Slide K.I.S.A.H

Bundaran Batu Satam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Gunung Bromo, Jawa Timur.
Kebun Teh Ciater, Bandung, Jawa Barat.
Desa Saleman, Pulau Seram, Maluku Tengah.
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kampung Bajo, Kaledupa, Wakatobi.
Pantai Pink, Lombok, NTB.
Candi Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Sawah Tegalalang, Gianyar, Bali
Suku Sasak, Lombok, NTB.
Wae Rebo, Manggarai, NTT.

PERLAWANAN KOLONIALISME DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR


Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830, disebut juga Perang Diponegoro, atau Perang Jawa, karena meletus di hampir seluruh daerah di Jawa. Perjoangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang menjadi pemimpin peperangan adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari selir-nya yang bernama Pangeran Diponegoro.
Pembahasan tentang jalannya pemerintahan di Yogyakarta sebelum perang Diponegoro meletus tentu akan melibatkan suasana pemerintahan negara Mataram di Jawa Tengah pada masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena munculnya Yogyakarta sebagai suatu kekuasaan baru merupakan hasil per-janjian Gianti (1755) antara Raja Mataram dengan pihak VOC. Untuk itu perlu diketahui bagaimana hubungan negara Mataram dengan VOC, serta perkembangan yang terjadi sebagai akibat hubungan tersebut.
Hubungan yang berlangsung antara kekuasaan kerajaan Ma¬taram di Jawa Tengah dengan kekuasaan VOC, sejak abad ke-17 sampai menjelang perang Diponegoro, membawa akibat makin merosotnya kekuasaan bumiputra tersebut. Daerah-daerah pantai wilayah negara berangsur-angsur dianeksasi oleh Belanda, sepeiti: Krawang, Semarang (1677), Cirebon, Rembang, Jepara, Sura-baya, Pasuruan, dan Madura (1743).
Oleh karenanya pusat negara makin dipisarflcan dari pantai. Kerajaan Mataram kembali ke dalam kegiatan agraris dan mulai melepaskan tradisi perdagangan-pelayaran. Kekuasaan raja yang kuat seperti pada masa Sultan Agung (1623-1645), sejak masa pemerintahan penggantinya (Amangkurat I, 1645-1677) terus menerus berkurang. Sebaliknya wilayah kekuasaan Kompeni Belanda semakin luas, sedang di bidang pofitik pengaruhnya pada Mataram juga semakin besar. Masalah-masalah penting dalam negara seperti penggantian takhta, pengangkatan pejabat-pejabat tinggi negara seperti patih dan bupati-bupati, tidak lepas dari pengawasan Belanda, Kegiatan raja dalam istana maupun pejabat-pejabat tinggi dalam birokrasi kerajaan makin mudah dapat diawasi, oleh Belanda, terutama setelah Belanda diizinkan men-dirikan benteng di dekat istana. Pada masa pemerintahan Pakubuwono 11 (1726-1749) di Kartasura, pengawasan Belanda atas istana tidak hanya dipermudah dengan adanya benteng tersebut, tetapi juga dengan ditempatkannya serdadu-serdadu Kompeni di dalam kompleks istana. Oleh raja, serdadu-serdadu tersebut dipandang sebagai kekuatan yang dapat melindunginya terhadap setiap intrik dalam istana yang akan menentang raja, tetapi sebaliknya dari fihak Belanda penempatan kekuatan militer Kompeni dalam istana dapat digunakan untuk mengawasi kekua¬saan raja dan golongan-golongan dalam istana yang bersikap kon-tra terhadap Belanda.
Makin sempitnya wilayah Mataram dan berkurangnya kekua¬saan raja membawa akibat makin sempitnya orientasi politik penguasa kerajaan. Orientasi makin diarahkan ke dalam. Kelemahan di bidang politik kemudian diimbangi dengan kegiatan di bidang budaya, terutama dalam sastra. Demikian pula pemakaian lambang-lambang status, seperti bahasa, pakaian, gelar, tatacara penghormatan, dilakukan dengan tujuan untuk mem pert egas jarak antara yang berkuasa dan rakyat umum.
Jarak ini dipertahankan agar kekuasaan atasan tetap ter-pelihara. Sistem birokrasi negara dengan klasifikasi fungsi dan status yang terperinci tetap dipertahankan. Terdapatlah karenanya ketidakseimbangan antara jumlah pejabat dengan wilayah yang diurusnya. Makin luasnya ekspansi Belanda ke daerah pedalaman berakibat mundurnya kekuasaan para bangsawan. Tanah-tanah jabatan yang terlepas karena aneksasi. Belan¬da, menyebabkan merosotnya penghasilan para bangsawan pemegang tanah jabatan tersebut. Makin sempitnya wilayah negara mengakibatkan pula berkurangnya penghasilan negara. Raja makin tergantung pada uang pengganti dari fihak Belanda untuk membiayai aparatur pemerintahan negara, di samping penghasilan dari daerah yang masih dikuasainya.
Sumber penghasilan yang diharapkan dapat menambah kas negara antara lain adalah pajak. Pelbagai macam pajak di-bebankan pada rakyat seperti: pajak p'asar, pajak barang dagangan, pajak kepala, dan lainrtya. Penambahan penghasilan negara juga didapat dari pemborongan cukai-cukai pada pem-borong-pemborong, terutama orang-orang Cina, seperti cukai-cukai jalan, jembatan dan juga pemborongan sarang burung. Ge-jala yang timbul dari penarikan cukai akibat pemborong tersebut adalah penyalahgunaan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Penuntutan cukai yang tinggi oleh pemborong-pemborong memberi beban yang berat pada rakyat.
Di samping itu kerja wajib untuk raja, kerig aji, dan untuk kepala-kepala bumiputra, tetap berlangsung. Di daerah yang telah dikuasai Belanda, diadakan pula kerja wajib untuk pembesar-pembesar Belanda seperti membangun gudang, membuat pagar halaman, membersihkan kebun, demikian pula kerja pancen, me-rupakan beban yang tak dapat dielakkan oleh rakyat. Beban ter-sebut masih ditambah lagi dengan kerja wajib untuk bangunan-bangunan umum seperti memperbaiki jalan, membuat jembatan, memelihara pesanggrahan dan sebagainya.
Selain di bidang politik, di bidang ekonomi pun pengaruh Belanda cukup besar. Dua aspek tersebut bergandengan erat dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Khususnya di Jawa Tengah usaha ekspansi wilayah dari Belanda tidak lepas dari kepentingan ekonomis. Apabila dalam abad ke-17 perhatian Kompeni Belanda sebagai badan perdagangan lebih dipusatkan pada perdagangan laut disertai usaha untuk mendapatkan monopoli, maka dalam abad ke-18 dengan berhasilnya secara ber-angsur-angsur menguasai daerah-daerah sepanjang pantai dan beberapa daerah pedalaman, Belanda mulai menaruh perhatian pada penguasaan sumber-sumber produksi agraris. Di daerah-daerah yang telah dilepaskan dari ikatan kekuasaan Mataram tersebut, Belanda menggantikan kedudukan sebagai penguasa ter-tinggi.
