Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

PERLAWANAN KOLONIALISME DI SUMATERA BARAT


Perang melawan kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari pertentangan antara dua pihak dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan Padri yang mulai pada awal abad ke-19. Tu-juannya adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, mem-basmi adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah Nabi.
Ketika orang-orang Minangkabau mulai memeluk agama Islam pada pertengahan abad ke-16, terdapat dua cara hidup yang berdampingan secara damai: adat lama dan Syara' Islam sama-sama dihormati. Keduanya mendapat tempat dalam masyarakat Mi¬nangkabau, sampai-sampaJ timbul pepatah yang mengatakan: "Adat basandi Syara, Syara basandi Adat". Golongan Adat dan golongan Syara bekerja sama dan meleng-kapi satu sama lain. Tetapi pada masa selanjutnya kerja sama ini ternyata tidak abadi, keadaan menjadi berubah.
Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berke-dudukan di Pagaruyung. Raja dibantu oleh empat orang pem-bantu yang disebut Bata Ampek Balai. Mereka adalah Indomo di Suruaso, Titan dan Sungai Tarab, Mangkudum di Sumajuk dan Kadi di Padang Ganting.44 Raja tetap dihormati sebagai lambang negara Minangkabau, akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan. Penduduk Minangkabau terdiri dari dua belas suku yang berbeda-beda namanya dan mereka berdiam secara menyebar di seluruh negara. Tiap suku dipimpin oleh seorang penghulu, sedangkan ra¬ja dan para pembantunya tidak termasuk dalam salah satu sukupun, tetapi berada di luar suku. Pada hakekatnya kekuasaan terletak ditangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Raja, bangsawan dan para penghulu inilah yang menjalankan peranan penting dalam pemerintahan adat. Perkembangan yang kemudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, setfang para pembesar tak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan-kebiasaan buruk, yaitu menyabung ayam, madat, berjudi dan minum minuman keras. Kebiasaan ini makin meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya. Andaikata akan diadakan acara menyabung ayam, mereka datang berduyun-duyun dari berbagai tempat.
Menghadapi keadaan ini kaurn ulama atau Padri mulai meng-adakan reaksi, sehingga gerakannya lalu dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni. Sejak itu timbul bibit-bibit pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat.
Pada akhir abad ke-18, seorang ulama dari kampung Kota Tua (daerah Cangking, Empat Angkat) di Daratan Agam, yaitu Tuanku Kota Tua, mulai mengajarkan pembaharuan-pembaharu-an.45 Beliau mengajarkan bahwa masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang rnurni, kemudian ditunjuk-kannya bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al Qur'an dan Sunah Nabi.
Di antara murid Tuanku Kota Tua, adalah Tuanku nan Renceh dari kampung Bansa di Kamang. Ulama ini terkenal sangat taat dan pintar serta terkenal sebagai guru agama di seluruh Luhak Agam.
Sementara itu, pada tahun 1803 telah kembali dari Mekah tiga orang haji, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan (VIII) Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. Ketiga ulama ini menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Mekah meluruskan agama dan membasmi bid'ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula agama di negerinya, Minangkabau.
Dengan tujuan ini mereka mulai mengajar di kampung-kampung. Pada suatu ketika dengan bantuan seorang penghulu, Kuncir gelar Datuk Batuah, Haji Miskin melarang penduduk Pan¬dai Sikat menyabung ayam. Larangan ini tidak diperhatikan oleh penduduk. Haji Miskin menjadi kesal dan pada suatu malam dibakarnya balai tempat menyabung ayam. Kaum Adat marah, dan Haji Miskin dikejar-kejar dan berhasil menyingkir ke Kota Lawas; di sini ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Tuanku Mensiangan segera dapal dipengaruhi oleh Haji Miskin dan bertekad akan membantunya. Kaum Adat semakin marah, beberapa hari kemudian di dekat Balai Panjang, pasar Kota Lawas, terjadi perkelahian antara kaum adat dengan beberapa orang yang menaruh simpati pa-da Haji Miskin. Akibat-nya Haji Miskin menuju Kamang dan bertemu dengan Tuanku nan Renceh. Maka paham baru ini segera meluas di Luhak Agani, juga di Empat Angkat, IV Kota, Candung dan Kota Tua.
Tuanku nan Renceh mengajak Tuanku-Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk persekutuan melawan kaum Adat. Delapan orang ulama itu adalah: Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro dan Tuanku Kapau. Mereka men-dapat julukan "Harimau nan Salapan", karena tindakan-tindakannya yang keras. Sebelum melaksanakan tujuan, mereka bermusyawarah dengan guru yang mereka hormati, yaitu Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua menyetujui gerakan ini, tetapi menyarankannya agar dilakukan secara damai. Sebab menurut beliau pembaharuan yang keras akan menimbulkan perlawanan yang keras pula. Sikapnya yang lunak ini menyebabkan Tuanku Kota Tua tidak jadi terpilih sebagai pimpinan gerakan. Yang kemudian terpilih menjadi pimpinan gerakan akhirnya Tuanku Mensiangan, juga seorang ulama terkenal dan disegani di daerah VI Kota.
