong selama meninggalnya T.A.J. van Asch Wijk, Indenburg seorang opsir militer yang baru saja kembali ke timur, menunjukan dirinya sebagai seorang yang tangguh dari partai Kristen, tetapi telah mengambil sikap yang moderat terhadap perluasan usaha misi di tanah jajahan ini. dalam menjalankan tugasnya Idenburg mendapatkan masalah dengan adanya kegagalan musim panen dan bahaya kelaparan di berbagai wilayah di Jawa yang dibutuhkan tindakan seceptanya. Usaha penanggulangan secepatnya telah dilakukan, namun Idenburg mulai kembali memikirkan bagaimana cara agar musibah itu tidak terjadi kembali.
Idenburg mengatakan bahwa :
Selama 25 tahun terakhir ini penduduk jawa telah bertambah 45%, sedangkan tanah sawah hanya bertambah 23% (produktivitas 28%). Jadi penghasilan rata-rata perorang menurun. Jumlah petani yang tidak memiliki tanah bertambah. jumlah penduduk yang mencari nafkah di lapangan usaha lain bertamabah, tetapi pendapatan rata-rata merreka menurun. Semua kenyataan ini membenarkan kesimpulan . bahwa Jawa berada dalam keadaan transisi, dari suatu masyarakat yang benar-benar agraris ke suatu masyarakat di mana industri maju ke depan berdampingan dengan pertanian.
Dan apabila seorang memandang bahwa kenyataan-kenyataan ini sebagai sebab umum, maka sudah jelas arah yang dituju adalah untuk suatu perbaikan. Sebagai suatu cara pengarahan yang pertama diusahakan untuk mencoba mengembangkan industri demi kepentingan kelompok pribumi.
Usaha kedua ini adalah memperbesar penghasilan pertanian pada umumnya, yaitu menambah dan memperbaiki sistem irigasi. Perhatian saya tertuju pada jumlah yang sedikit yang telah dikeluarkan untuk maskud ini selama10 tahun belakangan. Selanjutnya harus ada penanaman secara intensif dan potongan pada bunga pinjaman untuk pertanian. Dimana kelebihan penduduk merupakan masalah utama sekaligus perlu pemikiran untuk transmigrasi.
Perjalanan politik etis dimulai dengan adanya pengambil alihan hutang kepada pihak kolonial Belanda yang mencapai sekitar 40 juta gulden, sehingga daerah Batavia dapat meningkatkan pengeluaran tanpa harus dibebani oleh hutang.

Politik Etis dan Pendidikan
Memasuki abad ke-20 resesi ekonomi masih melanda kolonial Belanda, namun perekonomian liberal dan administrasi penjajahan Hindia Belanda makin meluas, sebaliknya kesejahteraan Bumiputera, khusunya di Jawa, dinyatakan merosot dan untuk mengatasinya dibentuk komisi pada tanggal 15 oktober 1902 (Mindere Welvaart Comminise). Pada abad ini pula terjadi pergeseran pendidikan yang bersifat ke barat. Lajunya pergeseran pendidikan Bumiputera ke sifat barat makin didorong dengan munculnya beberapa tokoh liberal pembaharu, teutama Mr J.H Abendanon menjabat direktur pendidikan agama dan industri (1900-1905). Abendanon mendukung pendekatan pendidikan yang bersifat elite, menginginkan pendidikan yang lebih maju bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elite Hindia Belanda yang dipengaruhi Barat, yang dapat mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintahan yang berkebangsaan Belanda. Dengan demikian akan menciptakan suatu elite yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil angggaran belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme islam dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai masyarakat Hindia Belanda golongan bawah. Abendanon membentuk banyak pusat kursus bahasa belanda untuk membantu sekolah kelas satu maupun sekolah dasar Eropa (ELS). Belum lama bertugas Abendanon telah berhasil mengurangi uang sekolah bagi murid Bumiputra yang berminat belajar di ELS. Lewat sekolah ini ia merancang pendidikan calon ibu yang baik bagi gadis Jawa. Salah seorang muridnya yaitu R.A Kartiniyang masuk di Sekolah dasar Eropa di Jepara. R.A. KArtini memasuki sekolah rendah Eropa di saat kebanyakan Bupati berpandangan bahwa gagasan mengenai pendidikan bagi kaum wanita sama sekali tidak dapat diterima. Cita-cita pendidikan kaum wanita yang didambakan oleh R.A Kartini dan Abendanon tersebut tidak pernah prioritas pemerintah, terutama karena pengaruh bupati-bupati yang konservatif dan pejabat-pejabat kolonial yang skeptis. Namun padangan Kartini untuk mendirikan sekolah bagi kaum wanita diterima oleh organisassi-organisasi non pemerintah, yang akhirnya didirikan sekolah-sekolah bagi wanita dengan mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial.