Karena masih kuatnya struktur politik secara tradisional dan kurangnya personalia dalam aparatur pemerintahan Belanda, maka struktur yang ada dibiarkan tetap berlangsung. Jabatan-jabatan tradisional secara hierarkis di daerah-daerah tidak mengalami perubahan. Untuk menjamin agar tindakan penguasa-penguasa daerah, bupati-bupati, tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda, maka diangkatlah kontrolir-kontrolir untuk mendampingi kepala-kepala tersebut. Tugas yang penting dari kepala-kepala daerah memperlancar pengaliran produksi agraris ke gedung-gedung Kompeni.
Dalam abad ke-19 sejak pemerintahan Daendels, Raffles dan se-lanjutnya, nampak adanya kecenderungan makin merosotnya ke-dudukan bupati-bupati daerah. Loyalitas kepala-kepala desa atas-nya dimasukkan dalam rangka melancarkan penyerahan hasil bumi dan pajak. Apabila di daerah-daerah yang telah dikua-sainya, Belanda lebih leluasa bertindak, maka tidak demikiari halnya di daerah kekuasaan Mataram. Dalam beberapa hal raja masih diakui kekuasaannya. Perlengkapan pemerintahan kerajaan masih tetap bekerja. Raja tetap berfungsi sebagai penguasa tertinggi, meskipun dalam hal-hal tertentu, seperti dalam masalah penggantian tahta, pengangkatan pejabat-pejabat tinggi kerajaan, pengaruh Belanda tidak dapat dihindarkan.
Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata peme¬rintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar-bangsawan. Kericuhan istana, perebutan tahta, perang an-tara bangsawan merupakan gejala kronis dalam sejarah negara Mataram sampai abad ke-18. Nampak sekali bahwa gejala ter¬sebut membawa akibat makin lemahnya kekuasaan Mataram, sebaliknya memperkuat kedudukan Belanda. Terpecahnya wilayah negara setelah Perjanjian Gianti pada tahun 1755 menjadi Surakarta dan Yogyakarta, kemudian pada tahun 1757 dengan perjanjian Salatiga ditambah dengan munculnya kekuasaan Mangkunegara dan akhirnya pada tahun 1813 dengan munculnya kekuasaan Pakualam, lebih mempermudah pihak Belanda untuk mengawasi dan mempengaruhi negara-negara yang terpecah-pecah itu.52 Dengan demikian sejak tahun 1755 nama Kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi.
Pertentangan yang timbul di antara penguasa kerajaan-kerajaan tersebut, seperti pertentengan antara Surakarta dan Yogyakarta dalam peristiwa Pakepung pada akhir abad 18, makin memperbesar peranan kekuasaan Belanda dalam penyelesaian persoalan-persoalan antar penguasa bumiputra. Pemihakan Belanda pada salah satu pihak yang sedang bertentangan didasarkan atas perhitungan untung-rugi. Penuntutan hak dan wilayah adalah konsekwensi dari pernikahan itu. Penentangan terhadap kekua¬saan Belanda seperti yang dilakukan oleh Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi pada masa perang Gianti adalah tercam-our dengan pertentangan intern golongan bangsawan.
Pada permulaan abad ke-19 pengaruh Belanda pada kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta bertambah kuat. Pada masa Daendels ada usaha untuk mencampuri sedemikian jauh tatacara di dalam istana. Khusus di Yogyakarta, Daendels menuntut persa-maan derajat dengan Sultan dalam upacara kunjungan resmi, seperti penghapusan keharusan menyajikan sirih oleh Sultan bagi pembesar Belanda dan memperbolehkan pembesar Belanda duduk sejajar dengan raja. Tindakan Daendels ini menimbulkan kekha-watiran sementara golongan bangsawan dalam istana. Golongan ini memandang gejala tersebut sebagai tanda kemerosotan martabat kerajaan. Raffles meneruskan cara yang telah dilakukan oleh Daendels.
Sebelum perang Diponegoro pecan, terjadi kekalutan di istana Yogyakarta, yaitu pada pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1792 sampai 1810. Sultan Sepuh adalah nenek Pangeran Diponegoro yang dinobatkan menjadi raja sebagai pengganti Sultan Hamengku Buwono I. Pangeran Diponegoro lahir pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, sehingga ia mengalami sendiri peristiwa yang terjadi di istana sejak pemerin¬tahan Sultan Hamengku Buwono II. Ketika pada tahun 1792 Sultan Hamengku Buwono I wafat, maka permaisurinya Kanjeng Ratu Ageng, tetap tinggal di istana sambil mengasuh cicitnya, Pangeran Diponegoro waktu itu berusia tiga tahun. Ketegangan muli timbul ketika Sultan Hamengku Buwono II memecat dan menggeser pegawai istana dan bupati-bupati yang dahulu dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono 1.53 Sultan Hamengku Buwono II menginginkan pemerintahan yang kuat dengan dibantu oleh orang-orang yang dekat dengannya. Maka diangkatlah para menantunya sebagai pembantu, misalnya Raden Adipati Danure-jo II sebagai patih, Raden Tumenggung Sumodiningrat sebagai Wedana Lebet dan Raden Ronggo Prawirodirjo III, sebagai bupati-wedana Mancanegara Timur. Tindakan Sultan ini meng-akibatkan sebagian pegawai yang telah berpengalaman dalam hal pemerintahan mengundurkan diri. Kanjeng Ratu Ageng telah memberi peringatan kepada Sultan atas tindakan tersebut, tetapi tidak mendapat tanggapan yang baik. Golongan yang disisihkan kemudian minta perlindungan kepada putra mahkota, yaitu ayah Pangeran Diponegoro. Keadaan istana menjadi tidak tenteram, sehingga Kanjeng Ratu Ageng meninggalkan istana dengan diikuti oleh Pangeran Diponegoro yang waktu itu berusia enam tahun. Ratu Ageng menuju ke arah barat Yogyakarta, yaitu Tegalrejo.
Desa Tegalrejo merupakan daerah persawahan yang sedikit penduduknya. Tetapi setelah Ratu Ageng menetap di situ, maka desa itu menjadi ramai sebab banyak rakyat dari daerah sekitar-nya menetap di desa itu. Umumnya mereka terdiri dari para petani, ulama, maupun santri. Kedatangan mereka ini sesuai dengan kepercayaan rakyat pada waktu itu, yaitu ingin men-dapatkan berkah dari Ratu Ageng.54 Mereka percaya bahwa raja atau keluarganya mempunyai kekuatan gaib, sehingga kedatangan Ratu Ageng di desa itu memberi kesempatan pada rakyat untuk mencari berkah. Pengaruh Ratu Ageng ternyata sangat besar terutama dalam hal perkembangan agama Islam. Mesjid-mesjid dan surau-surau segera dibangun. Dengan demikian rakyat Tegalrejo di samping tekun mengerjakan sawahnya, mendapat pula kesempatan penuh untuk menjalankan ibadahnya. Keadaan yang tenteram ini mempengaruhi kejiwaan Pangeran Diponegoro yang sejak kecil sangat tekun mengikuti pendidikan agama dari para ulama dan pendidikan budi pekerti dari neneknya melalui kesusasteraan Jawa Kuno. Menjelang Pangeran Diponegoro dewasa, Ratu Ageng wafat. Padepokan Tegalrejo kemudian diserahkan kepada Pangeran Diponegoro. Walaupun Diponegoro tinggal di luar istana, kadangkala ia masih terikat oleh tugas-tugas pemerintahan, sebab ia adalah putra dari putra mahkota, Pangeran Adipati Anom.