Tuanku nan Renceh bertekad melakukan kekerasan. Setiap orang diharuskan melakukan Syara' setepatnya. Adat lama harus dirombak sehingga menimbulkan kecemasan para penghulu.
Pada pihak lain, kaum Adat tidak tinggal diam. Suatu pesta menyabung ayam diadakan dengan segera di karnpung Batapuh, dekat Sungai Puar dengan maksud untuk menghina kaum Padri. Keadaan menjadi tegang, sehingga pertempuran di Batipuh meletus. Kaum Padri terus menyebarkan pahamnya. Luhak Lima Puluh Kota menerima paham Padri, tetapi Tilatang, Matur dan Candung menentangnya ketika Tuanku nan Renceh meluaskan pengaruh, maka perlempuran demi pertempuran terjadi. Tuanku Kota Tua yang menghendaki pembaharuan dengan cara lunak berusaha mencegah meluasnya pertempuran, tetapi gagal.
Selanjulnya, berkat kegialan kaum Padri, Luhak Agam dan IV Kota menerima pembaharuan. Dcmikian pula di Lembah Alahan Panjang yang luas, lerdiri dari kampung Padang Lawas, Jambak, Kota, Lubuk Arnbacang, Alai, Bonjol, Pasir, Mandari, Padang Sikakusuk, Marapak, Caniago, Tanjung Bungo dan Padang Bulus. Di antara kampung-kampung ini, Bonjol kelak memegang peranan penting.
Sementara itu pimpinan adat tertinggi di Lembah Alahan Pan-jang adalah Datuk Bandaro yang setelah mempelajari paham pem-baharuan bersama para penghulu lainnya menjadi tertarik dan menerimanya. Dengan demikian ajaran Padri meluas di daerah Lembah Alahan Panjang. Walaupun demikian ada juga kelom-pok penghulu yang tidak menyetujuinya, mereka dipimpin oleh Datuk Sati.
Di antara kedudukan kaum Padri yang kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan benteng yang cukup besar; didalamnya terdapat sebuah mesjid, 40 rumah dan tiga gubuk kecil.47
Ketika Datuk Bandoro meninggal karena terkena racun, ia digantikan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol yang lahir pada tahun 1774, adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan Panjang.
Di daerah lain seperti di Tanah Datar, kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Pasaman, bergelar Tuanku Lintau. Di sini pengaruh adat sangat kuat. Di sini pula Raja Minangkabau, Tuanku Raja Muning di Pagaruyung, berkedudukari. Pertempuran antara kaum Padri dan kaum adat segera meletus di Tanah Datar. Dalam pertempuran ini kaum adat terdesak, sehingga pengaruh kaum Padri makin meluas di daerah ini.48
Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami per-kembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan. Pada waktu itu di pantai Sumatra Barat yang berkuasa adalah Ing-gris. Inggris membuka kantor di Air Bangis, Padang dan Pulau Cinkuk.49 Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles mengun-jungi Padang pada tahun 1818. Kaum Adat mengharapkan ban-tuan dari Inggris. Dua orang Tuanku dari Suroaso yang mewakili Raja Minangkabau menghadap Raffles. Mereka adalah Tuanku Tang.sir Alam dan Sultan Kerajaan Alam. Raffles melihat ber-bagai kemungkinan, menimbang untung rugi. Pada pihak lain,
Raffles juga menghubungi kaum Padri, untuk menawarkan jasa-jasa baik, tetapi ternyata tidak ada persesuaian pendapat. Tujuan Raffles sebenarnya untuk memperoleh daerah pedalaman yang subur. Oleh karena itu hanya dengan negara Minangkabau, Raf¬fles dapat mengadakan perjanjian setia-kawan.
Namun Inggris harus segera menyerahkan daerahnya kepada Belanda sebagai pelaksanaan Perjanjian London (1824). Kekua-saan Inggris di Sumatra Barat diserahkan kepada Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai Residen. Kemudian kaum adat ini kini beralih minta bantuan kepada Belanda.
Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen Du Puy beserta Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu yang mewakili Minangkabau mengada¬kan perjanjian.so Dengan dasar perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri, akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. Pada 18 Pebruari 1821 Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam, dan seratus orang tentara. Sejak itu dimulailah perang Padri melawan Belanda. Peranan kaum Adat sebagai musuh utama kaum Padri digantikan oleh Belanda. Kaum Padri menghadap Belanda yang mempunyai sistem persenjataan modern, serta personel yang terlatih.

Peperangan ini dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825, ditancjai dengan meluasnya per¬lawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua ada-lah antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya per-tempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum Padri yang mulai melemah. Ketika itu pihak Belan¬da sedang memusatkan perhatiannya pada perang Diponegoro di Jawa. Masa ketiga antara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri.
Kaum Padri mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap pasukan patroli mereka. Pos Belanda di Semarang menjadi sasaran penyerangan Kaum Padri dalam bulan September 1821. Soli Air Sipinang berkali-kali mendapat gangguan dari kaum Padri. Tuanku Pasaman dengan pasukannya melakukan operasi di sekitar hutan. Usaha pimpinan pasukan Belanda untuk berdamai dengan Tuanku Pasaman dengan perantaraan seorang pendeta Kristen tidak berhasil. Bahkan Tuanku Pasaman pada waktu itu telah mengerahkan sebanyak 20 s/d 25.000 orang pasukan Padri di sebelah Timur Gurung. Pasukan ini dilengkapi dengan senjata-senjata tradi-sional, bendera-bendera pasukan dan payung-payung besar sebagai tanda pengenal pasukan.