Pada tahun 1904-1909 Gubernur Jenderal dijabat oleh van Heutz dan Dirk Fock menjabat sebagai Menteri Urusan Daerah Jajahan di negeri Belanda, gagasan mengenai pendidikan bagi rakyat memperoleh lebih banyak dukungan. Jenderal van Heutz mendukung pendirian sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa lokal untuk menimbulkan kebersatuan dalam kehidupan dan dapat membantu golongan kelas rendah. Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan demgan program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.

Politik Etis dan Kebijakan Kesehatan
Politik etis mulai diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Menurut Boeke kebijakan ini merupakan murni kebijakan untuk mengembangkan ekonomi masa dikalangan penduduk Indonesia. Sementara Furnivall melihat bahwa politik etis mempunyai dua bidang tujuan yaitu dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam bidang ekonomi kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan perkembangan perusahaan orang-orang Barat sehingga mampu menyediakan dana bagi kesejahteraan penduduk di Hindia Belanda, sedangkan dalam bidang sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial terutama pada penduduk di pedesaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa politik etis lebih besar kaitannya dengan kebijakan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itulah diantara kalangan sejarawan terdapat perdebatan mengenai hubungan antara kewajiban moral (moral obligation) dan kepentingan ekonomi (economic interest) dalam konsep yang terkandung dalam politik etis.
Menurut pandangan Furnivall kegagalan kebijakan politik liberal, pada kurun waktu 1870-1900 dalam menciptakan kemakmuran bagi penduduk pribumi telah menciptakan sebuah ”kecenderungan kolonial baru”. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa pembangunan mesin politik baru yang menyangkut kekayaan material dan kesejahteraan manusia jauh melampaui kebijakan liberal negatif yang lama untukmenyingkirkan hambatan menuju kemajuan dan peningkatan ke arah kebijakan yang konstruktif. Pada awal abad ke-20 ”kecenderungan kolonial baru” itu diekspresikan dalam politik etis yang bertujuan untuk meningkatkan standar kesejahteraan masyarakat pribumi. Tidak jauh dari pandangan Boeke, V.J.H. Houben berpendapat bahwa penerapan politik etis merupakan sebuah era eksploitasi asing yang ditransformasikan pada sebuah periode kebijakan pembagian ekonomi yang lebih besar kepada penduduk pribumi. Politik etis yang dipahami dalam tulisan ini cenderung berpedoman pada pendapat Furnivall di atas bahwa selain terdapat motif ekonomi, politik etis juga mempunyai tujuan dibidang sosial. Oleh karena itulah hampir semua tulisan yang mengkaji mengenai politik etis selalu menghubungkannya dengan kebijakan peningkatan kesejahteraan penduduk pribumi terutama di Jawa dalam arti yang luas.
Dampak politik etis terhadap bidang ekonomi telah banyak dilakukan oleh sejarawan baik dalam maupun luar negeri, namun dalam bidang kesehatan masyarakat belum banyak sejarawan yang mengkajinya. Furnivall dan juga Boomgaard dengan jelas mengakui bahwa terdapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah kolonial Belanda terhadap kondisi kesehatan masyarakat, khususnya di Jawa, mulai awal abad ke-20. Kasus-kasus epidemi penyakit menular mematikan seperti Kolera dan Malaria yang terjadi dihampir semua wilayah di Pulau Jawa jelas mengindikasikan bahwa terdapat hal yang salah dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Mungkin atas dasar itu Furnivall menyatakan bahwa perhatian terhadap kesehatan masyarakat tersebut merupakan salah satu dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi. Robert Cribb juga menyatakan bahwa salah satu upaya dalam rangka menyalurkan bantuan sejumlah 30 juta gulden dari pemerintah Belanda itu adalah untuk memperbaiki masalah-masalah kesehatan masyarakat khususnya di Jawa. Tingginya angka kematian bayi, yang berarti rendahnya kesempatan untuk hidup bagi bayi, merupakan masalah yang serius dalam hubungannya dengan pertumbuhan penduduk pada waktu itu. Untuk menindaklanjuti hal itu pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan beberapa perubahan pada kebijakannya dalam bidang kesehatan.