Sementara itu tersebar benih-benih permusuhan antara pengikut Sultan dan pengikut Adipati Anom. Keretakan ini diketahui penguasa Belanda di Yogyakarta berkat bantuan patih Sultan sendiri, Danurejo II. Karena selalu mengadakan hubungan dengan Belanda, Danurejo II akhirnya dibunuh atas perintah Sultan. Pemerintahan tetap berlangsung atas bantuan kedua menantunya yang lain, Raden Tumenggung Sumodiningrat dan Raden Ronggo prawirodirjo III. Tetapi pada suatu pertempuran membela kepentingan rakyat melawan kekuasaan Daendels, Raden Ronggo gugur. Akibatnya pemerintah semakin lemah, sehingga Belanda segera menurunkan Sultan Hamengku Buwono II dari tahta dan mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai Sultan Hamengku Buwono III, yang memerintah dari tahun 1810 sampai 1811.
Dalam masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III kea-daan pemerintahan Yogyakarta semakin mundur. Beberapa daerah kesultanan diserahkan kepada Belanda; pajak di daerah pantai yang semula harus dibayar Belanda kepada Sultan, dihapus. Selain itu upacara penghormatan kepada Sultan, yang dianggap terlampau berlebihan, dihapus.
Sultan Hamengku Buwono II, yang diturunkan dari tahta, tetap boleh tinggal di istana. Berarti ada dua kekuatan yang berten-tangan yaitu Sultan Hamengku Buwono III dan Sultan Sepuh beserta pengikutnya masing-masing.
Sultan Sepuh yang sangat merasakan akibat penyerahan tahta pada putranya yang ternyata sangat menguntungkan pihak Belan¬da. Hal ini menimbulkan niatnya untuk mengambil alih pemerin¬tahan dengan maksud mencegah keruntuhan pemerintahan. Ke-sempatan ini akhirnya datang ketika terjadi pergantian kekuasaan di negeri jajahan dari Belanda kepada Inggris pada tahun 1811 akibat kekalahan Perancis dalam perang melawan Inggris di Eropa. Dengan kalahnya Perancis itu, Hindia Belanda harus diserahkan kepada Inggris.
Pemerintahan yang kedua dari Sultan Sepuh hanya berlangsung satu tahun. la pun tidak luput dari bentrokan dengan Inggris, sehingga dibuang ke Pulau Pinang pada tahun 18)2. Sebagai penggantinya, diangkat Sultan Hamengku Buwono III untuk kedua kalinya. Tetapi baru dua tahun kemudian ia wafat. Atas usul Inggris, diangkat Pangeran Jarot, putra mahkota, sebagai Sultan Hamengku Buwono IV, yang memerintah dari tahun 1814 sampai 1822. Pangeran Diponegoro sendiri tidak berhak atas tahta, sebab ia putra dari selir. Walaupun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari tugas pemerintahan, sebab kedudukannya sebagai kakak tertua dari raja.
Pada tahun 1816 kekuasaan Inggris di Hindia Belanda beralih lagi ke tangan Belanda. Peristiwa ini sesungguhnya tidak ber-pengaruh langsung pada Pangeran Diponegoro, tetapi pengaruh kekuasaan Belanda yang semakin besar dalam tata pemerintahan Yogyakarta membuatnya jadi sangat prihatin.
Sementara itu, gejala baru yang timbul sebagai akibat hubungan dengan kekuasaan asing itu, ialah makin meluasnya peredaran minuman keras baik di kalangan bangsawan maupun rakyat umum.55 Gejala ini oleh golongan agama dalam istana dianggap membahayakan kehidupan agama Islam. Golongan bangsawan yang taat menjalankan syari'at agama, di antaranya termasuk Pangeran Diponegoro, menyaksikan gejala tersebut dengan kekhawatiran. Gelar kekhalifahan Sultan menjadi merosot dalam pandangan agama. Diponegoro mengecam kehidupan istana waktu itu dengan mengatakan, bahwa para bangsawan telah mengabaikan ajaran agama dan tidak menghormati lagi para ulama. Raja Sultan Agung dibanggakannya sebagai raja yang baik, karena taat menjalankan agama dan gemar bertapa. Sultan Hamengku Buwono IV yang memerintah waktu itu di pandang tak mempunyai sifat-sifat seperti Sultan Agung.56 Dalam menghadapi kekuasaan Belanda sikap Sultan dipandang lemah dan berada di bawah pengaruhnya.
Anggapan seperti ini merupakan latar belakang timbulnya golongan kontra di dalam istana. Golongan ini meliputi sementara bangsawan, ulama-ulama dan pejabat-pejabat birokrasi negara. Sehubungan dengan hal ini, Diponegoro di pandang sebagai orang yang mewakili golongan kontra.
Ketika pada tahun 1822 Sultan Hamengku Buwono IV wafat secara mendadak, maka atas persetujuan penguasa Belanda, yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah putranya, Pangeran Menol yang baru berusia tiga tahun dengan gelar Sultan Hamengku Buwono V. Sultan ini memerintah dari tahun 1822 sampai 1826. Karena belum dewasa maka dibentuk suatu dewan perwalian yang bertugas mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Anggota dewan terdiri dari nenek Sultan (permaisuri Sultan Hamengku Buwono III), Ibu dari Sultan (permaisuri Sultan Hamengku Buwono IV), Pengeran Mangkubumi (putra Sultan Hamengku Buwono II) dan Pangeran Diponegoro.58 Kedudukan Diponegoro dalam dewan perwalian ini pada prakteknya tidak berarti sama sekali, ia tidak pernah diajak bicara urusan pemerin-tah. Hal ini menunjukkan adanya usaha penyingkiran atas dirinya. Selanjutnya Diponegoro mengeluh bahwa kedudukannya dalam perwalian hanya sebagai seorang emban saja dalam arti biasa.59 Akhirnya Diponegoro mengundurkan diri dari dewan per¬walian dan tak mau turut campur dalam urusan rstana. Urusan pemerintahan kemudian banyak dipegang oleh Patih Danurejo IV yang selalau bekerja sama dengan Belanda. Atas dukungan Belan-da Patih Danurejo berpengaruh besar atas diri Sultan. Pengaruh Patih pada Sultan nampak pada rencana pemungutan pajak baru dengan alasan mengisi kekosongan kas kerajaan. Pengangkatan personalia para pemungut tersebut tetap dilakukan, walaupun ditentang oleh Pangeran Diponegoro.