Dalam pertempuran yang terjadi antara pasukan Tuanku Pasaman dan pasukan Belanda yang terdiri dari 200 orang serdadu Eropa yang diperlengkapi dengan meriam 6 pon dan meriam kodok (howitser), ditambah dengan 8 a 10.000 orang pasukan bantuan terdiri dari orang bumiputra, telah meminta banyak kor-ban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman menderita kerugian kurang lebih 350 orang gugur, di antaranya anak Tuanku I Pasaman sendiri. Demikian pula fihak Belanda tidak sedikit kehilangan serdadunya yang tewas dan mendapat luka-luka. Dengan sisa pasukannya Tuanku Pasaman kemudian mengun-durkan diri ke Lintau, setelah berhasil menerobos rintangan-rintangan dari pasukan musuh yang mencoba memutuskan jalan yang menuju ke Lintau. Setelah berhasil menguasai seluruh lem-bah Tanah Datar, Belanda mendirikan benteng di Batusangkar (kelak diberi nama Fort Van Der Capellen)
Markas Tuanku Pasaman di Lintau dijaga kuat oleh pasukan Padri. Pasukan Belanda sebanyak 120 orang serdadu dibawah pimpinan Raaff dan beberapa Kapten berusaha menyerang markas Tuanku Pasaman, tetapi maksud tersebut ditunda setelah mengetahui bahwa pasukan Tuanku Pasaman di markas tersebut cukup kuat. Setelah mendapat bantuan dari daerah lain sebanyak i 150 orang serdadu, Raaff melanjutkan usahanya. Penunjuk jalan yang mengantar Raaff menuju ke markas Tuanku Pasaman ter-nyata orang, yang pro Padri dan berhasil memasukkan pasukan Raaff ke dalam jebakan di daerah pertahanan kaum Padri yang kuat. Karena kekalahan yang diderita, Raaff mengundurkan diri ke Pagaruyung.
Karena Tuanku Pasaman cukup berat untuk ditundukkan, maka Belanda mencoba lagi untuk mendekatinya. Surat ajakan untuk berdamai yang dikirim oleh Raaff kepada Tuanku Pasaman tidak mendapat jawaban. Pasukan Raaf yang bergerak di sekitar Tanjong Alam pada tanggal 10 Juni 1822 diserang oleh pasukan
Padri.
Di daerah lain pasukan Padri juga aktif mengadakan penyerangan-penyerangan. Di sekitar Baso pasukan Tuanku nan Renceh tanggal 14 Agustus 1822 telah menyerang pasukan Belan-da. Pasukan Belanda terdesak bahkan Kapten Goffinet yang memimpin menderita luka berat. Pasukan kaum Padri yang tain dalam bulan September 1822 telah pula mengadakan operasi di daerah Guguk Sigandang dan Tajong Alam dan membakar kampung-kampung penduduk yang memihak kaum Adat. Pasukan kaum Padri ini berjumlah sekitar 20.000 orang.
Dari beberapa pertempuran yang terjadi terlihat, bahwa pasukan kaum Padri cukup kuat dan terpencar di daerah-daerah. Dalam pada itu hubungan kaum adat dengan Belanda dalam melawan kaum Padri juga makin erat. Raja Muning yang telah lanjut usianya bersekutu dengan Belanda, meskipun ia sudah tidak mampu tampil sebagai pemimpin dalam pasukan. Dalam hubungan pertentangan kaum Padri dan kaum adat kedudukan Tuanku Kota Tua sebenarnya berada di tengah-tengah kedua pihak tersebut. la menginginkan jalan damai dalam menyebarkan paham kaum Padri dan tidak menyetujui tindakan-tindakan kaum Padri dengan kekerasan. Justru karena sikapnya yang demikian ini maka Belanda tidak memusuhinya. Bahkan pernah dengan menggunakan pengaruh Tuanku Kota Tua, Belanda dapat me-lunakkan pendirian pengikut Padri di Kapau. Demikian pula dengan perantaraan Tuanku Kota Tua, Kaum Padri bersedia me-ninggalkan daerah Alahan Panjang dan Rau, sehingga di daerah itu Belanda kemudian dapat memperkuat diri.
DiBoniopertahanan kaum Padri juga cukup kuat. Untuk meng-hadapi kaum Padri ini, pimpinan pasukan Belanda Letnan P.H. Marinus memindahkan meriam-meriam dari pertahanannya di Baruh Bukit ke pertahanan di dekat Bonio. Demikian pula pasukan Belanda yang lain di bawah Kapten Brusse dengan ban-tuan 1000 orang penduduk setempat telah dipergunakan untuk menghadapi kaum Padri di Bonio. Waktu pasukan Van Geen bergerak sarnpai didekat bukit di muka Bonio, pasukan Padri segera turun dari bukit tempat pertahanannya dan menyerang pasukan musuh. Dalam pertempuran ini Letnan Marinus mening-gal. Setelah bertempur pasukan Padri segera mengundurkan diri ke dalam hutan-hutan di sekitarnya.