Pada awal decade abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi struktur lembaga kesehatan di Hindia Belanda. Bahkan lebih dari itu dalam konteks ini dipertegas lagi dengan melakukan pemisahan antara institusi kesehatan yang mengurusi kesehatan kalangan militer dengan masyarakat umum. Kebijakan ini sangat penting untuk dilakukan karena metode dan tujuan dari kebijakan kesehatan sangat berbeda. Kebijakan kesehatan yang juga berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan penduduk adalah dengan menambah personel kesehatan baik yang terlibat dalam upaya preventif maupun dalam tindakan kuratif. Menurut Boomgaard, paling tidak terdapat dua kebijakan kesejahteraan yang mempunyai dampak besar bagi tingkat kualitas kesehatan penduduk Jawa pada masa itu.
Pertama, menjelang tahun 1930-an, kebijakan peningkatan kesejahteraan telah didesain dengan pendekatan yang sinergis untuk sejumlah permasalahan sekaligus. Maksudnya satu kebijakan mempunyai beberapa sasaran kesejahteraan sekaligus, misalnya mengenai proyek pembangunan irigasi yang mempunyai dampak positif baik bagi sektor pertanian maupun dalam sektor kesehatan masyarakat. Hal tersebut biasa terjadi karena dengan pembangunan saluran irigasi yang baik di satu sisi akan meningkatkan produksi pertanian sementara pada satu sisi lainnya dapat mengendalikan pengembangbiakan larva nyamuk yang menyebabkan penyakit malaria.
Kedua, bahwa solusi kekurangan dana telah dapat diselesaikan dengan penggunaan teknologi modern pada awal abad ke-20. Beberapa percobaan yang dilakukan pada masa itu dengan obat-obatan yang digunakan untuk tanaman dan hama sawah (tikus) secara tidak langsung telah membantu menjaga kesehatan manusia. Sesudah perang dunia I, DDT sering digunakan dalam keperluan di atas.
Tindakan lain yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum awal abad ke-20 adalah kebijakan mengenai propaganda kesehatan terhadap masyarakat secara langsung. Masyarakat Jawa pada masa ini untuk pertama kalinya secara massal mulai diperkenalkan mengenai permasalahan-permasalahan kesehatan, baik berupa bagaimana cara hidup sehat maupun mengenai penanggulangan beberapa penyakit. Kebijakan yang mempunyai dampak yang sangat besar bagi perluasan pelayanan kesehatan adalah pemberian subsidi kesehatan kepada rumah sakit - rumah sakit yang ada di Hindia Belanda. Tujuan kebijakan ini agar pelayanan kesehatan tidak hanya dinikmati oleh golongan tertentu, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, namun juga bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat yang membutuhkan pelayanan ini.

Penutup
Pada awal abad ke-20 ini, terdapat beberapa ideologi yang mempengaruhi politik kolonial Belanda. Di samping melaksanakan hukum dan ketertiban, kekuasaan kolonial juga wajib meningkatkan kemakmuran dan kemajuan rakyat. Orientasi ini terkenal dengan bermacam-macam nama seperti politik etis, politik kemakmuran, atau politik asosiasi. Namun yang jelas motif ekonomi dibalik politik kolonial Belanda tetap lebih kuat dibandingkan dengan ideologi-ideologi yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu walaupun pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan kewajiban moral atau martabat nasional turut memainkan peran, tetapi pada umumnya kepentingan ekonomilah yang menguasainya. Selain itu prinsip diskriminasi ras tetap dipertahankan oleh mereka dengan segala daya upaya sebab jika tidak seluruh struktur kolonial akan menjadi berantakan. Kaum kapitalis yang pada awal abad ke-20 semakin menguasai perekonomian di Hindia Belanda dengan memperluas usaha dibidang perkebunan dan pertambangan tentu saja menginginkan jaminan keamanan modal mereka.
Jika dianalisa lebih mendalam sebenarnya pendidikan bagi masyarakat di Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dari politik kolonial yang sedang berjalan pada saat itu. Sementara itu politik kolonial yang diterapkan di Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dari apa yang sedang terjadi pada parlemen dan pemerintahan di negeri Belanda.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..