Kekecewaan golongan anti Belanda di dalam istana menjadi semakin besar. Benih-benih penentangan makin berkembang. Sikap acuh tak acuh Diponegoro terhadap urusan istana menun-jukkan kekecewaan terhadap sikap raja dan pejabat-pejabat tinggi pengikutnya. Sebaliknya kecurigaan Belanda terhadap Dipo¬negoro makin bertambah. Pengawasan terhadap orang-orang yang dicurigai makin teliti dilakukan oleh pembesar-pembesar Belanda. Dalam pada itu golongan pro belanda, baik dari bangsawan maupun pejabat birokrasi istana, mendapat perlin-dungan dari fihak Belanda.
Di luar kehidupan istana, terdapat juga kekecewaan di kalangan sebagian besar rakyat, khususnya para petani. Kekecewaan ter¬hadap pemerintah kerajaan selain dikarenakan tekanan-tekanan pajak dan kerja wajib, juga karena tindakan raja yang mengi-jinkan penyewaan tanah pada perkebunan-perkebunan swasta as-ing. Penyewaan tanah berarti penyewaan penduduknya juga. Para bangsawan yang menyewakan tanah lungguh mereka kepada kaum penguasa asing makin menggantungkan penghasilan untuk hfdupnya pada uang sewa yang sebagian besar digunakan tidak secara produktif. Tak mengherankan apabila larangan penyewaar tanah pada penguasa swasta asing yang dikeluarkan oleh Van de, Capellen menjelang meletusnya perlawanan Diponegoro, sanga menggoncangkan para bangsawan yang tersangkut dalam penye waan tanah.
Dalam pada itu penyewaan tanah ngarai pada perkebunan-perkebunan swasta membawa akibat makin terdesaknya tanali persawahan. Gejala tersebut cukup menjelaskan mengapa pada permulaan perlawanan Diponegoro perkebunan-perkebunan swasta juga merupakan sasaran penghancuran dari laskar petani dan mengapa banyak petani yang menggabungkan diri pada Diponegoro. Sebelum perlawanan dimulai, kekecewaan para petani belurn menjurus ke arah penentangan. Derajat penen-tangan lapisan masyarakat bawah ini masih bersifat pasif. Mereka hanya mengkhayalkan datangnya masa yang lebih baik, masa adil dan makmur tanpa ada penekanan pajak dan kerja wajib. Seorang Ratu Adil diharapkan muncul sebagai pemimpin ke arah per-baikan itu.60 Mereka tidak melihat kemunduran kekuasaan tradi-sional seperti yang dikhawatirkan oleh sementara bangsawan dan pejabat-pejabat birokrasi kerajaan dari golongan kontra, juga tidak sadar akan adanya kemerosotan mental keagamaan seperli dibayangkan oleh golongan ulama. Faktor ekonomi lebih men-dasari pandangan messianistis mereka.
Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang dalam bidang politik banyak dipengaruhi oleh Belanda, adalah sebab utama mengapa Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo daripada di istana. Di tempat ini ia lebih memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan tentang adat, sejarah maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian. Kecintaan dan kesetiaan rakyat petani Tegalrejo pada Diponegoro nampak jelas terutama pada waktu terjadi kericuhan mengenai pembuatan jalan melalui tanah desa Tegalrejo tanpa seizin Diponegoro. Jalan yang akan dibangun oleh Belanda tersebut akan melintas tanah makam leluhur Diponegoro itu mendapat tantangan keras dari Pangeran Diponegoro. Insiden pemasangan tonggak jalan yang terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 tidak dapat didamaikan.62 Belanda berkeras untuk melaksanakan maksudnya, sedang Diponegoro juga tetap mempertahankan haknya sebagai pemilik tanah Tegalrejo. Sua-sana menjadi semakin tegang.
Dengan perantaraan Pangeran Mangkubumi, Residen A.H. Smisaert meminta agar Diponegoro bersedia datang ke rumah Residen, namun permintaan itu ditolaknya. Usaha untuk kedua kalinya dilakukan oleh Belanda dengan disertai peringatan pada Pangeran Mangkubumi, bahwa apabila pangeran ini tidak ber-hasil melunakkan pendirian Diponegoro, maka Belanda tidak berani menanggung keselamatan dirinya. Dalam keadaan yang sulit ini Mangkubumi akhirnya menentukan sikap untuk memihak Diponegoro, Surat Residen yang dibawa oleh Mangkubumi se-benarnya akan dijawab oleh Diponegoro namun pasukan Belanda telah mendahului menembakkan meriamnya ketika surat balasan Diponegoro sedang ditulis oleh Mangkubumi.
Sejak Belanda dengan perantaraan Patih Danurejo IV menyuruh memasang tonggak-tonggak jalan, sebenarnya para petani Tagalrejo yang menyaksikan kejadian itu telah mengambil sikap untuk berdiri di belakang Diponegoro apabila sewaktu-waktu ter¬jadi perang. Ketika mereka mengajukan pertanyaan tanda apakah yang akan digunakan apabila perang dimulai, jawaban yang diperoleh dari Diponegoro adalah apabila telah terdengar bunyi meriam, Bunyi meriam Belanda yang terdengar pada tanggal 20 Juli 1825 kurang lebih pukul 5 sore hari mengejutkan rakyat Tegalrejo. Rakyat Tegalrejo dalam waktu singkat membanjiri sekitar dalem Tegalrejo dengan membawa peralatan senjata yang ada pada mereka seperti tombak, lembing, umban pelempar batu. Mereka tidak menduga bahwa penyerangan pihak Hindia Belanda akan terjadi dalam waktu secepat itu. Perlawanan secara teratur sudah tentu tidak mungkin dapat dilakukan waktu yang mendadak itu.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangku¬bumi masih tetap duduk di pendopo. Beliau memerintahkan pasukan bersiap menyambut musuh, padahal keadaan pasukan iti tidak lengkap. Brojodirjo, salah seorang pasukan Diponegoro melaporkan bahwa pasukannya telah terdesak mundur. Tetap Pangeran Diponegoro tak member! tanggapan, sehingga Pangerar Mangkubumilah yang mendesal Pangeran Diponegoro untuk pergi dari tempat itu. Pada mulanya Pangeran Diponegoro tidak berniat menyingkir sebab beliau berpendapal apabila telar dikehendaki oleh-Nya akan mati, beliau lebih senang mati di ata< tanah pusaka neneknya. Pangeran Mangkubumi tak menghiraukan alasan itu dan dipaksanya Pangeran Diponegorc segera meloloskan diri dari kepungan musuh. Akhirnya Pangeran Diponegoro setuju. Bersama dengan Pangeran Mangkubumi segera meloloskan diri melalui pintu samping. Diponegoro dengan menaiki kuda, Genthayu namanya, diikuti Pangeran Mangku¬bumi serta adiknya Pangeran Ronggo, berhasil meloloskan diri.
Di lain fihak, pasukan Belanda terus menyerbu padeponak tersebut. Rumah, mesjid peninggalan Kanjeng Ratu Ageng, serta semua harta milik Diponegoro, terbakar.