Usaha selanjutnya dari pasukan Belanda untuk menaiki bukit dengan maksud untuk mendekati pertahanan kaum Padri di Bonio tersebut telah disambut oleh kaum Padri dengan lemparan tombak, batu maupun batang-batang pohon dari atas. Dalam medan pertempuran yang lain di Kapau pasukan Padri rnemben-tuk garis pertahanan yang cukup panjang. Pasukan ini pada tang-gal 18 September 1833 telah mencoba mengepung pasukan Belan¬da yang berkekuatan 100 orang sehingga pasukan musuh tersebut harus menyingkir ke Kota Tua. Sebagian pasukan Padri mengejar-nya, tetapi dalam pertempuran yang terjadi ternyata pasukan Padri kalah kuat sehingga mengundurkan diri. Usaha kaum Padri untuk melemahkan kedudukan musuh diteruskan dengan menutup jalan yang menghubungkan pos Belanda di Kota Tua dengan Tanjong Alam.
Di daerah Agam pada tanggal 24 September 1823 pasukan Padri menyerang suatu pasukan Belanda yang berkekuatan 170 orang. Dalam pertempuran ini pihak Belanda menderita kerugian 19 orang serdadu luka-Iuka. Namun persenjataan pasukan Belanda yang cukup kuat telah berhasil mendesak pasukan Padri, bahkan akhirnya dapat merebut pertahanan Padri di daerah itu yang di-jaga oleh 360 orang.
Dengan kepergian Letnan Kolonel Raaff ke Padang pada tang-gal 16 Desember 1823 untuk menggantikan kedudukan D'u Puy sebagai Residen dan Komandan Militer Belanda di Padang, ter-jadinya perkembangan baru. Raaff merencanakan untuk mengadakan perundingan dengan kaum Padri. Usahanya untuk mendekati kaum Padri di Bonjol berhasil dan pada tanggal 22 Januari 1824 dapat diadakan perundingan perdamaian dengan mereka, Setelah itu kaum Padri di Daerah VI Kota juda mengadakan perdamaian dengan Belanda. Adanya perundingan ini sebenyarnya hanya menguntungkan pihak Belanda untuk menunda waktu guna memperkuat diri.
Pengiriman pasukan-pasukan oleh Raaff pada tanggal 29 Pebruari 1824, terdiri dari 150 orang serdadu Eropa, 150 orang Madura dan 1000 orang bumiputra setempat dengan perlengkapan meriam 3 pon dan howitser, ke daerah Pandai Sikat dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan apabila usahanya untuk mengajak berdamai tidak mendapat sambutan dari kaum Padri. Tuanku Damasiang, seorang pemimpin Padri di Kota Lawas, menolak un¬tuk berdamai dengan Belanda, sehingga kemudian mendapat serangan dari pasukan lawan. Kota Lawas dibakar dan Tuanku Damasiang terpaksa menyerah karena kepungan pasukan Belanda tersebut.
Pendudukan daerah VI Kota dan pasukan Belanda menim-bulkan kemarahan kaum Padri di Bonjol. Meninggalnya Letnan Kolonel Raaff karena sakit pada tanggal 19 April 1824 merupakan kesempatan baik bagi mereka unluk mengobarkan perang lagi. Naskah perjanjian perdamaian dikirimkan kembali kepada pihak Belanda dan mereka mulai mengadakan gerakan pasukan ke sebelah tenggara Tanah Datar. Mereka kemudian melakukan penyerangan terhadap pos Belanda di Suroaso. Pasukan Hindia Belanda dengan kekuatan 120 orang serdadu pada tanggal 17 Juli 1824 dikirimkan ke daerah tersebut dan berhasil memhakar kam-pung tempat markas pasukan Padri, tetapi ketika pasukan Belan¬da tersebut akan kembali ke Suroaso di suatu lembah yang sempit telah diserang dengan tiba-tiba oleh pasukan kaum Padri yang cukup kuat. Dengan susah payah dan dengan kerugian 30 orang serdadu pasukan Belanda berhasil kembaii ke Suroaso.
Dalam tahun 1825 berhubung dengan adanya perlawanan Di-ponegoro di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan baru. Sementara perlawanan kaum Padri belum dapat dikalahkan, kekuatan militernya sebagian harus dikerahkan untuk menghadapi perang baru itu. Di Tanjong Alam pasukan Padri aktif mengadakan operasi dan mengadakan gangguan terhadap pengikut-pengikut kaum Adat yang memihak Belanda. Dalam bulan April 1825 mereka telah melakukan perlawanan terhadap pasukan Kapten Bauer yang mencoba mengusir mereka dari Tan-jong Alam. Demikian pula sejumlah 7000 kaum Padri telah terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Agam, dekat Bukittinggi.
Kolonel Stuers, yang diangkat menjadi penguasa sipil dan militer di Sumatra Barat sejak tanggal 2 Nopember 1824, pada tanggal 29 Oktober 1825 telah berhasil mengadakan kontrak per-damaian baru dengan kaum Padri yang diwakili oleh Tuanku Keramat, yang isinya antara lain menyebutkan: Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau, L Kota, Telawas dan Agam; kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan para pedagang; kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang kembali dari pengungsian. Perjanjian yang diadakan di Ujung Karang itu baru ditanda tangani di Padang pada tanggal 15 Nopember 1825.