Sementara itu rombongan pasukan Diponegoro sampai di Se-larong sebelah barat Yogyakarta. Di sinilah markas pasukan ber-kedudukan. Keluarga Pangeran Diponegoro terutama putri-putri diungsikan ke Desa Dekso. Tak lama kemudian, Pangeran Adinegoro, yaitu adik Pangeran Diponegoro yang ada di Yogya¬karta menyusul ke Selarong dengan membawa 200 prajurit sebagai bantuan. Pangeran Adinegoro diangkat sebagai patih dengan gelar Pangeran Suryenglogo saat itu juga dan ditugaskan mengadakan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah sekitar Yogyakarta.63 Pangeran Ontowiryo, dengan didampingi oleh Tumenggung Danukusumo, diberi tugas melakukan per¬lawanan di daerah Bagelen. Pangeran Ontowiryo adalah putra Pangeran Diponegoro yang kemudian juga memakai gelar Pangeran Diponegoro. Pangeran Adiwinoto dengan didamping oleh Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu. Pangeran Abubakar didampingi oleh Tumenggung Joyomustopo ditugaskan memimpin perlawanan di daerah Lowanu. Pangeran Adisuryo dan putranya, Pangeran Sumonegoro ditugaskan mengadakan perlawanan di daerah Kulon Progo. Tumenggung Cokronegoro ditugaskan memimpin perlawanan di daerah Gamblong. Sedang di daerah sebelah utara Yogyakarta, paman dari Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Joyokusumo (terkenal dengan nama Pangeran Bei) ditugaskan untuk memimpin perlawanan. Pangeran Bei dibantu oleh Tumeng-gung Surodilogo. Pimpinan perlawanan di daerah Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro dan Suronegoro, Sumodiningrat dan Joyowinoto. Perlawanan di daerah Gunung Kidu! dipimpin oleh Pangeran Singosari dan Warsokusumo. Perlawanan di daerah Pajang diserahkan kepada Mertoloyo, Wiryokusumo, Sidurejo dan Dipodirjo. Perlawanan di daerah Sukowati dipimpin oleh Kartodirjo, Pangeran Serang memimpin perlawanan di daerah sekitar Semarang. Perlawanan di daerah Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya dipimpin oleh Mangun Negoro. Setelah semua pasukan siap, masing-masing kelompok menuju ke tempat tugasnya.

Berita insiden bersenjata di Tegalrejo segera sampai di pusat kekuasaan Belanda di Batavia. Pada tanggal 29 Juli 1825 Gubernur Jenderal Van der Capellen mengirimkan Letnan Jendral Hen-drik Marcus de Kock ke Surakarta. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono ternyata tidak memihak Diponegoro. Melalui Sunan, Belanda mendapatkan keterangan tentang keadaan Yogyakarta.
Dalam hubungan ini perlu disebut masuknya seorang ulama terkenal dari desa Mojo, daerah Surakarta, ke dalam pasukan Diponegoro. Dasar keagamaan segera ditanamkan di kalangan para pengikut. Semboyan Perang Sabil disiarkan, baik di kalangan mereka yang telah berkumpul di Selarong, maupun mereka yang berada di daerah-daerah. Propaganda perang melawan kapir juga dilakukan dan mendapat sambutan dari rakyat di daerah Kedu.
Dengan demikian peperangan mulai meningkat. Dari jalannya perang, nampak jelas bahwa pada permulaan perang, pasukan Diponegoro berhasil bergerak maju merebut beberapa daerah, seperti misalnya Pacitan pada tanggal 6 Agustus 1825 dan Purwodadi pada tanggal 28 Agustus 1825. Pada awal perang, kekuat-an militer Belanda tidak begitu besar.
Daerah pertempuran makin lama makin meluas. Di daerah Kedu terjadi pertempuran sengit di desa Dinoyo, Di sini pasukan Diponegoro menghadapi iawan yang besar sekarang jumlahnya. Mereka terdiri dari 2000 orang, yaitu gabungan antara pasukan Belanda dan pasukan Tumenggung Danuningrat, bupati Kedu yang memihak pada Belanda, Seconegoro dan Kertonegoro segera minta bantuan ke Selarong. Dari Selarong dikirim bantuan pra-jurit Bulkiya. Bulkiya adalah nama salah satu kesatuan prajurit Diponegoro yang terkenal berani. Pasukan Bulkiya ini di pimpin Haji Usman Alibasah dan Haji Abdulkadir. Seconegoro memim-pin barisan sayap kanan, sedang Kertonegoro memimpin barisan sayap kiri. Adapun pasukan Bulkiya bertindak sebagai dada pasukan. Akhirnya pasukan Belanda dapat dipukul mundur dan bupati Kedu, Tumenggung Danuningrat tewas dalam pertem¬puran ini. Pasukan Bulkiya berhasil merampas beberapa pucuk senapan dan meriam serta pelurunya.
Sementara itu di Selarong, Pangeran Diponegoro menerima surat dari Jenderal de Kock di Surakarta tertanggal 7 Agustus 1825, disusul dengan surat yang yang kedua tertanggal 14 Agustus 1825, yang isinya menanyakan tentang tujuan berlawanan. Di samping itu de Kock berjanji akan memberi jaminan keamanan pada Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi serta pengikutnya, apabila beliau bersedia menghentikan perangnya dan bersedia mengadakan perundingan perdamaian. Pangeran Mangkubumi segera menjawab bahwa maksud Diponegoro hanya ingin meng-Islam-kan tanah Jawa. Pangeran Diponegoro bersedia berunding asal Kock menentukan dari hari dan tempatnya. Maka dimulailah persiapan perundingan di pihak Diponegoro. Oleh para ulama, Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Erucokro Kabiril Mukminin Chalifatullah Jawa. Jawaban dari de Kock tentang hari dan tempat perundingan ternyata tidak juga datang, sementara itu pula Diponegoro tetap mengobarkan api perlawanan.
Dalam pertempuran di daerah Semarang tanggal 11 September 1825 Pangeran Serang berhadapan dengan Belanda. Untuk menumpas perlawanan rakyat ini, Jenderal de Kock mengerahkan semua kekuatan pasukan Belanda. Opsir-opsir yang bertugas di Jawa maupun di luar Jawa ditarik untuk menghadapi Dipo¬negoro. Jenderal van Geen yang bertugas di Bone tiba di
Semarang pada awal bulan September 1825. Jenderal ini kemu-dian ditugaskan menumpas perlawanan Pangeran Serang di Semarang. Semarang akhirnya jatuh, akan tetapi Pangeran Serang berhasil meloloskan diri ke daerah Sukowati dan terus mengada-kan perlawanan bersama Tumenggung Kartodirjo. Rembang, Blora, Rajegwasi (Bojonegoro) dan Sukowati dengan perlawanan yang keras akhirnya dapat dikuasai Belanda. Kartodirjo tertangkap, sedang Pangeran Serang berhasil menyingkir ke Madiun untuk bergabung dengan pasukan Diponegoro yang ada di sana. Dalam pertempuran tanggal 9 Desember 1825, Madiun jatuh ke tangan Belanda, sehingga Pangeran Serang bersama-sama dengan Pangeran Sukur, mundur ke Yogyakarta untuk menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro.
Perlawanan di berbagai daerah tersebut merupakan penghalang kekuatan untuk menyerbu markas besar Diponegoro di Serang. Belanda harus menumpas perlawanan di banyak daerah ini satu persatu. Letnan Kolonel Cleerens bertugas di Tegal dan Pekalongan, sedang perlawanan di Banyumas diserahkan pada Letnan Kolonel Diell.
Secara tiba-tiba Belanda melakukan serangan umum ke Selarong pada 2 Oktober dan 4 Oktober 1825. Akan tetapi Selarong didapati kosong; ternyata pasukan Diponegoro telah memindahkan markas besarnya ke Dekso, sebelah barat lam Yogyakarta. Untuk sementara, para putri keluarga Diponegoro yang semula mengungsi ke Dekso dipindahkan ke Suwela, daerah sebelah utara Dekso.
Di markas baru ini, Diponegoro mengangkat lagi pemimpin-pemimpin pasukan untuk memperkuat barisan.65 Prajurit P inilah dipimpin oleh Raden Dullah Prawirodirjo (terkenal dengan Sentot Alibasah Prawirodirjo), prajurit Surojo dipimpin oleh Abu-sungeb, prajurit Bulkiya dipimpin oleh Haji Muh. Usman Ali¬basah dan Haji Abdulkadir. Tumenggung Mertoloyo memimpin prajurit Mundungan. Prajurit Mantrirejo dipimpin oleh Tumeng¬gung Puthut Lawa, dengan tugas mengawal Pangeran Diponegoro dan memberi bantuan kepada kesatuan-kesatuan yang mem-butuhkannya. Prajurit Suryagama atau prajurit Kaji dibawah pimpinan Dullah Kaji Bakdaruddin. Prajurit Suronoto dipimpin oleh Sarip Samparwadi. Kiai Maja memimpin satu pasukan. Pangeran Bei memimpin prajurit Jogosuro. Pangeran Mangkubumi memimpin prajurit Jagakarya, dengan tugas mengaw putri. Tumenggung Kertopengalasan harus mempertahanki daerah Kulon Progo, dengan bantuan Haji Ngingso dan Hz Ibrahim. Tumenggung Joyonegoro mempertahankan daers Yogya selatan, Imogiri harus dipertahankan oleh Syech Kaji Muc dengan bantuan Raden Reksokusumo. Pertahanan Yogya sebela timur diserahkan pada Tumenggung Suronegoro. Probolingg harus dipertahankan oleh Raden Joyopenoto. Daerah Bagela menjadi tugas Pangeran Ontowiryo dengan didampingi oleh sen bilan orang basah dan 10 orang Tumenggung. Basah, Twneni gung dan Dullah adalah nama pangkat dalam keprajuritan,
Peperangan terus berjalan. Gunung Kidul di bawah pimpina Pangeran Singosari jatuh. Pangeran Singosari mundur dan bei gabung dengan Syeh Dullah Kaji Muda di Imogiri. Prajuri Bulkiya segera datang membantu, dan dalam pertempuran sengi yang dipimpin oleh Haji Usman Alibasah, pasukan Belanda dapa dipukul mundur. Benteng Belanda di Prambanan di serang olel Tumenggung Suronegoro dan berhasil memukul mundur pasukai Belanda.
Di daerah Plered pertahanan pasukan Diponegoro cukup kuat Pimpinan pasukan antara lain dipegang oleh Kertopengalasan Pertahanan ini pada tanggal 16 April 1826 mendapat serangan dar pasukan Belanda di bawah seorang jenderal, namun tetap dapa bertahan. Serangan Belanda untuk kedua kalinya atas Plered d bawah pimpinan seorang kolonel, pada tanggal 9 Juni 1826, yan£ dibantu oleh pasukan dari Mangkunegoro, juga tidak berhasi! mematahkan pertahanan Kertopengalasan. Di daerah pertem¬puran lain pasukan Sentot Ali Basyah Prawirodirdjo, salah seorang pemimpin ulung Pasukan Diponegoro pada tanggal 28 Juli 1826 telah berhasil melakukan penyergapan terhadap pasukan musuh di Kasuran. Pasukan di bawah Diponegoro sendiri pada tanggal 9 Agustus 1826 telah pula berhasil memukul sebuah pasukan Belanda.
Sementara itu pertempuran sengit yang terjadi pada tanggal 30 Juli 1826 di dekat Lengkong membawa akibat tewasnya seorang Letnan Belanda dan dua orang wali dari Sultan Hamengku Buwono V, yalah Pangerah Murdaningrat dan Pangeran Panular. Menurut surat Pangeran Mangkubumi kepada Sultan Hamengku Buwono II, yang sejak tanggal 17 Agustus 1826 diangkat kerhbali menjadi raja, disebutkan bahwa kedua pangeran tersebut gugur bukan karena kesalahan fihak Diponegoro, tetapi karena mereka ikut serta dalam pasukan Belanda memerangi pasukan Dipo-negoro. Sementara itu dalam pertempuran yang terjadi di daerah Delanggu pada tanggal 28 Agustus 1826, pasukan Diponegoro berhasil mendesak pasukan musuh dan menduduki daerah tersebut.
Kesulitan-kesulitan yang dialami selama periode perang 1825-1826 mendorong pimpinan milker Belanda untuk mehg-gunakan siasat baru, ialah Benteng Stelsel, atau Sistem Benteng.66 Sistem ini mulai dilaksanakan oleh Jendral De Kock dalam periode perang sejak tahun 1827. Tujuan dari Benteng Stelsel adalah untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Belanda. Pelaksanaan Benteng Stelsel juga dimaksud untuk mengadakan tekanan pada Diponegoro agar bersedia segera menghentikan perlawanan. Suatu hal yang sangat dirasakan oleh pihak Belanda ialah pembiayaan yang cukup besar untuk mengadakan perang itu. Untuk mempercepat selesainya perang, Belanda jugaberusaha untuk mendekati pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro. Dalam perundingan yang diadakan dengan pihak Diponegoro pada tanggal 9 Agustus 1827 Belanda mencoba untuk melunakkan pendiriannya. Pendekatan dilanjutkan dengan diadakannya perundingan pada tanggal 23 Agustus 1827 di Cirian, daerah Klaten. Dalam perundingan ini pihak Diponegoro diwakili oleh Kyai Maja dan Pangeran Ngabei Abdulrahman, namun usaha perdamaian tidak juga berhasil.
Karena kegagalan dalam perundingan itu pasukan-pasukan Diponegoro makin giat melakukan perlawanan. Suatu hal yang menyebabkan makin lemahnya pasukan-pasukan Diponegoro, adalah meningkatnya jumlah pemimpin-pemimpin pasukan yang tertangkap oleh Belanda. Pangeran Suryomataram dan Ario Prangwadono telah tertangkap pada tanggal 19 Januari 1827, sedang Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo tertangkap pada tanggal 21 Juni 1827. Penyerahan kedua pangeran ini diikuti oleh anggota pasukannya sebanyak 850 orang.