Sudah tentu bahwa perdamaian antara Belanda dengan kaum Padri ini mengecewakan para pengikut kaum Adat, yang sebelum-nya telah mendapat kesanggupan dari Belanda untuk mendapat bantuan dalam melawan kaum Padri. Dalam hubungan ini Belan-da mempunyai perhitungan lain. Gencatan senjata dengan kaum Padri baginya sangat menguntungkan, karena dengan demikian sebagian dari pasukannya di daerah ini dapat dipergunakan untuk memperkuat pasukannya di Jawa dalam usahanya menindas per-lawanan Diponegoro.
Waktu dalam bulan September 1826 serdadu-serdadu Belanda di Minangkabau sebanyak 5000 orang beserta 17 opsir berangkat ke Jawa, kekuatan militer Belanda di Minangkabau tinggal 677 orang. Dengan kekuatan ini Belanda harus menjaga 17 pos yang letaknya tersebar di daerah-daerah. Dengan demikian terlihat bahwa kekuatan Belanda tidak mencukupi. Kelemahan ini telah digunakan oleh sementara rakyat yang memihak kaum Padri un¬tuk menentangnya. Penduduk kampung Mulik Padang menen-tang waktu komandan Belanda di daerah itu memaksa mereka un-tuk membuat jalan. Dua detasemen pasukan Belanda yang oleh De Stuers dikirim ke kampung Mulik Padang untuk memaksa rakyat lagi, ternyata mendapat perlawanan bersenjata dari mereka, sehingga pasukan Belanda bercerai-cerai.
Kaum Padri mengambil kesempatan yang baik itu untuk me-mulai perlawanan lagi. Mereka mengadakan serangan terhadap daerah-daerah pengikut kaum adat seperti Suroaso dan Tanah Datar, sehingga dengan kekuatan yang ada Belanda harus meng-hadapinya. Sementara itu kepala-kepala adat dari daerah XIII Kota dapat mempengaruhi penduduk XX Kota untuk menantang Belanda dan tidak mau membayar cukai dan pajak pasar yang dibebankan atas mereka. Ternyata bahwa perjanjian perdamaian tertanggal 15 Nopember 1825 tidak ada artinya lagi.
Kecurigaan terhadap Belanda terutama terdapat pada kaum Padri di Bonjol yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dan kawan-kawan seperjuangannya Tuanku nan Gapuk daii Tuanku Hitam. Pengalamannya dalam perjanjian dengan Belanda di Masang yang ditanda tangani di Padang pada tanggal 26 Januari 1825 yang akhirnya tidak ditepati sendiri oleh Belanda, adalah merupakan sebab tidak adanya kepercayaan lagi pada Belanda.
Dalam hubungan dengan perlawanan kaum Padri per^dike-tahui bahwa di antara pemimpin-pemimpin mereka tidak selalu terdapat kesamaan pendapat. Sikap golongan Padri yang tidak menginginkan jalan kekerasan dalam menghadapi kaum. adat ditentang oleh golongan Padri yang keras pendiriannya. Sudah pasti perbedaan pendirian ini menyebabkan pecahnya kekuatan kaum Padri sendiri. Meskipun demikian dalam menghadapi kekuasaan kolonial Belanda, nampak bahwa mer-eka sama-sama menunjukkan sikap menentang. Hal ini terlihat pada sikap Tuanku nan Gerang dan Tuanku Ibrahim yang meskipun lunak terhadap kaum Adat, tetapi tidak mudah pula diajak kerja sama dengan pimpinan militer Belanda di Padang, De Richemont.
Di daerah VII Kota di Pariaman pengikut Padri aktif mengadakan operasi. Dalam pada itu Naras pengaruh pimpinan Padri Tuanku nan Cerdik besar. Daam pertempursn yang terjadi pada tanggal 12 Desember 1829 menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten De Richemont yang berkekuatan 130 orang serdadu dan 50 orang marine, Tuanku nan Cerdik berhasil mengalahkannya sehingga menyebabkan kerugian musuh lima ser¬dadu tewas, di antaranya seorang Letnan Laut, dan 30 orang lain-nya luka-luka. Pimpinan pasukan lawan terpaksa menunggu lagi pasukan bantuan.
Kelemahan pasukan Belanda di pelbagai daerah pertempuran membawa akibat makin meluasnya perlawanan kaum Padri. Di samping itu terlihat bahwa sementara kaum Adat yang kecewa mulai melakukan perlawanan juga terhadap Belanda. Sebanyak kira-kira 70 orang penghulu adat dengan bantuan penduduk XIII Kota yang bersikap anti Belanda telah menyerbu Padang, tetapi kemudian mengundurkan diri setelah kurang lebih 100 orang ser¬dadu Belanda melawannya. Sementara itu kaum Padri yang ber-gerak di sebelah utara Pasaman telah berhasil menduduki Air Bangis. Air Bangis dijaga oleh pasukan Padri berkekuatan sebanyak 300 orang, sedangkan dari arah iaut penjagaan dibantu oleh perahu-perahu Aceh di bawah Sidi Mara.