Usaha Belanda untuk mengadakan perundingan pada tanggal 10 Oktober 1827 dengan pihak Diponegoro juga tidak membawa hasil. Wakil pihak Diponegoro dalam perundingan itu, Tumenggung Mangunprawiro, menolak anjuran dari wakil Belanda untu menyerah. Kegagalan dalam perundingan ini membawa akibat berkobarnya pertempuran lagi. Markas Diponegoro yang berad di Banyumeneng pada tanggal 25 Oktober 1827 mendapt serangan dari pasukan Belanda. Sebaliknya pasukan piha Diponegoro yang berada di daerah-daerah lain melakukai serangan terhadap pos-pos Belanda, Dengan pimpinan Radei Tumenggung Ario Sosrodilogo pada tanggal 28 November 1827 rakyat Rembang mengadakan perlawanan terhadap Belanda d Rajegwesi. Sebuah pasukan rakyat yang memihak Diponegorc pada tanggal 5 Desember 1827 berhasil menduduki Padangan dan selanjutnya bergerak ke kota Ngawi.
Perlawanan rakyat di daerah Tuban pada tanggal 16 Desember 1827 cukup berat bagi Belanda, sehingga untuk menghadapinya Belanda terpaksa mendatangkan bantuan pasukan dari daerah lain. Baru pada tanggal 7 Maret 1828 perlawanan rakyat Rembang dapat dipatahkan.
Sedemikian jauh Belanda masih belum dapat mematahkan kekuatan militer Diponegoro. Kota Magelang yang terletak di tengah-tengah daerah perang, oleh de Kock dijadikan pusat kekuatan militernya. Kekuatan yang terdiri dari pasukan-pasukan Sultan, Pakualam dan Mangkunegoro oleh Belanda digunakan untuk menghalang-halangi gerakan pasukan inti Diponegoro ke arah timur, sedang pasukan Belanda yang bermarkas di Magelang digunakan untuk menutup jalan yang menghubungkan daerah operasi Diponegoro di Yogyakarta dengan daerah-daerah di sebelah utara dan barat. Adapun bupati-bupati daerah yang memihak Belanda cukup menyukarkan hubungan pasukan-pasukan Diponegoro dari daerah satu ke daerah yang lain. Perlawanan di daerah-daerah menjadi terpisah satu sama lain, sehingga sulit untuk diadakan koordinasi.
Bertambahnya kekuatan pasukan Belanda dengan datangnya bantuan pasukan dari daerah-daerah lain merupakan salah satu sebab makin terdesaknya pasukan Diponegoro di pelbagai medan pertempuran. Sementara itu Belanda juga makin giat berusaha un¬tuk mendekati pemimpin-pernimpin pasukan dengan maksud agar mereka mau memihak Belanda, Seorang putra Mangkubumi ber-nama Pangeran Notodiningrat bersama-sama dengan istri, ibunya dan sebanyak kurang lebih 20 orang pengikut, menyerah pada tanggal 18 April 1828; Pangeran Ari Papak menyerah dalam bulan Mei 1828, sedang Sosrodilogo yang merupakan tokoh berperanan dalam mengobarkan perlawanan di daerah Rembang, juga menye¬rah tanggal 3 Oktober 1828.
Pasukan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo yang berhadapan dengan pasukan Belanda terpaksa mundur sampai tepi Sungai Progo. Pasukannya pada akhir September 1828 bergerak ke arah barat. Pada pihak lain tekanan dari pasukan Belanda yang makin berat merupakan salah satu sebab Kyai Mojo menulis surat kepada Belanda pada tanggal 2.Oktober 1828, yang memuat kesediaannya untuk mengadakan perundingan. Adanya kesedihan tersebut memang diharap-harpkan oleh Belanda, karena Kyai Mo¬jo dipandang sebagai salah satu tulangpunggung kekuatan perang Diponegoro. Perundingan taraf pertama yang diadakan pada tanggal 31 Oktober 1828 ternyata gagal, sehingga dianggap perlu adanya perundingan taraf kedua.
Menurut wawancara antara de Stuers dengan Diponegoro pada akhir perang, yaitu ketika Diponegoro sedang dalam perjalan ke tempat pembuangan, ternyata sebelum perundingan di Mlangi ini sebenarnya pernah juga diadakan perundingan di Sambiroto.67 Dalam perundingan ini Diponegoro juga diwakili Kyai Mojo; tetapi perundingan tersebut tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Perundingan Mlangi menurut Diponegoro adalah atas kemauan Kyai Mojo sendiri. Dikatakan bahwa waktu itu Kyai Mojo membawa serta 500 a 600 orang pasukan Bulkiya, sedang dalam perundingan ia didampingi oleh ulama-ulama dari Pajang.
Menghadapi situasi demikian Sentot Prawirodirdjo masih terus aktif melakukan perlawanan di medan pertempuran sebelah barat daerah Yogyakarta. Pada tanggal 20 Desember 1828 ia menga¬dakan penyerangan atas benteng Belanda di daerah Nanggulan dan memperoleh kemenangan. Dalam pertempuran tersebut, Kapten van Ingen dan Pangeran Prangwadono tewas. Dalam pan-dangan Belanda, Sentot tetap merupakan musuh yang berbahaya, oleh karenanya Belanda berusaha mencari jalan untuk mendekatinya sehingga ia mau menyerah. Mula-mula usaha di-lakukan oleh Jendral de Kock dengan mengirimkan surat pada tanggal 11 Pebruari 1829 kepada Sentot yang isinya menganjurkan supaya menghentikan perlawanan, tetapi Sentot menolaknya.
Pada tanggal 28 Juni 1829 Residen van Nes juga mengirim sura kepada Mangkubumi berisi saran agar Pangeran tersebut bersedis menghentikan perang, tetapi saran inipun ditolak. Kebimbangar mulai timbul pada diri Mangkubumi setelah pada tanggal 23 Jul 1829 salah seorang istrinya beserta 3 orang putranya bernaim Wiryokusumo, Wiryoatmojo dan Suradi menyerah pada Belanda, Pada tanggal 25 September 1829 Belanda telah menyuruh putra-putra Mangkubumi yang lain, ialah Atmodiwiro dan Reksoprojo, untuk mencari ayahnya dan membujuknya supaya menyerah. Usaha Belanda baru berhasil setelah Notodiningrat, putra Mangkubumi yang lain lagi, pada tanggal 27 September 1829 dapat menemukan ayahnya di desa Monopeti dan dengan bujukan berhasil mengantarkannya untuk menyerah pada Residen van Nes.
Selanjutnya pada tanggal 27 Juli 1829 van Nes juga mengirim surat kepada Sentot Prawirodirdjo berisi ajakan untuk berdamai. Belanda menyanggupi untuk menjamin keselamatan diri Sentot dan akan memberi perlakuan maupun kedudukan yang baik. Dalam hubungan ini Komisaris Jenderal du Bus telah memberi in-struksi kepada Jenderal De Kock agar memaksa Diponegoro un¬tuk menghentikan perlawanan dan supaya mengancam akan membunuh anaknya, Diponegoro Anom, apabila Diponegoro menolaknya.