Melihat situasi perang tersebut, nampak jelas bahwa kedudukan Belanda di Sumatra Barat cukup sulit. Residen Mac Gillavry, demikian pula pemimpin militer De Richemont tidak berhasil mengalahkan sama sekali perlawanan kaum Padri. Kaum Adat tidak seluruhnya memihak padanya, sedang kaum Padri makin berani mengganggu daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch karenanya memandang perlu untuk mengadakan mutasi pimpinan pemerintah Belanda di Sumatra Barat. Pada tanggal 4 Maret 1831 Kolonel G.P.J. Elout diangkat menjadi Residen merangkap pimpinan tertinggi militer di Sumatra Barat. Tugas pertama dari Elout ialah untuk mema-tahkan perlawanan kaum Padri atau setidak-tidaknya meng-halang-halangi meluasnya kekuasaan kaum Padri.
Kekuatan militer yang terbatas dari Elout sebenarnya tidak memungkinkannya untuk mematahkan perlawanan kaum Padri. Waktu itu Elout hanya mempunyai serdadu sebanyak 707 orang dan 26 opsir. Separoh dari 707 orang serdadu tersebut adalah orang bumiputra. Kekuatan militer ini harus dibagi untuk men-jaga sebanyak 18 pos militer. Dengan kekuatan yang ada ini Belanda ingin mematahkan kekuatan kaum Padri. Tuanku nan Cerdik yang waktu itu bermarkas di Naras menjadi sasaran per-tama dari Elout. Telah disebutkan bahwa pengaruh pemimpin Padri ini di Naras sangat besar. Serangan Belanda terhadap kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku nan Cerdik dilakukan dengan tiba-tiba pada tanggal 6 Juni 1831, sehingga dalam pertempuran yang terjadi pasukan Tuanku nan Cerdik terpaksa menyingkir ke Bonjol.
Sementara itu pasukan Padri yang berada di sebelah utara Muarapalam pada tanggal 18 Agustus 1831 telah terlibat dalam pertempuran dengan pasukan lawan. Di daerah lain, pertempuran masih terus berlangsung. Pertahanan kaum Padri di Sijantang pada tanggal 14 September 1831 mendapat serangan dari pihak Belanda dengan pasukan orang Bugis yang berjumlah 120 orang. Pertahanan Padri di sini cukup kuat, sehingga Belanda harus menantikan bantuan pasukan lain untuk menghadapinya lagi. Baru pada tanggal 22 September 1831 pertahanan Padri di Sijan¬tang dapat dipatahkan oleh Belanda.
Tuanku nan Cerdik yang menyingkir setelah gagal dalam mem-pertahankan Naras, mulai banyak beroperasi di daerah XII Kota. la mengadakan kerja sama dengan Tuanku Imam Bonjol dalam penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos Belanda. Dalam bulan Maret 1832 Tuanku nan Cerdik berhasil menghimpun kekuatan di XII Kota untuk mempersiapkan penyerangan terhadap pasukan musuh yang berada di V Kota dan VII Kota. Bersama-sama dengan pasukan Tuanku Imam Bonjol yang terdiri dari 4000 orang, pasukan Tuanku nan Cerdik yang berkekuatan 3000 orang mengadakan gerakan ke arah Tiku. Gerakan ini telah menimbulkan kekhawatiran pimpinan militer Belanda. Pasukan gabungan dari Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku nan Cerdik ini berhasil menduduki Mengopo dan membuat markas di situ. Dalam hubungan ini Belanda memberangkatkan pasukannya yang berkedudukan di Pariaman menuju ke arah Tiku dan kemudian menyerang pasukan Padri di Mengopo. Pertempuran seru yang terjadi meminta banyak korban di kedua belah pihak.
Di daerah Agam Tuanku Damasiang yang bermarkas di sebelah selatan Kapau merupakan ancaman terhadap pertahanan Beianda di Fort De Kock. Dengan susah payah pasukan Beianda yang ber-kekuatan 250 serdadu dapat mematahkan perlawanan pasukan Tuanku Damasiang. Untuk menjaga perlawanan Padri selanjut-nya Beianda mendirikan pos penjagaan di Bulit Koriri di Cilatang. Sementara Beianda berhasil menduduki beberapa tempat di daerah Agam, pasukan Padri telah berhasil memperluas daerah pengaruhnya ke daerah-daerah pantai sebelah utara Padang.
Dalam hubungan ini Gubernur Jenderal Van Den Bosch sebagai pemimpin tertinggi kekuasaan koloni Beianda di Hindia Beianda menginginkan agar persoalan di Sumatra Barat selekas mungkin dapat diatasi, dalam arti. bahwa perlawanan kaum Padri harus segera dikalahkan sama sekali, sehingga Beianda dapat berkuasa di seluruh Sumatra Barat. Bantuan militer yang dikirim dari Batavia tiba di Padang pada pertengahan tahun 1832, berke-kuatan 3 kompi dengan perlengkapan beberapa meriam dan mor-tir. Di. samping itu ikut pula legium Sentot Ali Basyah Prawi-rodirdjo yang terdiri dari 300 orang bersenjata. Pasukan ini disebar di pelbagai pos dan benteng Beianda dan sebagian diper-gunakan untuk mengadakan operasi di daerah pedalaman.
Pertahanan kaum Padri di sebelah utara Tanjong Alam pada tanggal 22 Juli 1833 mendapat serangan dari pasukan Beianda. Dalam pertempuran ini pihak Padri dapat menewaskan antara lain seorang kapten. Dengan bantuan militer dari Jawa ini, pasukan Beianda bertambah kuat sehingga beberapa daerah yang dikuasai kaum Padri dapat didudukinya, seperti Tapi Selo bekas tempat kedudukan Tuanku Pasaman. Di Kebon Belongkat yang terletak di sebelah timur Muarapalam, demikian pula di Bua, Beianda mendirikan kubu untuk menjaga daerah yang telah dikuasainya. Perlu juga disebut pertempuran besar yang terjadi di Agam. Dalam pertempuran pada tanggal 29 Juli 1833 ini pasukan Padri yang berjumlah 2000 orang berhadapan dengan pasukan musuh yang membawa kerugian di pihak Beianda 8 tewas dan 40 orang luka-luka, tetapi tidak sedikit pula korban di fihak kaum Padri. Beianda berhasil meminta keterangan dari Tuanku nan Cerdik, yang waktu itu oleh Beianda diangkat sebagai Raja Bicara, ten-tang kekuatan kaum Padri di Bonjol untuk mengadakan serangan lagi ke daerah pantai. Oleh karenanya Beianda segera mengi-rimkan pasukan untuk menghalang-halangi kemungkinan gerakan pasukan Padri Bonjol tersebut. Dengan mengambil jalan lewat Tiku, Mengopo, Bevervoorde sampai di Lubo Ambalu dan men-dirikan kubu di situ.
Sementara itu pertempuran yang terjadi di sekitar jurang antara Mantua dan Agam pada tanggal 10 September 1833 membawa ke-kalahan pada pihak kaum Padri, meskipun mereka dapat mene-waskan beberapa serdadu Belanda, di antaranya seorang Letnan Kolonel. Beberapa distrik dan seluruh daerah VIII Kota telah jatuh ke tangan Belanda. Penyerangan-penyerangan pasukan Padri pada pos-pos maupun benteng-benteng Belanda masih terus dilakukan, seperti penyerangan pada benteng Belanda di Amerongen oleh Tuanku Tambusi pada pertengahan Januari 1833, penyerangan pos Belanda di Gubuk Sigandang oleh Tuanku Demasiang pada akhir Mei 1833, penyerangan benteng Belanda di Pantar pada tanggal 22 Nopember 1833 dan benteng Belanda di Amerongen lagi pada tanggal 21 Oktober 1833.
Baru pada akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatarinya untuk menyerang Bonjol, setelah jalah-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai oleh Belanda. Pada akhir September 1834 pasukan Belanda menyiap-kan pasukan besar untuk mulai menyerang Bonjol. Dilihat dari gerakan-gerakan militer yang dilakukan Belanda mulai tahun 1835 nampak jelas, bahwa kekuatan militernya sebagian besar dikerahkan untuk meruntuhkan kekuatan kaum Padri di Bonjol. Untuk tujuan ini daerah-daerah sekitar Bonjol dicoba untuk dikuasainya. Hal ini nampak misalnya dalam persiapan mereka untuk beroperasi ke daerah Alahan Panjang, dengan mengerahkan pasukan yang cukup besar. Bonjol di dekati dari beberapa jurusan. Pada tanggal 21 April 1835 dua Kelompok pasukan Belanda telah menyerang pertahanan kaum Padri di sekitai Semawang Gedang, Pasukan Padri setelah melakukali pertempuran ternyata tidak dapat mengatasi kekuatan musuh, sehingga terpaksa menyingkir. Pasukan tersebut yang kemudian bergerak maju sampai di dekat Kumpulan (jarak kurang lebih 1½ jam perjalanan dari Bonjol) telah disambut oleh pasukan kaum Padri yang berada di daerah tersebut. Kekuatan kaum Padri sebesar 12.000 orang di daerah itu akhirnya dapat memukul rnun-dur pasukan musuh, sehingga pemimpin pasukan Belanda merasa perlu mendatangkan bantuan pasukan yang sedang berada di Batipo. Dalam menghadapi pasukan Belanda setelah mendapat bantuan itu pasukan Padri ternyata kalah kuat sehingga terpaksa mundur. Pertahanan Belanda yang berada di Batu Bendindit kemudian dikepung oleh pasukan Padri tersebut, tetapi usaha kaum Padri untuk menduduki daerah itu tidak berhasil. Pada tanggal 11 Mei 1835 benteng Padri di sebuah bukit dekat Bonjol juga telah diduduki pasukan Belanda.