Untuk mendekati Sentot lagi, Belanda menggunakan Pangeran Ario Prawirodiningrat, Bupati Madiun yang masih kerabat dengan Sentot sendiri. Prawirodiningrat diminta oleh Belanda un¬tuk melunakkan pendirian Sentot agar mau menghentikan per¬lawanan. Akhirnya pendekatan Belanda pada Sentot untuk ber¬damai berhasil dalam perundingan di Imogiri tanggal 17 Oktober 1829, yaitu setelah Belanda bersedia menerima beberapa syarat yang diajukan oleh Sentot. Syarat-syarat itu antara lain berisi; agar Sentot diperbolehkan tetap rnemeluk agamanya, agama Islam; agar pasukannya tidak dibubarkan dan ia tetap menjadi pemimpinnya, agar ia dan seluruh anggota pasukannya tetap memakai serban. Sebagai kelanjutan dari persetujuan itu Sentot dan pasukannya pada tanggal 24 Oktober 1829 memasuki ibukota negara Yogyakarta untuk menyerahkan diri.
Bagi Diponegoro menyerahnya Sentot merupakan pukulan berat. Sedangkan sebulan sebelumnya, Pangeran Joyokusumo yang banyak membantu dalam bidang taktik, telah gugur dalarn suatu pertempuran. Merosotnya kekuatan perang Diponegoro makin nampak setelah makin banyak orang-orang yang ber-peranan menyerah pada Belanda. Pangeran Ario Suriokusumo menyerah pada tanggal 1 Nopember 1829, Kertopenggalasan menyerah pada pertengahan bulan Nopember 1829, disusul kemu-dian oleh Joyosudirgo pada pertengahan bulan Desember 1829. Putra Pangeran Diponegoro menyerah pada tanggal 8 Januari 1830 dan Patih dari Diponegoro sendiri pada tanggal 18 Januari 1830.
Usaha Belanda untuk mempercepat selesainya perang antara lain juga dilakukan dengan cara pengumuman pemberian hadiah sebanyak 20.000 ringgit kepada siapa pun yang dapat menangkap Diponegoro. Pengumuman yang telah dikeluarkan sejak tanggal 21 September 1829 hingga akhir tahun itu masih belum juga berhasil. Pendekatan akhirnya tercapai dengan diadakannya pertemuan antara Kolonel Cleerens dengan Diponegoro di desa Romo Kalam pada tanggal 16 Pebruari 1830. Dalam perundingan pada hari berikutnya di Kecawang Belanda menyarankan pada Diponegoro untuk melanjutkan perundingan di Magelang dengan jaminan ia akan mendapat perlakuan jujur, dalam arti apabila perundingan gagal, ia diperbolehkan kembali ke medan perang. Dengan kepercayaan akan janji Cleerens, Diponegoro dengan pasukannya pada tanggal 21 Pebruari 1830 telah tiba di bukit Menoreh dan seterusnya pada tanggal 8 Maret memasuki kota Magelang. Berhubung bertepatan dengan bulan Ramadhan, maka Diponegoro meminta agar perundingan ditunda.
Sementara itu Jenderal De Kock yang baru tiba di Semarang setelah beberapa waktu lamanya berada di Batavia, mendengar berita bahwa usaha Cleerens untuk mendekati Diponegoro ber¬hasil. Pada tanggal 25 Maret 1830 Jenderal De Kock dengan secara rahasia memberi instruksi untuk menangkan Diponegoro apabila perundingan gagal. Penundaan perundingan selama kira-kira 20 hari dalam bulan Ramadhan memberi kesempatan pada Belanda untuk merencanakan penangkapannya. Perundingan yang diadakan pada tanggal 28 Maret 1830 ternyata berakhir dengan kegagalan. Di rumah Residen Kedu yang menjadi tempat perun¬dingan itulah Diponegoro ditangkap. Dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro berarti bahwa pemimpin tertinggi per-lawanan tidak ada lagi. Kegiatan perlawanan di daerah-daerah yang sejak awal tahun 1830 telah menurun menjadi semakin lemah dan akhirnya tidak berarti lagi.
Bagi Belanda penangkapan Diponegoro berarti pembebasan dari beban pembiayaan perang yang semakin besar. Berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Batavia pada tanggal 30 April 1830, Diponegoro disingkirkan ke Menado. Diponegoro kemu-dian diangkut dengan kereta ke Semarang dengan penjagaan serdadu-serdadu Belanda.68 Setelah diangkut dengan kapal ke Batavia selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 ia diangkut dengan korvet Pollux ke Menado. Dalam perjalanan sampai di Jakarta dalam rangka pengasingan ke Menado, Diponegoro dikawal oleh Kapten Roeps dan Letnan de Stuers. Karena di Menado penjagaan atas Diponegoro dirasa kurang kuat maka pada tahun 1834 Belan¬da memindahkannya ke tempat pembuangan di Ujungpandang. Di sinilah Diponegoro tinggal sampai meninggalnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia lebih kurang 70 tahun.
Sentot Ali Basyah Prawirodirdjo yang telah menyerah dikirim ke Sumatra Barat untuk memrangi kaum Padri. Pengiriman Sen-tot dengan pasukannya ke Sumatra Barat adalah termasuk dalam rangka penggunaan tenaga bumiputra oleh Belanda untuk memerangi sesama orang Indonesia di daerah lain. Tetapi kemudian timbul kecurigaan dari fihak Belanda terhadap Sentot yang dituduh mengadakan persekutuan rahasia dengan kaum Padri, sehingga Pemerintah Kolonial Belanda menariknya kembali ke Jawa. Sentot segera ditangkap dan diasingkan ke Cianjur. Tak lama setelah itu Sentot dipindahkan lagi ke Bengkulu sampai dengan saat meninggalnya pada tanggal 17 April 1855. Kyai Mojo yang diasing ke Minahasa meninggal pada tanggal 20 Desember 1849.
Belanda yang merasa telah membantu pemerintah Kesultanan dan Kesunanan mengajukan tuntutan penguasaan daerah Man-canegara yang masih dimiliki oleh kedua kerajaan itu. Sunan Pakubuwono VI .yang menyingkir dari istana ke pantai selatan karena suatu sengketa, ditangkap dan diasingkan ke Ambon.
Dari seluruh uraian di atas dapat diketahui, bahwa perlawanan Diponegoro cukup besar pengaruhnya di daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bagaimanapun hasil yang dicapai dalam perlawanan tersebut, perlawanan Diponegoro dan pengikutnya merupakan bentuk reaksi terhadap kekuasaan Hindia Belanda dan sekutunya. Bagi Belanda perlawanan Diponegoro cukup banyak memakan biaya. Untuk itu Belanda harus mengeluarkan biaya sebanyak lebih dari 20 juta rupiah Belanda (gulden), di sam-ping kehilangan serdadu Eropa sebanyak 8000 orang dan serdadu bumiputra sebanyak 7000 orang, belum terhitung perkembangan-perkembangan yang dirusak oleh pasukan Diponegoro selama perang.

0 komentar

Post a Comment

Setelah membaca posting Berikan Komentar anda untuk memperbaiki kesalahan tulisan kami..