Kesulitan yang diderita oleh kaum Padri di Bonjol berawal dengan ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 11 sampai 16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda telah berhasil menutup jalan yang meng-hubungkan benteng Bonjol dengan daerah sebelah barat. Gangguan-gangguan dari pasukan Belanda dilakukan untuk meng-acaukan penghuni benteng Bonjol. Pada tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol telah ditembaki meriam Belanda dan seterusnya pada tanggal 21 Juni kubu pertahanan Belanda maju lagi sehingga lebih mendekati benteng Bonjol. Dalam pertempuran yang terjadi sejak tanggal 11 Juni 1835 Belanda telah kehilangan 23 serdadu tewas dan 139 luka-luka, sedang di antara pasukan bantuan yang diperoleh telah terdapat korban 7 orang tewas dan 85 orang luka-luka menjadi korban dalam pertempuran tersebut. Pada tanggal 16 Agustus 1835 bukit yang terletak di dekat Bukit Terjadi telah jatuh ke tangan Belanda.
Pada tanggal 8 Pebruari 1835 Tuanku Imam Bonjol menyata-kan kepada Residen Belanda di Padang kesediaannya untuk mengadakan gencatan senjata. Untuk sementara waktu aktivitas gerakan pasukan Belanda dihentikan setelah adanya perjanjian gencatan senjata itu. Waktu Belanda mendesak Tuanku Imam Bonjol agar menyerah bersama pengikutnya, mereka mendapat jawaban bahwa kaum Padri Bonjol mau menyerah apabila pasukan Belanda ditarik dari daerah Alahan Panjang. Karena Belanda tidak dapat menerima usul itu maka keadaan menjadi tegang kembali. Pasukan-pasukan pengikut Tuanku Imam Bonjol yang beroperasi di luar benteng pada tanggal 2 Juni 1835 mulai mengadakan perlawanan lagi terhadap pasukan musuh. Serdadu Belanda pada tanggal 25 Nopember 1835 berkumpul didepan benteng Bonjol bersama-sama dengan sejumlah 13.000 pasukan bantuan, baik terdiri dari pasukan-pasukan bumiputra dari pen-duduk setempat maupun dari darah lain. Dalam pertempuran yang terjadi, benteng Bonjol masih dapat dipertahankan oleh kaum Padri.
Selama tahun 1836 kekuatan kaum Padri masih belum dapat dipatahkan sama sekali oleh milker Belanda. Untuk mematahkan benteng Bonjol, Belanda mengerahkan lagi pasukan-pasukannya di sekitar Bonjol, antara lain pasukan orang Afrika. Pasukan ini digabungkan dengan pasukan-pasukan orang Bugis yang sengaja dikerahkan oleh Belanda untuk mematahkan perlawanan kaum Padri di Sumatra Barat.
Pada tanggal 10 Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyata-kan bersedia lagi untuk mengadakan perundingan perdamaian. Belanda mengharap bahwa perundingan tersebut akan diikuti dengan kesediaan Tuanku Imam Bonjol untuk menyerah. Tetapi Belanda menduga bahwa kesediaan Tuanku Imam Bonjol tersebut hanya merupakan siasat untuk memperoleh waktu guna menggali lubang yang menghubungkan dalam dan luar benteng; di samping itu juga untuk mengetahui musuh yang berada di sekitar benteng Bonjol. Kegagalan usaha perdamaian menyebabkan timbulnya lagi pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Pasukan Belanda yang bergerak dari arah utara pada tanggal 1 Juli 1837 menduduki Durian Tinggi dan Talu, dan kampung-kampung di Lubuk Sikaping pada tanggal 3 Juli 1837. Dalam pertempuran bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan Belanda terhadap benteng Bonjol. Tembak-menembak terjadi antara pasukan Belanda di luar benteng dan pasukan Padri di dalam benteng. Meriam-meriam kaum Padri tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Akhirnya benteng Bonjol yang dipertahankan oleh kaum Padri dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan Belanda. Pasukan Padri Bonjol tidak berdaya lagi berhadapan dengan pasukan musuh yang lebih besar jumlahnya di samping senjata yang lebih lengkap, sehingga terpaksa menyerah. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada tanggal 25 Okboter 1837 dan merupakan pukulan berat lagi perlawanan kaum Padri pada umumnya. Kaum Padri terpaksa meninggalka-n Bonjol untuk meneruskan perang di hutan-hutan.
Tuanku Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke Menado, dan meninggal di sana pada tanggal 6 Nopember 1864.
Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah pada Belanda, gerakan Padri tetap meneruskan perjoangan Tuanku Tambusi mengadakan perlawanan terhadap Belanda di sekitar daerah Rao dan Mandating. Belanda menugaskan Mayor van Bethoven untuk menghadapi Tuanku Tambusi. pada bulan Nopember dan Desem-ber 1837, pasukan Belanda itu bergerak ke dan menduduki Por-tibi, Kota Pinang, Angkola, Sipirok, dan Padang Lawas.
Pada tanggal 18 Januari 1838, Kolonel Michiels menggantikan Francis sebagai kepala pemerintahan sipil di Sumatra Barat. Sementara itu usaha untuk menindas perlawanan Tuanku Tam-busi dijalar\kan lerus. Tuanku Tambusi menyingkir ke Dalu-Dalu, sebelah tenggar Portibi. Pada bulan April 1838, Lubuk Antai ditinggalkan kaum Padri dan Dalu-Dalu diserang. Akhirnya Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan pada 28 Desember 1838. Di Tatipo masih timbul perlawanan Padri terhadap Belanda terjadi pada tahun 1841.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasan Belanda telah tertanam di Sumatra Barat.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..